Jumat, 18 September 2009

KURIKULUM DRAMA YANG DILEMATIS oleh Rudolf Puspa Teater Keliling

Rasa syukur tiada putus putusnya atas terselenggaranya kegiatan drama di sekolah tingkat SMA yang sudah masuk kurikulum bahasa Indonesia. Ada sedikit teori, ada penulisan skrip, ada kegiatan nonton pertunjukkan drama, ada juga pentaskan drama. Tentu ini kurikulum yang ada penilaian resmi. Dan disamping itu masih ada kegiatan ekstra kurikuler bidang drama.
Guru bahasa Indonesia tentu kini mesti menambah pengetahuannya tentang drama. Bermacam cara ditempuh seperti mengajak seniman drama untuk membantu melatih siswa menulis skrip drama hingga memproduksi drama. Karena kegiatan ini ada dalam mata pelajaran bahasa Indonesia maka diharapkan siswa semakin terbuka mata hatinya serta terasah kepekaan rasa terhadap seni drama.
Pengalaman sejak 1999 memberikan pelatihan drama bagi siswa SMA di Jakarta yang waktu itu Pusat Bahasa Diknas yang memulai dalam acara bulan bahasa, saya merasa perlu menuliskan catatan untuk dapat kita lihat sejauh mana drama memiliki aspek pendidikan bagi siswa SMA.
Ketika memberikan pelatihan di Pusat bahasa selama 10 hari yang tiap tahun selanjutnya makin berkurang menjadi lima hari , saya merasakan adanya kendala yang cukup serius yakni terputusnya pembinaan setelah kegiatan tersebut. Kesenian tidka bisa seperti pertukangan yang setelah dilatih selama lima hari membuat kursi lalu bisa kerja sendiri. Kesenian memerlukan waktu yang panjang untuk mengasah rasa. Bahkan barangkali sepanjang hidup manusia. Memang bukan untuk tujuan melatih siswa untuk menjadi seniman teater. Pada mulanya hanya memperkenalkan. Namun setelah kenal kemudian ada yang ingin meneruskan dan belajar lebih mendalam; disitulah timbul permasalahan. Kemana mereka akan pergi? Sering aku pertanyakan hal ini ke pusat bahasa yang telah memulai kegiatan ini namun karena kesenian bukan pekerjaan utama pusat bahasa tentu saja hingga kini tak dapat aku menuai jawaban. Kebetulan aku punya gurp yang punya kegiatan memproduksi drama, maka kesanalah mereka aku bawa. Ada yang hingga kini masih setia terus menekuni berlatih tanpa melupakan kuliah. Jumlahnya memang tidak banyak. Sedih bila harus mengatakan bahwa teater masih belum “menjanjikan”.
Selanjutnya Teater Keliling mulai mencoba menjawab kebutuhan siswa menonton teater. Kami siapkan dan bekerjasama dengan Gedung Kesenian Jakarta yang tahun 2001 di bawah pimpinan Farida sangat terbuka untuk memberanikan diri tidak memikirkan keuntungan finansiil; walau tetap menyadari bahwa biaya produksi teater memang tinggi. Sementara nilai jual untuk tingkatan siswa SMA di Jakarta masih berkisar 20 ribu rupiah. Untuk menghemat biaya dan waktu maka pertunjukkan dalam sehari diadakan hingga 3 kali dan kadang 4 kali. Jumlah siswa yang mau menonton semakin banyak dan kemudian Teater Keliling pindah bekerjasama dnegaqn Taman ismail marzuki yang memiliki gedung dengan kapasitas penonton dua kali lipat GKJ. Kegiatan ini berlangsung hingga tahun ini yang beban kendalanya bukan semakin berkurang.
Biaya produksi teater semakin meningkat tajam. Dua tahun belakangan ini sudah tidak pentas di TIM maupun GKJ. Biaya operasional mereka semakin meninggi dan sukar jika masih menjual tiket dengan 20 ribu. Hitung punya hitung disarankan 50 ribu rupiah. Hal yang tentu saja tidak diterima karena sekolah rata rata masih menghendaki 20 ribu rupiah. Kendala ini menjadikan kami berpikir keras mencari gedung pementasan yang masih bisa diterima dan harga sewanya tidak tinggi, karena selain GKj dan TIM memang belum ada yang mau kerjasama. Namun mencari gedung yang tepat bagi teater ternyata tidak mudah dan ya memang tidak ada. Ada gedung bekas Miss Cicih yang menyerupai GKj namun kurang diterima pihak sekolah. Barangkali karena kurang pengenalan maka gedung yang bagus itu untuk teater kurang bisa dimanfaatkan.
Di luar problem pembiayaan masih ada permasalahan yang lebih kepada kebijakan birokrasi terutama yang menyangkut perijinan. Pada umumnya kini pihak sekolah memerlukan rekomendasi dinas pendidikan. Hal ini mengemuka karena pihak kepala sekolah tidak mau kena salah, sebab menyangkut penarikan uang dari siswa. Pernah ada kejadian kepsek tiba tiba umumkan bahwa siswa tidak ada paksaan nonton drama. Jadi yang tidak mau boleh kembalikan tiket. Lebih separo mengembalikan tiket. Guru bahasa pun malu atas kejadian ini.Ini menjadi dilema yang sangat kritis. Kurikulum memerlukan nonton drama. Namun untuk itu harus berhadapan dengan ketentuan tidak boleh menarik uang dari siswa. Jika mau nonton drama dari grup teater di luar sekolah maka harus ada rekomendasi dinas pendidikan. Kendala baru muncul lagi yakni tidak mudahnya mendapatkan rekomendasi tersebut, terlebih bila tidak kenal siapa siapa di kantor dinas pendidikan. Belum lagi urusan dengan kantor pajak yang untuk penjualan tiket cukup tinggi pajaknya dan harus bayar di muka untuk seluruh jumlah tiket.
Teater Keliling mencoba datangi perusahaan untuk menjadi sponsor. Dari 100 surat permohonan maka mendapat tiga saja yang bersedia adalah sudah luar biasa. Ini melemahkan hati, karena teater masih dipandang sebagai lahan yang kering. Semakin tersia rasanya menjalani kegiatan mengasah otak kanan siswa SMA. Sudah lebih dari 35 tahun Teater keliling berada di ranah teater yang membawa misi pendidikan bangsa. Namun tidak ada satupun penghargaan yang diterima dari pemerintah. Jika pun ada maka kebanyakan justru dari mancanegara. Tentu tidak mengada ada bila kami ingin mendapatkan sepotong surat penghargaan dari pemerintah entah siapapun presidennya, tapi hal itu terasa masih semakin sepi.
Ada kepala sekolah yang punya keberanian menjalankan kebijakan sesuai dengan diberikannya otonomi sekolah dalam menentukan langkah langkah pendidikan bagi siswanya. Namun tidak sedikit yang ketakutan jika menyangkut keuangan. Dengan begitu maka tidak kaget bila sebuah sekolah tahun ini selama dipimpin kepsek A maka kegiatan teater mencuat. Tapi ketika suatu saat ganti kepsek B yang ternyata tidak seberani A maka teater langsung menciut. Aku mengalami secara langsung hal ini. Ada yang menyediakan dana untuk pelatih kecil sekali namun ada yang layak dan juga ada yang lebih lagi. Aku tidak bisa memahami hal ini kenapa bisa terjadi. Oleh karenanya sikap kami menjadi pelatih ekskul teater adalah tidak komersiil. Lebih didasari idealisme pendidikan otak kanan.
Selama bekerja untuk pendidikan apapun bentuknya maka harus siap untuk tidak popular, Siap untuk berada di pinggiran. Siap untuk tidak diperhatikan apalagi mendapat penghargaan. Pendidikan harus dilakukan terus menerus. Mendidik manusia bukan sekali elus langsung jadi. Tekun dan mau bersusah payah datang ke sekolah, melatih yang hanya seminggu sekali dengan banyak kendala pula. Karena musim ulangan, maka ekskul ditiadakan. Karena musim remedial maka ekskul dikalahkan. Karena sudah kelas tiga maka tidak boleh ikut ekskul, ditakutkan mengganggu konsentrasi belajar menghadapi ujian akhir. Untuk mendapat tambahan sering diajak ikut produksi grup, dan juga ada kendalanya. Biaya transport untuk pergi pulang ke sanggar teater sukar minta orang tua. Ada yang orang tua tidak setuju anaknya ikut teater di luar sekolah. Apalagi bila latihan hingga malam karena jam sekolah pulang sudah pukul 4 sore lalu baru bisa mulai latihan setelah magrib dan dua jam kemudian sudah malam tentunya. Ini semua Kendala kendala non kesenian namun menyulitkan kegiatan kesenian.
Empat tahun lalu dengan 10 juta rupiah bisa jalan karena system kerjasama sehingga tak perlu ada sewa gedung. Kini hal itu sukar dilakukan sehingga biaya menjadi berlipat lipat yang mana minimal harus ada 100 juta baru bisa bernafas pas pasan. Dua hari dengan pentas enam kali dan siswa yang datang 3000 dan menyumbang 20 ribu berarti hanya terkumpul 60 juta. Kekurangannya harus benar benar pandai berakrobat bukan di atas panggung tapi dalam kenyataan yang pahit. Banyak biaya yang sebenarnya tidak ada namun akan muncul sehingga sering disebut biaya siluman yang masih belum hilang. Menyewa gedung bukan bayar resmi langsung beres. Banyak yang antri mulai tukang sapu , keamanan, tehnik seperti listrik, panggung, pengeras suara dan sebagainya yang bisa membuat bengkak anggaran. Kalau tidak dijalani maka akan ada saja kejadian2 yang diluar dugaan. Pernah tiba tiba di akhir pertunjukkan datang bagian kebersihan dan membawa kaca plastic yang ada ditangga yang katanya dirobohkan siswa. Bisa diperbaiki segera tapi ya ada biayanya. Ada meja rusak, ada kursi rusak yang sukar membuktikan kapan rusaknya namun perlu dana. Diberi cerita bahwa meninggalkan barang jangan di kamar rias karena tidak terjamin aman. Omong punya omong bisa dibantu untuk dijaga namun ada ongkosnya. Emang siluman itu setan dan sudah takdir setan memang tidak mati mati. Dia ada dan akan ada sepanjang hayat manusia bahkan abadi nantinya. Nah karena sudah dikatakan biaya siluman (setan) yang sifatnya abadi maka sedih juga bahwa kita maish akan menemukan hal ini selama bekerja memproduksi teater di republic tercinta Indonesia.
Ketika suatu hari anak tertuaku yang sudah sarjana dan kini bekerja menyatakan agar aku berhenti saja ngurus teater yang membuat susah saja; ya dia mengalami sepanjang hidupnya melihat betapa hebat perjuangan orang tuanya namun pada kenyataan tak ada yang memberikan penghargaan walau hanya dalam ujut kertas; kini ia ingin berbakti dan memberikan penghargaan yakni agar aku hidup enak ikut dia saja. Bangga namun betapa sedih mendengarnya. Cintaku pada dunia teater begitu mendalam dan atas dasar cinta itulah akau rela memberikan waktu dan tenaga untuk menjaganya. Harus ada yang bersedia untuk itu. Sementara ada sebagian lain yang menikmati kehidupan berteaternya dnegan sukses dan dikatakan sebagai pahlawan teater. Tak apa karena memang pionir harus siap untuk berada dalam kesepian hidup. Hasil kerja pionir sering yang menikmati justru orang lain.
Aku tercenung dan selalu ingat kata kata orang bijak di zaman pra sejarah bahwa TUHAN TIDAK TIDUR.

Wasalam.


Jakarta 18 September 2009.
081310678865.

Memahami Dusta dan Kebenaran dalam Sastra

Memahami Dusta dan Kebenaran dalam Sastra


Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa selain sebagai dunia rekaan (bukan nyata) dan sebagai dunia refleksi, sastra ternyata juga bisa dikatakan sebagai sebuah dusta. Sastra adalah dusta di dalam dirinya. Dikatakan demikian, lantaran sastra dapat menjadi 'kebenaran' melalui 'pembenaran-pembenaran' yang terjadi secara individual.

Di antara kebenaran dan dusta itu tak ada satu pun prosedur yang memungkinkannya menjadi 'kebenaran' atau 'dusta' massal atau kolektif. Semua bisa terjadi dalam dunia kemungkinan, sebagaimana semua pihak dapat menerima atau menolaknya melalui standar pribadi yang dimilikinya.

Simpulannya, dusta dan kebenaran dalam sastra memang tak terbatas, keduanya sedemikian rupa bias bercampur bagai molekul yang saling melarut. Ketika sastra diminta atau dipaksa mendesakkan dunia rekaannya pada pihak lain, ia berhenti menjadi seni. Mungkin ia berubah menjadi slogan, propaganda, agama, sains, atau ideologi. Dan sastra, tak berdaya untuk itu.

Bahkan dalam bukunya yang berjudul Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Radhar Panca Dahana menulis, bahwa jika hal di atas terjadi, maka sastra akan bernasib seperti kotak mainan anak, ia akan tergeletak di pojok, di atas lemari baju, atau teronggok di balik etalase barang elektronik; lusuh dan berdebu, terlupakan, tak terbeli. Begitu lemahkah sastra? Demikian kira-kira Radhar kembali bertanya. Sebuah pertanyaan yang kembali membutuhkan jawaban idealistis, mitologis, romantis atau kadang-kadang terlalu dramatis.

Seandainya pertanyaan itu tidak bergema dan bergayut sekalipun, pertanyaan atas posisi sastra akan senantiasa ada, tak pernah berhenti, tak pernah tuntas, dan tak pernah ada simpulan, penyelesaian, atau batasan-batasan definitifnya. Semua sekadar catatan bahwa manusia memang menjalani sebuah proses untuk menemukan dirinya sendiri, menyempurnakan pemahaman-pemahaman atas dunia, menempatkan posisi yang labil di dalamnya.

Sastra dan pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa berulang dan tujuan sebenarnya adalah untuk menemukan manusia yang ternyata selalu hilang (dalam setiap perubahan zamannya). Semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan: rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain yang ditimbulkannya.
***

Dunia imajinasi yang ditata dalam karya sastra adalah semesta yang menghimpunnya tak hanya 'kesadaran akal' namun juga 'kesadaran batin' dan 'kesadaran badan'. Dunia empirik yang ada padanya tak dapat dijelaskan oleh kategori sehari-hari yang kita pahami, sebagaimana pengalaman batin dan badan takkan pernah mampu kita jelaskan secara menyeluruh. Karakter inilah yang membedakan karya sastra dari produk laboratorium, karya jurnalistik, telaah sejarah, atau penyusunan biografi.

Karena itu, seorang pembaca hendaknya memiliki ancang-ancang sendiri untuk menghadapi karya sastra, karena sekali lagi --semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan: rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain yang ditimbulkannya.

Dan kiranya, pemikiran tentang rekonstruksi manusia serta efek-efek yang ditimbulkannya itu --serta gagasan menarik dari Radhar Panca Dahana tentang kebenaran dan dusta dalam sastra-- akan menjadi menarik apabila lebih dikaji dalam suatu objek kajian.

Barangkali juga merupakan sebuah objek kajian yang menggelitik, bila kita melirik kembali rekonstruksi sebuah naskah sejarah menjadi karya sastra, misalnya --naskah Perang Bubat. Naskah sejarah Perang Bubat merupakan satu contoh bentuk naskah sejarah yang bisa kita lihat, telah banyak mengalami rekonstruksi dari pengarang dalam wilayah kultur berbeda, antara pengarang berasal dari kultur sosial Jawa dan Sunda masih merupakan satu kajian yang tak pernah selesai.

Naskah Perang Bubat sebagai bentuk naskah sejarah ini jelas menjadi naskah karya sastra manakala di dalamnya telah terjadi rekonstruksi oleh pengarang melalui wacana dialog tokoh-tokohnya yang tidak pernah tercatat dalam sejarah. Hal ini sebagaimana yang terjadi dalam bentuk naskah-naskah lain, semisal dalam naskah Ken Arok - Ken Dedes-nya Pramoedya. Namun, rekonstruksi seperti itu jelas berbeda dengan rekonstruksi naskah yang berbau sejarah seperti Rumah Kaca, Bumi Manusia, atau lain-lainnya yang kemudian direkonstruksi menjadi sebuah karya sastra.

Rekonstruksi naskah Perang Bubat menjadi menarik karena di dalamnya melibatkan berbagai aspek emosi atas pembelaan terhadap sebuah ras, kesukuan dalam dua kultur: Sunda dan Jawa. Dan sebagaimana kita maklumi juga, bahwa dua kubu suku ini telah mengalami 'keretakan' secara latar sosialnya --karena persoalan yang pernah ditimbulkan dalam Perang Bubat itu sendiri sebagai sejarah.

Dengan demikian hadir berbagai persoalan khususnya yang menyangkut posisi sebuah karya sastra itu sendiri di tengah rekonstruksi yang demikian, juga tanggung jawab seorang pengarang, dan kesiapan seorang pembaca, apakah masih menganggap naskah seperti itu sebagai karya sastra manakala di dalamnya terjalin rangkaian dialog antartokohnya sebagai hasil rekonstruksi pengarang, serta posisi 'dusta' dan 'kebenaran' yang bukan lagi bergerak dalam batas-batas realitas antara sesuatu yang bersifat empiris dan imajis, melainkan sudah melibatkan aspek-aspek subjektivitas pengarang dengan segala bentuk konsekuensinya.

Di sinilah kita mulai memahami, bahwa karya sastra bisa menjadi dusta dan kebenaran. Di sini pula kita mulai memahami bahwa 'dusta' yang sesungguhnya adalah 'dusta' hasil rekonstruksi seorang pengarang dari naskah sejarah ke karya sastra, walau sekali lagi --secara garis besar cerita-- tidak beranjak dari kebenaran peristiwa sejarah itu sendiri.

Rekonstruksi naskah sejarah ke sastra dipandang sebagai sebuah 'dusta', manakala aspek-aspek individualisme, bahkan --komunalisme-- telah berlaku di dalamnya. Di situ kita memahami bagaimana posisi 'kebenaran' naskah sebagai sejarah yang diyakini kebenarannya, dan bagaimana posisi 'dusta' dalam naskah sejarah itu sendiri yang telah mengalami rekonstruksi. Sebuah 'dusta' yang sesungguhnya berada di luar keberadaan sebuah karya sastra karena terkait dengan latar belakang pengarang. Dan seorang pembaca, kiranya perlu untuk tahu keberadaan posisinya, bukan hanya berpegangan pada aspek-aspek individual atau komunal. Sebuah kajian yang tentunya memerlukan ruang tersendiri sebagai satu penelitian yang belum tuntas. n penulis adalah penyair dan eseis, tinggal di bandung.


Oleh: Herwan FR

Sumber: Republika Online

Bahasa dan Sastra Sebagai Identiti Bangsa Dalam Proses Globalisasi

Pendahuluan

Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia.

Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi).

Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses perubahan.

Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?



Mitos Tentang Globalisasi

Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.

Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan "Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi". Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks sehubungan dengan masalah ini. "Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan", "berfikir lokal, bersifat global." Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat.

Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat tempat.

"Berpikir lokal, bertindak global", seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.



Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia

Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.

Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.

Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.

Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).

Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.



Politik Bahasan dan Politik Sastra

Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.

Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.

Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.

Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.

Oleh:Prof. Dr. Mursai Esten
Sumber: Forum Bahasa dan Sastra

Dua “Kiblat” dalam Sastra Indonesia

Ada sebuah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum ada jawaban yang memuaskan. Benarkah sastra Indonesia lahir pada 1920? Tidak sedikit pakar sastra Indonesia yang masih berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920 dengan sejumlah argumentasi yang sekilas tampak mantap. Tanpa mengulang kembali apa yang telah disampaikan A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan Slametmoeljana, saya mencoba melihat upaya yang dilakukan para pakar sastra lainnya dalam merekonstruksi sejarah sastra Indonesia di era reformasi ini.

Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan Lomonosov Moscow State University pada 1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan, awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).

Pada 2002, redaksi majalah sastra Horison yang dipimpin Taufiq Ismail menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia (empat jilid) yang di dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak dengan tegas menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan Indonesia.

Dari kedua hal di atas, setidaknya ada keinginan pada Ibnu Wahyudi untuk meluruskan sejarah sastra Indonesia yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting karena berkaitan langsung dengan kesadaran kita mengenai bangsa dan negara Indonesia.

Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk memutuskan sejarah kebudayaan prae-Indonesia (masa sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), serta merta menghasilkan mata rantai sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru lahir mulai 1900 sekaligus menafikan perjalanan sejarah bangsa yang telah berjalan ribuan tahun.

Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik etis yang tengah dilakukan kolonial Belanda. Tapi, hal itu sekaligus menjadi kabut yang mengaburkan jatidiri bangsa Indonesia. Pandangan Sanusi Pane yang senafas dengan Poerbatjaraka dalam menanggapi STA sebenarnya memperlihatkan pandangan yang khas Indonesia. Dalam arti, mereka tidak silau dengan pengaruh Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak mabuk dengan kebudayaan bangsanya sendiri.

Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu saja. Ia pun menegaskan bahwa sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan Indonesia yang purba dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi kebudayaan Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane, sebaiknya kebudayaan Indonesia mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).

Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920, kita masih setia pada sejarah yang terpotong itu. Kalau merujuk politik etis kolonial Belanda yang membentuk Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada 1917 mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) yang diberi nama Balai Pustaka, kelahiran sastra Indonesia—dengan demikian—merupakan produk politik etis kolonial Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu hanyalah babakan kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, keterpengaruhan itu hanya bagian kecil dari keindonesiaan kita.

Hasil penelitian Ibnu Wahyudi di atas memperlihatkan bahwa ia sudah terlepas dari kungkungan pemikiran yang dibentuk Belanda. Dengan menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan Eropa sebagai titik awal kelahiran sastra Indonesia, sesungguhnya ia telah menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra yang tidak melalui sensor Balai Pustaka, yang tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi, yang disebut sebagai bacaan liar, yang ceritanya berdasarkan peristiwa “yang sungguh-sungguh pernah terjadi”, adalah juga termasuk dalam khasanah sastra Indonesia.

Penelusuran Pramoedya Ananta Toer terhadap karya sastra Indonesia tempo dulu juga memperlihatkan hal serupa. Sastrawan-sastrawan yang sebagian besar berlatar belakang wartawan dari peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa, seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanann, merupakan anasir penting dalam sastra Indonesia yang berhasil diselamatkan.

Terbitnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada 2003) ini memiliki dua arti penting. Pertama, ada semacam pengakuan terhadap eksistensi sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu pasar. Pram pun telah berjasa karena telah menjalin kembali mata rantai sejarah sastra (dan juga kebudayaan) yang terputus akibat pemikiran STA.

Kedua, hasil penelusuran semacam itu sekaligus memperlihatkan sebuah babak yang unik dalam sejarah sastra Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda yang diskriminatif, terlebih di dunia pendidikan, menghasilkan produk yang tidak adil bagi bangsa pribumi. Akibatnya, hanya mereka yang boleh mengecap pendidikan “Barat” yang memiliki kemampuan berproduksi, yakni kaum peranakan dan golongan ningrat.

Karena itu, hanya kaum terpelajar seperti F.D.J. Pangemanann, sastrawan Minahasa yang juga pemimpin redaksi koran berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan bangsawan Jawa Noto Soeroto yang menghasilkan karya sastra pada masa maraknya sastra berbahasa Melayu pasar. Noto Soeroto sendiri menulis dalam bahasa Belanda, di antaranya Melatiknoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) pada 1915 dan Wayang-liederan (‘Dendang Wayang’) pada 1931, yang menurut Dick Hartoko berisi potret diri Noto Soeroto yang hidup dalam kemiskinan dan teralienasi dari masyarakatnya karena memilih sikap kooperatif dengan kolonial Belanda saat itu.

Sementara itu, karya Taufiq Ismail dkk., Horison Sastra Indonesia, memiliki arti sekaligus pesan penting bagi pembacanya untuk tidak melupakan karya sastra Indonesia “klasik” yang telah ditulis oleh pujangga-pujangga zaman dulu, seperti Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Chik Pantee Kulu, Haji Hasan Mustapa, Tan Teng Kie, bahkan karya besar dari Bugis, I La Galigo (anonim, disusun Arung Pancana Toa).

Apa yang dilakukan Ibnu Wahyudi dan Taufiq Ismail dkk. sudah memberi sumbangan yang sangat berarti bagi pelurusan sejarah sastra Indonesia. Hanya saja, perlu dilakukan upaya yang lebih radikal untuk kemajuan sastra Indonesia itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, manusia yang mendiami wilayah Indonesia sudah memiliki kebudayaan masing-masing. Salah satu anasir badaya yang mereka hasilkan adalah karya sastra yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah).

Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan Airlangga. Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.

Dengan tegas Braginsky menyatakan, “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.”

Datangnya pengaruh Hindu/Buddha, Islam, kemudian pengaruh Barat telah memberi warna baru yang memperkaya dan mematangkan kebudayaan Indonesia, termasuk di dalamnya khazanah sastra Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di ranah agama, di ranah sastra pun terjadi “sinkretisme” yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh saja Rudyard Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi manusia Jawa, memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Hal ini bisa terlihat dalam kakawin Sutasoma karya Empu Tantular, misalnya.

Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua “kiblat” dalam sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindu/Buddha yang sangat kuat, yang berpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua “kiblat” itu bisa menjadi runutan dan rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%) yang kini berperan besar dalam menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia.*

Oleh: Asep Sambodja, penyair dan esais tinggal di Citayam. Redaktur Cybersastra.net.

Sumber: Cybersastra

Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia?

SELAIN bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang mengakibatkan krisis sastra masa kini di Indonesia, moralitas juga sekarang menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sangat terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh yang sudah kehilangan kepala. Yang dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan sangat terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.

Pergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada awal agama mulai tersebar luas dalam peradaban. Sebelumnya moralitas dalam karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut oleh Nietzsche, The Gay Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek ringan atau komedi dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas para pemikir dan pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa, dari peralihan zaman pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini, moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di mana pun.

Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong sastra Indonesia saat ini bagaikan seorang moralis yang merasa jijik melihat kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada persoalan kehidupan masa kini yang memang sejak perang dunia kedua telah usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin membawakan berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka. Keberanian dari para penulis ini, menurut saya patut kita puji, karena penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih ditindas oleh kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert, yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai amoral, dan zaman DH Lawrence, yang karyanya Lady Chatterly’s Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis berani ini, mereka sudah punya kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya yang berani Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena keberaniannya mencatat kebobrokan manusia dalam detail-detail yang berani, dan Chaucer, di abad ke-14 bahkan sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury’s Tales, melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang munafik hingga yang seronok.

Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering ditindas oleh para wali agama ataupun penguasa, tetapi hari ini mereka kita anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh siswa-siswa di sekolah di segala penjuru dunia.

Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis sastra tidak bertanggung jawab pada suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya tidak berdasarkan suatu konsensus massa ataupun masa, tujuan akhir dari sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap pergeseran ini, yang sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka terciptalah karya-karya terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani dikaitkan dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang merusak serat moralitas masyarakat.

Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman diminta untuk melakukan terobosan dengan berani dalam karya-karya mereka, di sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap merupakan konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan roboh. Apakah kehebatan suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh para petinggi moralitas itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu takut dengan karya-karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka masih belum siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak membaca karya-karya itu. Jadi batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut dengan gembira buku-buku berbobot moralitas tinggi, kita seharusnya juga bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos ’batas-batas’ kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima karya-karya tersebut hanya mencerminkan keangkuhan supremasi moralitas kita atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.

Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi tercampuraduk dalam pembahasan soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan hewan yang dalam tindakan seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam hubungan seksual. Dengan demikian, erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk menggugah berahi terlihat jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan lain selain menggugah insting-insting purba dalam diri kita.

Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah karya perlu ada sebuah tujuan etika yang konkret. Perlukah sebuah karya punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam pembahasan krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita serapkan apa yang ditulis oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas sekali bahwa seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan moralitas akan sangat relatif. Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun seharusnya tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus merujuk pada suatu pakam moralitas suatu kepercayaan ataupun suatu konsensus massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak lagi bisa dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.

Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi menurut saya adalah penafsiran yang salah pada fungsi seorang seniman. Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang pengkhotbah ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan posisi seorang seniman. Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal. Posisi mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka sendiri dalam menempatkan diri di pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka dengan dunia ataupun kejeliannya dalam mengupas kehidupan di hadapan mata mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.

Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama besar seperti Rimbaud, penyair muda yang berhenti menulis syair pada saat dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat terlarang juga dilakukan oleh penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh semua penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan alkohol, pilihan Bacchus favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas. Mereka ini manusia besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang didambakan banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari segi bobot moralitas pribadi mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.

Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, "Jadi apa fungsi sastra sebenarnya?" Sastra menurut saya adalah muntahan balik dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah lama bergeser dari karya-karya sastra yang gentil. Karya-karya penuh bobot moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh karya-karya pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence, Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua penulis berani dari Jean Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun 2004 Elfriede Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para petinggi moralitas di negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad pertengahan dan mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra dunia sudah berlaju demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih dipersoalkan kita. Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini sangat mengganjal perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas dalam konteks di luar kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat berseberangan dengan penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam penciptaan mereka. Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi ataupun estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas moralitas manusia tetapi lebih pada bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas, selain potret-portret kecil suatu kehidupan seperti yang ditampilkan dalam cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.

Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu spirit pembangkang dalam kesusastraan yang ditindas oleh para petinggi moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak lagi benar bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya dengan dunia di mana dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa mereka merupakan ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia. Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya-karya seni sudah bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi mereka, bahkan malah mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang tidak dapat dikompromikan. *

Minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidikan dan Media

Oleh vino warsono - 13 Juli 2009
Hari ini merupakan hari pertama bagi para pelajar kita memasuki tahun ajaran baru sekolah, yang mungkin sebelumnya sudah jauh-jauh hari dinanti-nanti oleh para calon siswa baru itu sendiri. Mereka yang sebelumnya belum berseragam akan mengenakan seragam baru SD yang putih merah, yang sebelumnya berseragam merah putih akan mengenakan seragam baru SMP putih biru, dan yang sebelumnya berseragam putih biru berganti dengan seragam SMA putih abu-abu. Inilah tahun ajaran baru sekolah yang penuh dengan pengharapan akan majunya intelegensi siswa sampai pada tingkat dan jenjang yang optimal yang dikemudian hari bisa menciptakan prestasi luar biasa dan tentunya membanggakan bumi pertiwi Indonesia

Menyoroti maraknya kehidupan di berbagai bidang pendidikan dan media yang terus-menerus saling bersaing, saling tindih-menindih, saling apit-mengapit dan apapun itu juga namanya, kita tidak hanya bisa diam terlongo pada tingkah laku berbagai komunitas itu, sehingga dengan aktif turut andil tentunya kita bisa melahirkan karya yang berdaya guna, intinya mari kita memperbaiki karya yang usang, dan yang berkadaluarsa.


Sekedar untuk menyimak arus karya-karya yang sudah terlahir dari dunia pendidakan dan yang ada di berbagai media, khususnya tentang perkembangan sastra, maka kembali sebisa mungkin kita merunut ke landasan awal, yaitu seberapa besar dunia pendidikan sudah memberikan konstribusi dan apresiasinya terhadap karya sastra.


Dari sekian banyak hal ikhwal kerancuan dan pergolakan dalam dunia sastra, media pembelajaran sastra merupakan sesuatu yang perlu dikaji dan ditilik keberadaannya. Karena bukan tidak mungkin dari permasalahan ini akan berimplikasi kepada hasil karya lainnya. Keterkucilan bidang sastra, sekaratnya pasar dan lesunya penjualan buku sastra, dan keengganan para siswa membaca buku-buku sastra, minimnya kuantitas dan kualitas koreksi terhadap hasil karya sastra, juga diperlengkap dengan sedikitnya media sastra, sebagai contoh, adalah gambaran di mana kurang suksesnya dan optimalnya pembelajaran pada bidang sastra, entah, mungkin di sekolah menengah (SMP atau SMU) atau mungkin justru di jurusan sastra (pendidikan maupun non pendidikan) di perguruan tinggi. Sebab jika pembelajaran sastra berhasil, maka kita boleh berharap banyak problematika-problematika itu akan larut, surut, sehingga akhirnya terkikis habis.


Dalam hal ini sebenarnya saya tidak bermaksud langsung mendikte dunia pendidikan atau menafsirkan suatu diagnosa, kemudian menghamparkan berbagai tips dan terapi perbaikan dalam menggarap sebuah pembelajaran sastra. Akan tetapi saya hanya akan mencoba memfokuskan pada permasalahannya saja guna menyoroti kondisi riil yang sedang berlangsung di sekolah atau di kampus yang menyelenggarakan program studi—pendidikan—bahasa dan sastra yang berada di berbagai kota besar Indonesia ini. Kita bisa dan perlu berasumsi bahwa berbagai perguruan tinggi yang mengadakan jurusan bahasa dan sastra Indonesia, merupakan lembaga yang sebagian besar adalah penghasil guru sastra Indonesia di kebanyakan di sekolah menengah (SMP atau SMU) baik yang berembel-embel negeri maupun milik “pengusaha”.


Dengan memandang konsep kehidupan sastra secara lebih luas, kita dapat menggelontorkan komentar sejauh mana peranan perguruan tinggi—dalam hal ini khusunya kampus yang menyediakan jurusan bahasa dan sastra—berapresiasi mengembangkan serta memasyarakatkan gaya sastra Indonesia kepada khalayak umum. Dari sini kita tentunya mampu menimbang lebih khusus lagi pertumbuhan karya sastra, minat, kajian juga kritik sastra terhadap hasil karya sastra itu sendiri.


Apabila kita tidak bisa mengimplementasikan gagasan sastra tersebutdengan tepat, untuk kemudian didiskusikan di forum yang paling kecil terlebih dahulu, mungkin salah satunya ialah sekolah, jadilah permasalahan sastra ini layaknya benang kusut, begitu benang yang satu teruraikan, benang yang lain menyelinap membelit lagi, dan sepertinya akan terus-menerus begitu, kecuali kita berkonsisten melakukan perbaikan secara menyeluruh yang melibatkan berbagia pihak. Tampaknya dunia pendidikan dewasa ini membutuhkan banyak keterlibatan para sastrawan yang sudah lebur ke dalam dunia kesusastraan Indonesia dan media-media—majalah—sastra.


Saya yakin kita akan bersepakat, ataupun kalau ada yang berselisih pendapat itu adalah suatu keniscayaan yang tetap harus dihargai keberadaannya, pemanfaatan sastra Indonesia bisa kita mulai dari dunia pendidikan, dengan menanamkan minat baca yang tinggi dan menciptakan kesan positif terhadap apresiasi sastra.


Salah satu yang lain yaitu memaksimalkan tatap muka pelajaran di sekolah atau mata kuliah sastra dalam perkuliahan, karena untuk menambah jam pertemuan mata pelajaran sastra di sekolah menengah dengan sistem kurikulum berbasis kompetisi (KBK) yang digulirkan diknas sekarang ini cukup sulit. Kenapa?…karena agaknya dalam kurikulum yang baru ini (KBK) sebagai pengganti suplemen GBPP 1994, porsi materi sastra belum beranjak jauh dari angka 19%, ekstremnya kurikulum di sekolah dan kampus menganaktirikan sastra.


Merujuk ke perguruan tinggi yang menyelenggarakan jurusan—pendidikan—bahasa dan sastra Indonesia, memang ada perubahan kurikulum. Mata kuliah sastra sekarang mencapai 22 sks, bahasa 41 sks, namun kurangnya guru dan dosen yang berwibawa di sekolah menengah dan di kampus yang memiliki jurusan bahasa dan sastra semakin nyata dengan minimnya tulisan-tulisan seperti kritik apresiasi, kritik jurnalistik, dan kritik yudisial yang ditulis sendiri oleh para lulusan sarjana sastra dan dimuat di Koran-koran, majalah-majalah sastra, jurnal-jurnal seni budaya dan media umum lainnya.


Hanya saja kita boleh menggumamkan secuil kebanggaan bagi dunia pendidikan sastra Indonesia, karena terapat dosen semisal Sapardi Djoko Damono dan Budi Darma, juga Moh. Wan Anwar yang pernah memimpin jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia pada Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Untirta) Banten—sekedar menyebutkan beberpa nama diantaranya.


Indonesia pasti akan kebanjiran karya-karya sastra yang berkualitas, dan ini bisa jadi daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya guna membangun dunia sastra yang berkompeten, melalui Koran-koran, majalah-majalah dan media lainnya yang mengedepankan karya sastra sebagai topik pembahasan utamanya. Tentu jika saja sekolah menengah dan perguruan tinggi yang memiliki jurusan bahasa dan sastra Indonesia, berkenan merekrut guru dan dosen bahasa dan sastra dari kalangan sastrawan yang sudah cebur-lebur di jalan raya—media atau dunia—sastra kita.


Jadi persoalannya kini mengerucut pada pertanyaan ; sekolah menengah umum—SMP atau SMU—dan perguruan tinggi yang menyelenggarakan jurusan—pendidikan—bahasa dan sastra Indonesia mana yang hendak menarik dan merekrut sastrawan sebagai guru atau dosen?…dan media apa yang mau berkibar dengan topik bahasan utama sastra?…ENTAH…

Seni-Sastra, Mbah Surip-WS. Rendra

Oleh taufiqur rochman - 7 Augustus 2009
Seni dan Sastra, hanya 2 kata itu untuk mewakili 2 sahabat yang pergi hampir bersamaan, Mbah Surip dan WS. Rendra. Bahkan, hanya berselang 2 hari, keduanya pergi untuk selamanya dari hingar-bingar jagat raya ini. Seakan tidak ada satu pun yang merasa tidak kehilangan, kecuali orang yang tidak pernah tersentuh indahnya seni dan nikmatnya sastra. Seni tanpa nilai-nilai moral maupun spiritual yang dibungkus dalam kritik sastra, ia hanyalah jubah indah tak bermakna. Bahkan, tidak bermanfaat bagi sesama karena ia telah lepas dari sisi humanis. Demikian juga dengan sastra yang tidak dibalut secara artistik, lama-kelamaan ia akan ditinggalkan zaman.
Mbah Surip, seniman kawakan dan berkhidmat untuk seni tanpa peduli dengan usianya yang senja, adalah sosok yang mampu menampilkan seni secara bersahaja. Seniman harus tetap eksis dengan karaktek (Syakilah) yang telah diberikan Allah sebagaimana firman-Nya, “Qul, kullun ya’malu a’la syakilatih”. Artis, pekerja seni, tidak harus glamour, ribut dengan royalti, selalu risau dengan momok pembajakan, apalagi bikin sensasi dengan kasus kawin-cerai, tampil bugil, atau gosip lain yang sangat digemari reporter entertainment.

Kebanyakan mereka yang disebut selebritis telah terjebak hidup materialistis. Apalagi, artis karbitan yang muncul karena jual tampang, beli karya orang lain, ngetrend atas jasa manejer, atau faktor lain yang tidak muncul dari proses pengembaraan dan pencarian panjang seorang seniman sejati. Seharusnya, figur kesederhanaan dan kepolosan seniman semacam Mbah Surip menjadi pelajaran bagi artis dan seniman agar terus berkarya hingga akhir hayat, tapi tetap hidup bersahaja dan sederhana di tengah kesulitan hidup masyarakat yang ngefans kepadanya. Sosok Mbah Surip pun harus menjadi tamparan bagi media massa dan acara entertainment untuk tidak selalu mengorek-orek kehidupan seniman hanya demi uang, sekalipun beralasan bahwa selebritis adalah milik publik. Alasan ini tidak lantas harus menghalalkan ghibah, fitnah dan kasak-kusuk tanpa tabayyun.
WS. Rendra, untuk budayawan dan sastrawan satu ini, adalah sosok sastrawan independen dan ia tidak pernah ikut dalam keberpihakan sebuah kelompok yang sifatnya pragmatis. Baginya, sastra untuk semua. Si Burung Merak dengan puisinya yang kritis, selalu berani menyuarakan kebenaran dan menelanjangi kemungkaran tanpa takut. Keberanian seorang sastrawan adalah bukti jika jiwanya bebas, lepas dari kebobrokan dan tidak pernah ridho dari kemungkaran yang menzalimi manusia. Budaya seharusnya manusiawi dan sastra harus tetap humanis. Jika seorang praktisi dan akademisi sastra justru bersikap angkuh pada sesama dan tidak menebar kedamaian, berarti ia telah mencederai sastra itu sendiri. Sarjana, Magister, Doktor bahkan Guru Besar di bidang sastra maupun budaya selayaknya profesional di bidangnya. Selalu eksis, kritis, tidak prakmatis, bicara yang benar tanpa fanatik buta dengan komunitas dan kelompoknya sendiri.
Bahasa seni dan sastra harus membela kemanusiaan (humanisme), membumikan tradisi dan budaya, bertekad membangun peradaban masa depan tanpa kenal menyerah. Kekuatan bahasa seni dan sastra (baca: lisan) harus mampu melahirkan sebuah perubahan, dari gelap ke terang, dari kufur ke iman, dari lupa menjadi dzikir. Nabi bersabda: Jika kau melihat kemungkaran, segera adakan perubahan dengan tanganmu. Bila tak mampu, dengan lisanmu. Jika masih tak mampu, cukup dengan hatimu.
Dari sabda Nabi itu, paling tidak seniman dan sastrawan seperti Mbah Surip dan Rendra, telah berusaha menjadi agen perubahan melalui lisan (bahasa seni dan sastra), sebab jika dengan tangan, mereka takut terjebak pada friksi, fanatik buta dan konflik kepentingan, dan jika hanya dengan hati, mereka khawatir akan terkubur dalam sifat pengecut dan kemunafikan.
Kepergian Mbah Surip dan WS. Rendra tidak harus mengakibatkan seni dan sastra menjadi mati, tapi justru harus disikapi oleh pribadi lebah (baca: mukmin) dengan semangat perubahan dengan cara kritis tapi santun dan bersahaja bagaikan madu dan bunga.

Bung Karno Turut mendukung pemasalan Tari Pendet

Polemik berita perihal klaim tari pendet oleh Malaysia terjadi lagi beberapa hari terakhir ini. Warga Indonesia di situs jejaring sosial, seperti Twitter
dan Facebook, berusaha ”memagari” tari itu sebagai tarian Tanah Air, khususnya Bali. Seniman Bali pun mendesak pemerintah segera mengajukan nota protes
kepada Pemerintah Malaysia yang kekurangan identitas itu.

”Pemerintah jangan abai lagi. Selain menginventarisasi produk kebudayaan Nusantara yang begitu kaya ini, pemerintah harus tanggap dengan aneka pengakuan
atau klaim sepihak oleh pihak lain atas produk-produk kebudayaan kita,” kata Ida Ayu Agung Mas, tokoh masyarakat di Bali yang juga anggota Dewan Perwakilan
Daerah dari Bali itu, Sabtu (22/8). Ia merujuk kasus-kasus sebelumnya yang menimpa aneka produk kebudayaan, seperti batik, lagu ”Rasa Sayange”, dan reog
Ponorogo. Akan tetapi, Manohara kok disia-siakan?

Dua penari cilik dan seorang penari setengah baya menunjukkan aneka gerakan tari pendet di taman Taman Budaya Bali, kemarin. Turut mendampingi Dayu Mas,
demikian Ida Ayu Mas biasa dipanggil, sejumlah seniman Bali. Salah satunya adalah seniman yang juga pengajar ISI Denpasar, Prof Wayan Dibia. Mereka mengaku
gerah karena tari pendet ikut ditampilkan di iklan program Visit Malaysia 2009 itu.

Dayu Mas menyatakan, dirinya akan mendesak DPD segera mengajukan nota protes ke Malaysia melalui Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. ”Nota protes langsung
dikirim via e-mail ataupun faksimile Sabtu ini. Paling tidak, Senin nanti langsung akan ditindaklanjuti secara langsung ke Kedubes Malaysia,” kata Dayu
Mas.

Dibia menyatakan, tari pendet adalah kesenian tradisional yang telah menjadi bagian dari tradisi budaya Hindu-Bali sejak ratusan tahun yang lalu. Pada awalnya
tarian ini hanya dikenal sebagai tarian religius yang disajikan dalam upacara keagamaan yang berfungsi sebagai tari wali dalam upacara piodalan (Dewa Yadnya)
di pura-pura. Tarian biasanya disajikan dalam bentuk berpasangan atau kelompok oleh penari perempuan (anak-anak, remaja, dewasa). Setiap penari membawa
mangkok perak (bokor) berisi bunga warna-warni. Pada akhir tarian, para penari menaburkan bunga ke arah penonton, sebagai ungkapan dan ucapan selamat datang.
”Baru pada awal tahun 1950-an, sejumlah koreografer Bali menggubah tari pendet untuk penyambutan wisatawan, disebut Tari Pendet Puja Astuti. Tari pendet
itu dapat dikatakan sebagai tari penyambutan tertua di Bali,” kata Dibia.

Tradisi Memendet, menarikan tari pendet, sudah sejak lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu di Bali. Hingga
kini tarian pendet masih tetap disucikan di Bali dan menjadi salah satu sumber inspirasi bagi penciptaan tari-tarian baru. Di beberapa daerah di Bali juga
di kenal tari baris pendet, satu varian tari baris (kelompok) yang dibawakan oleh penari laki-laki.

Salah satu tonggak bersejarah tari pendet adalah penciptaan tari pendet massal tahun 1962 oleh I Wayan Beratha dan kawan-kawan dengan jumlah penari sekitar
800 orang. Tarian itu dipersiapkan untuk upacara pembukaan Asian Games di Jakarta. Presiden Soekarno ketika itu ikut mendorong proses penciptaan tari pendet
massal ini. Di masa-masa selanjutnya, publik pun semakin mengenal tari pendet adalah identik dengan tari selamat datang yang menampilkan dara-dara ayu
berbusana adat Bali.

sumber: kompas.com

Publikasi Seni Budaya Banyak Karya Asing

Jakarta, Kompas - Publikasi yang berkualitas tentang seni budaya Indonesia sampai saat ini masih diwarnai oleh para peneliti dan sarjana asing yang karyanya banyak tersebar di berbagai daerah. Adapun di dalam negeri karya seperti itu masih terhambat minimnya dana dan minimnya apresiasi.
Buku-buku yang cukup standar secara akademis tentang Minangkabau, misalnya, selama ini masih merujuk pada karya-karya sarjana asing, yang memang secara mendalam dan sungguh-sungguh melakukan pekerjaannya.
Budayawan dan mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat, Edy Utama, mengatakan hal itu ketika dihubungi Senin (31/8) di Padang.
”Kalau ada yang ingin melakukan penelitian tentang teater tradisional Minangkabau, randai, misalnya, kita masih harus merujuk kepada karya Prof Kirstin Pauka dari Hawaii University serta tentang silat Minangkabau pada karya Dr Hiltrud Cordes dari Jerman. Atau, kalau mau mempelajari sijobang, sebuah teater tutur dari Payakumbuh, kita masih terpaksa menggunakan hasil penelitian Nigel Philyps dari SOAS Inggris,” katanya.
Edy menjelaskan, kita nyaris tak bisa menemukan karya-karya yang dipublikasikan yang ditulis secara mendalam tentang seni budaya kita oleh orang Indonesia sendiri. Jika mau mempelajari budaya masyarakat Mentawai, hampir 100 persen buku rujukannya karya orang asing.
Dihubungi secara terpisah, sastrawan asal Bali, Tan Lioe Ie, mengatakan, pemerintah harus memberi apresiasi lebih terhadap seni budaya, dengan mendorong kalangan akademisi atau peminat kebudayaan untuk meneliti dan menulis buku seni budaya.
”Upaya pendokumentasian berbagai seni budaya yang kita miliki perlu digalakkan, termasuk di dalamnya penerbitan buku seni budaya, penerjemahan ke dalam berbagai bahasa, dan pendistribusiannya ke berbagai negara,” katanya. ”Jika seni budaya kita dikenal luas di dalam dan luar negeri, besar kemungkinan rakyat akan bangga dan mencintainya,” ujar Lioe Ie.
Minim dana dan apresiasi
Menurut Edy Utama, kurangnya publikasi atau penerbitan buku-buku tentang seni budaya di Indonesia, umumnya, dan Sumatera Barat, khususnya, selain dana sangat kurang, juga disebabkan belum ada orang yang sungguh-sungguh mau mengabdikan hidupnya untuk mengamati, meneliti, dan menulis seni budaya itu sendiri.
Kalau orangnya pun ada, ia juga akan terbentur dengan minimnya dana dan apresiasi dari pemerintah serta masyarakat sehingga hasil karyanya tidak cukup mendalam dan kurang komprehensif. Sebetulnya, berbagai bentuk penelitian awal tentang seni budaya di Sumatera Barat telah banyak dilakukan, terutama untuk keperluan akademis.
Banyak dosen yang telah membuat tesis dan bahkan juga disertasi tentang seni budaya, tetapi belum banyak yang dipublikasikan, dengan alasan tidak adanya dana penerbitan.
”Memang tidak semua hasil penelitian akademis punya kualitas, tetapi sebagai bahan awal untuk menelusuri kekayaan khazanah seni budaya di daerah, dapat dikatakan sudah cukup memadai. Tinggal lagi melakukan penelitian lanjutan sehingga dapat dijadikan bahan publikasi dalam bentuk buku yang dapat dikonsumsi oleh umum,” tutur Edy Utama.
Sementara itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat masih menginventarisasi seni budaya yang ada di setiap kabupaten dan kota. Diharapkan pada tahun 2010 seluruh seni tradisi yang ada bisa didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
”Tahun ini tidak bisa karena tidak ada anggarannya,” kata Kepala Bidang Kesenian dan Perfilman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat Oden Effendi. Berdasarkan pendataan tahun 2004, ada 398 kesenian tradisi yang ada di Jawa Barat, mencakup seni tari, pertunjukan, hingga alat musik.
Ketergantungan
Dia berpendapat, minimnya publikasi tentang seni budaya kita, apalagi yang berkualitas, telah menyebabkan kita terjebak ketergantungan terus-menerus terhadap hasil pengetahuan orang asing (Barat).
Padahal, kalau mau memahami budayanya secara mendalam sebagai hasil pergulatan kreatif anak bangsa, mau tidak mau, kita harus mendorong penelitian, kajian, dan publikasi oleh bangsa sendiri.
Perspektif orang dalam di sisi lain akan bisa mengungkap banyak hal dari karakteristik budaya kita yang unik, plural—yang orang luar belum tentu dapat menangkap ruhnya sepenuhnya.
”Saya percaya, jika para sarjana, seniman, dan wartawan kita diberi peluang dan dukungan pendanaan yang cukup, akan dapat menghasilkan karya-karya penulisan tentang seni budaya kita, yang siap dipublikasikan ke dunia. Dengan cara itu, kita telah menyatakan kepada dunia bahwa berbagai seni budaya yang sangat kaya ini adalah milik kita meskipun belum dipatenkan atau didaftarkan,” katanya.
Selain untuk mempertahankan dari klaim bangsa lain, penelitian, kajian, dan publikasi tersebut juga berguna bagi pewarisan budaya—salah satu masalah paling krusial dalam kehidupan bangsa kita dewasa ini.
Lembaga kebudayaan
Tan Lioe Ie mengatakan, perlu peran media yang punya akses luas ke masyarakat dalam memublikasikan berbagai hal menyangkut seni budaya. Pemerintah juga perlu memberi apresiasi lebih kepada seni budaya kita, termasuk senimannya, begitu pula dunia usaha, seperti sektor pariwisata yang ”diuntungkan” oleh seni budaya kita.
”Perlu lembaga kebudayaan Indonesia di berbagai negara untuk mempromosikan seni budaya kita, semacam Goethe Institute dan Erasmus Huis, mendukung penerbitan karya seni, pengiriman seniman ke luar negeri, tradisional ataupun modern, untuk ditampilkan kepada warga negara setempat, selain ditampilkan di berbagai ajang festival seni budaya di dalam negeri sendiri serta ditayangkan/dipublikasikan secara luas agar masyarakat kenal dan cinta seni budayanya, baik yang tradisional maupun modern,” katanya.
Untuk teknis pelaksanaan, pemerintah bisa bermitra dengan swasta dan memiliki kurator yang bagus sehingga festival itu bermutu dan layak berita, baik bagi media dari Indonesia sendiri maupun media asing. Tentu upaya ini perlu dilakukan terus-menerus karena sulit berharap hasilnya secara instan. (NAL/JON)

Ketika Puisi Mengalienasi Kita

Puisi di Indonesia mendapatkan nasibnya yang paling getir. Bukan hanya penerbit menolak penerbitan buku kumpulan atau antologi puisi, penerbitannya pun harus dihadapkan pada kenyataan bahwa laju penjualannya yang bahkan tidak mencapai target minimal untuk impas.
Beronggok puisi mungkin mengisi laci, file, atau benak para penyair dan—mungkin—meja redaksi majalah atau surat kabar. Sebuah keadaan yang mungkin membuat seorang redaktur surat kabar memberi alasan, ”Kini lebih banyak penyair ketimbang pembacanya,” sebagai apologia hilangnya rubrik puisi yang sudah puluhan tahun bertahan di media itu.
Kini beberapa media yang sebelumnya dikenal komitmen dan perhatiannya kepada kesenian menghapus rubrik itu. Dan bukan hanya penerbit yang meninggalkan puisi secara definitif, beberapa toko buku juga sudah tidak lagi memajang buku puisi sejak beberapa tahun lalu.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang mendorong terjadinya nasib getir puisi itu? Apa dampaknya dalam kehidupan kolektif, sebagai manusia sebagai sebuah bangsa?
Puisi dalam sejarah
Sejarah manusia ditandai dengan jelas oleh riwayat perjuangan hidup beradabnya bersama puisi. Sel-sel majas sebuah puisi, baik konotatif maupun denotatif, kerap menyulut api perubahan dan menjadi semacam lampu ajaib yang sanggup menerangi kelamnya politik. Tak mengherankan jika John F Kennedy teringat puisi pada hari pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat.
Bahkan ia mengundang Robert Frost, penyair ternama Amerika Serikat pertengahan abad 20, untuk membacakan puisi di depannya. Sebuah penampilan yang akhirnya menginspirasi Presiden baru itu menciptakan ungkapan, ”Jika politik itu kotor, puisi yang akan membersihkannya.”
Mungkin karena alasan itu pula kenapa puisi Gilgamesh diguratkan dengan huruf paku pada bongkahan lempung dalam bahasa Sumeria di Mesopotamia sekitar 5.000 tahun yang lalu.
Selain Gilgamesh, ada juga syair-syair purba, seperti Kidung Agung, Ayub, Mazmur, Amsal, serta syair-syair mitologi Yunani. Hal itu terdapat seperti dalam Iliad dan Odyssey karya Homerus, kitab-kitab puisi kebijaksanaan Tao dan Konfusius, La Galigo suku Bugis, atau tradisi sastra lokal lainnya, seperti pantun, gurindam, seloka, semuanya disajikan dalam syair-syair indah.
Bahkan dalam masa jahiliahnya, peradaban Arab telah menempatkan puisi dan penyair dalam posisi tertinggi secara sosial. Pengaruhnya melebihi ketua suku, bangsawan, dan saudagar kaya.
Dalam perkembangan mutakhir Arab, tak akan terlupakan penyair besar Irak, Nâzik Malaikah. Bagi rakyat Irak, Nâzik dianggap sebagai salah satu pahlawan revolusi yang memperlancar jalannya kudeta Rasyid al-Kilani.
Di Nusantara, puisi-puisi Hamzah Fansuri yang berasal dari Aceh abad ke-16 dan ke-17 masih berpengaruh pada puisi transendental masa kini. Adapun puisi-puisi karya Chairil Anwar, misalnya, turut membakar semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Bagaimana pula kita menafikan puisi-puisi WS Rendra dalam mendorong perubahan politik di negeri ini?
Keprihatinan nasib puisi
Puisi-puisi yang tercatat dalam tinta emas sejarah, menurut Adonis—kritikus sastra Arab Modern—tidaklah lahir dari kekosongan budaya, dan canggihnya akrobatik bahasa. Namun, puisi-puisi itu langsung berhubungan dengan proses membangun makna hidup dalam konteks sosial, baik dalam ruang temporal maupun perenial.
Di sini sensualiasme (akrobatik) kata berposisi sekadar sebagai pemantik (aksesori) bukan sebagai tujuan. Karena itu, ia bisa melampaui batas identitas dan merebut hati masyarakat.
Akan tetapi, sebagaimana yang disinggung di atas, betapa memprihatinkan nasib puisi sekarang ini. Siapa yang harus bertanggung jawab? Yang pertama, saya kira adalah para penyair sendiri. Bukankah tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi itu ditentukan kualitas sebuah puisi? Jika puisi bisa merebut hati masyarakat, rasanya nasib puisi tak akan telantar.
Kenyataannya, puisi-puisi mutakhir kita justru jadi semakin ”elite” dan eksklusif. Bahasa dan diksinya semakin njelimet, sukar dipahami.
Mereka sepertinya terjebak dalam romantisisme atau labirin lirisisme klasik yang terpaku pada keindahan dan tema-tema ”abadi” yang kehilangan konteks kekiniannya. Akibatnya, mereka terasing dari peristiwa-peristiwa penting yang terjadi tak jauh kakinya berpijak. Peristiwa memilukan, suara terbungkam dan kesengsaraan yang membutuhkan puisi sebagai mikrofon dari suara hati mereka.
Apakah ini berarti diagungkannya kembali posisi puisi sebagai l’art pour l’art, seni hanya untuk seni sendiri? Puisi yang hanya berlaku pada mereka yang hidup di dalamnya, semacam pemeo ”yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Sebuah ironi, yang tampak mirip dengan gambaran karya Yunani, Tuhan yang Tak Dikenal (Kis. 17:23). Kita tahu bahwa Ia ada, tetapi karena terasa jauh dan sukar dipahami, maka ”pengetahuan” atas-Nya pun menjadi milik segelintir orang saja.
Haruskah puisi kini jadi alien bagi kita? Mari kita menjawabnya.
Aguk Irawan MN Pemimpin Redaksi Jurnal Budaya Kalimah, Yogyakarta
sumber: kompas cetak.

KONTRIBUSI KONSEP SENI TEATER TERHADAP PERKEMBANGAN SENI PEWAYANGAN

KONTRIBUSI KONSEP SENI TEATER TERHADAP PERKEMBANGAN SENI PEWAYANGAN
Soediro Satoto
I
Setelah saya konfirmasikan kepada panitia, judul makalah ini saya terima dan gunakan sesuai dengan permintaan DPH SENA WANGI (Dewan Pimpinan Harian SEKRETARIAT NASIONAL PEWAYANGAN NASIONAL). Ada kesan (mudah-mudahan tidak benar) bahwa wayang bukan teater sehingga konsep seni teater diharapkan bisa memberi kontribusi terhadap perkembangan seni pewayangan.
Ada yang berpendapat bahwa "Seni Pewayangan bukan Seni Teater". Maka, konvensi, metode, dan pendekatan untuk mengkaji dan menggarap Seni Pewayangan harus dibedakan dengan konvensi, metode, dan pendekatan untuk mengkaji, dan menggarap Seni Teater. Pendapat tersebut sah-sah saja. Sama sahnya dengan pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa Seni Drama bukan Seni Teater, tetapi Seni Sastra. Pengkajian atau penelitian terhadap Seni Teater berada di luar konvensi dan pendekatan sastra, melainkan berada dalam wilayah kajian seni – Lalu seni yang mana? Bukankah sastra, termasuk drama, juga seni, seni sastra? Ada yang berpendapat bahwa Seni Drama dan Seni Teater termasuk bidang Seni Rupa. Sedangkan orang lain berpendapat bahwa Seni Rupa termasuk bidang Seni Arsitekstur. Ada kesan bahwa Seni Pewayangan disejajarkan atau disamakan dengan Seni Pedalangan, sehingga di beberapa Perguruan Tinggi Seni menggunakan nama Jurusan Pedalangan, bukan Jurusan Pewayangan. Pendapat-pendapat tersebut seharusnya didukung oleh alasan-alasan dan konsep-konsep yang jelas, dan jelas pula acuannya sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekaburan.
Dalam makalah ini, Seni Pewayangan dimasukkan sebagai seni pertunjukan. Ia adalah Seni Teater, ‘Seni Teater Tradisional’ yang akan selalu mengalami reformasi dan tranformasi seperti halnya seni-seni tradisional yang lain, dan juga seni-seni kontemporer, termasuk ‘Seni Teater Kontemporer’. Seni Tradisional bukan seni yang telah mandeg, baku, dan beku. Ia terus mengalami perkembangan atau bahkan perubahan seirama dengan transformasi di segala bidang, tanpa kecuali bidang budaya dan seni, khususnya Seni Pewayangan atau Seni Pedalangan. Namun sebaliknya, seni tradisi bisa memperkaya seni modern (lihat Rendra 1983:3). Dengan demikian, konsep Seni Teater bukan hanya bisa memberi kontribusi terhadap perkembangan Seni Pewayangan, tetapi juga dapat dicobaterapkan ke dalamnya.
II
Seni Teater adalah produk sebuah proses penciptaan dari seni drama ke dalam seni teater, atau dapat disingkat ‘proses teater’. Sebagai proses teater, keberadaan Seni Teater mengacu pada ‘formula dramaturgi’. Istilah ‘dramaturgi’ itu sendiri dipungut dari bahasa Belanda ‘dramaturgie’, berarti ajaran tentang seni drama (leer van de dramatische kunst), atau dari bahasa Inggris ‘dramaturgy’, berarti seni atau teknik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk teater. Secara singkat bisa disebut ‘seni teater’ (the art of the theatre) (Harymawan 1988:iii).
Safian Hussain dkk. dalam Glosari Istilah Kesusasteraan (1988:69) menyebutkan bahwa ‘dramaturgi’ adalah komposisi dramatik atau seni dramatik, yaitu unsur-unsur teknikal yang digunakan dalam penulisan drama. Unsur bunyi dan unsur lakuan atau gerak merupakan dua unsur penting di antara unsur-unsur penting lainnya dalam drama. Dan inilah yang membedakan antara teknik penulisan drama atau lakon dengan jenis sastra yang lain, yaitu prosa (novel atau cerpen) dan puisi.
Pendekatan dramaturgi (approache dramaturgique), yang di Perancis dipelopori dan dikembangkan oleh Jacques Scherer, bertujuan untuk menjelaskan bagaimana seorang pengarang drama menggunakan kerangka bentuk tertentu serta prosedur tertentu dalam mengarang (Scherer 1980:5, dalam Bachmid 1990:26).
Yang dimaksud rumusan atau ‘formula dramaturgi’ di atas merupakan proses (penjadian) teater yang meliputi 4M, yaitu (1) Mengchayal (dalam bentuk ide); (2) Mencipta atau Menuliskan (dalam bentuk dramatic script, teks dramatik, atau naskah lakon); (3) Mempertunjukkan atau Mempergelarkan (dalam bentuk teks pertunjukan atau seni teater); dan (4) Menyaksikan, Menonton (bisa dalam bentuk komentar, ulasan, resensi, kritik, kajian, atau penelitian).
Perbedaan istilah ‘drama’ dan ‘teater’, sebagai proses kreatif seni, dapat dilihat pada pasangan ciri-ciri berikut (lihat Tennyson 1967:1; Satoto 1991:6—25).
drama teater, pergelaran wayang
play (lakon, sandiwara) performance (pertunjukan, pergelaran)
script (naskah, bisa bentuk sketsa) production (produksi)
dramatic text (teks dramatik) perfomance text (teks pertunjukan)
author (pengarang) direction (sutradara, dalang) caracter (tokoh) aktor/aktris, boneka wayang (dimainkan oleh dalang)
creation (kreasi) interpretation (interpretasi, oleh dalang)
theory (teori) implementation (implementasi)
Berdasarkan perbandingan di atas, tampak bahwa (1) drama lebih merupakan lakon yang belum dipentaskan; (2) skrip atau naskah lakon (apa pun wujudnya) yang belum diproduksikan; (3) teks dramatik yang masih harus memperoleh tingkat kesempurnaannya di dalam teks pertunjukan, sehingga segala jenis seni pertunjukan harus konteks dengan publiknya (audience); (4) hasil kreasi, ide, atau gagasan pengarang (dalam naskah lakon) yang dalam batas-batas tertentu masih harus diinterpretasikan oleh sutradara (dalang) beserta seluruh pekerja teater untuk mementaskannya; (5) tokoh dalam teks dramatik, atau aktor dalam teks pertunjukan yang masih kosong harus memperoleh fungsi dan peran (oleh sutradara atau dalang) sehingga setiap tokoh dalam setiap lakon memiliki karakteristiknya masing-masing.
III
Kini, baik secara konsepsional, apalagi jika dilihat dari wujud atau bentuk, gaya, penggarapan, dan atau pementasannya, kita semakin sulit membedakan dan memberi batasan mana karya seni yang paling berhak meng-claim atau disebut teater klasik, teater tradisional, teater rakyat, teater daerah, teater lokal, teater nasional, teater Indonesia, teater Barat, teater modern, atau teater kontemporer. Hal itu terjadi karena jenis-jenis teater tersebut sama-sama mengalami perkembangan dan atau perubahan paradigma seirama dengan transformasi dan globalisasi budaya dan seni. Teater modern dan teater kontemporer yang sebagian orang menengarai dengan masuknya konvensi (dari) Barat, antara lain konvensi adanya naskah lakon tertulis; sementara teater tradisional tidak menggunakannya. Mana pula yang disebut seni adiluhung, yang konon, harus dilestarikan (apanya?). Sementara tata nilai itu sendiri terus mengalami perkembangan dan atau perubahan. Wayang Kulit Purwa Jawa, misalnya, sering disebut jenis teater tradisional adiluhung yang harus dilestarikan (apanya: filosofinya, fungsinya, konvensinya, wujud bonekanya, bentuk, garap, atau gaya pergelarannya, atau semuanya?). Jika semua itu benar, maka seni pewayangan telah mengingkari hakikat seni itu sendiri yaitu bersifat kreatif dan inovatif.
Di wilayah Indonesia, kita kenal berbagai jenis seni teater yang lazim disebut ‘teater tradisional’ (telah mentradisi), ‘teater rakyat’ (karena merakyat); atau ‘teater daerah’ (berciri khas daerah). Secara konvensional, yang dimaksud teater daerah terbatas pada seni pertunjukan yang memiliki ciri khas daerah tertentu. Jenis teater yang tidak berciri kedaerahan adalah teater Barat. Perbedaan utama antara teater Barat dan teater daerah Indonesia adalah selalu adanya naskah lakon tertulis dalam produksi teater Barat (Bandem & Murgiyanto, 1996:10). Perlu dipertanyakan tentang ciri khas daerah tertentu yang mana? Bahasanya, gayanya, garapnya, apa geografisnya? Begitu pula, dalam kenyataannya sekarang, ada teater modern yang diasumsikan teater Barat tetapi tidak menggunakan naskah lakon tertulis, melainkan dengan improvisasi-improvisasi dan kata-kata mini atau sketsa, yang biasa disebut teater mini kata atau teater primitif. Misalnya, lakon Bib Bob (Rendra), dan lakon RE (Akhudiat). Sebaliknya, ada teater daerah yang menggunakan naskah lakon tertulis, dan digarap berdasarkan konvensi Barat. Misalnya Kethoprak Glinding di Solo; kethoprak, wayang orang, atau wayang kulit yang dipentaskan dan/atau ditayangkan di teve, atau dipentaskan ‘dalam rangka’. Contoh-contoh lain adalah seni-seni tradisional yang semangatnya adalah eksperimental atau eksplorasi. Apa salahnya jika teater daerah atau teater tradisional jenis wayang memanfaatkan naskah lakon tertulis, diterjemahkan atau tidak ke dalam bahasa nondaerah, dan digarap berdasarkan konvensi teater (diasumsikan Barat?). Peristiwa demikian sering juga dilakukan bagi teater Barat yang diterjemahkan ke dalam bahasa daerah di Indonesia, digarap berdasarkan konvensi, gaya, dan bentuk-bentuk, atau roh teater daerah di Indonesia. Jadi, ciri-ciri kedaerahan (termasuk bahasa daerah), naskah lakon tertulis, dan konvensi yang dipakai, dalam perkembangannya sekarang, tidak cukup akurat sebagai pembeda antara Teater Daerah (di Indonesia), dan Teater Barat (tidak selalu sama dengan non-Indonesia), atau Teater Tradisional dan Teater Modern.
Beberapa contoh jenis teater rakyat, teater daerah, atau teater tradisional di Indonesia adalah: Bangsawan (Sumatra Utara); Randai (Sumatra Barat); Dermuluk (Sumatra Selatan); Makyong, Mendu (Riau, Kalimantan Barat); Mamanda (Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur); Ubrug, Longser, Bonjet (Jawa Barat); Lenong, Topeng, Blantik (Batawi); Mansres (Indramayu); Sintren (Cirebon); Kethoprak (Yogya, Solo, Jawa Tengah, Jawa Timur); Wayang (Kulit atau Purwa, Orang, Topeng, Golek, Sungging, Gedog, Kidang Kencana, Menak; Klitik atau Krucil, Kulit Perjuangan, Kulit Kancil, Potehi, Cina, atau Thithi, Beber, Madya, Tasripin, Suluh, Wahana, Pancasila, Wahyu) tersebar hampir di seluruh Jawa; Dadung Awuk (Yogya); Kuda Lumping (Yogya, Solo, Jawa Tengah, Ponorogo, Jawa Timur); Srandul (Jawa Tengah, Jawa Timur); Ludrug, Kentrung (Jawa Timur); Drama Gong, Gambuh, Arja, Topeng, Prembon (Bali); Topeng Dalang (Klaten, Jawa Tengah, Jawa Timur); Topeng (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura); Panji (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur) (Satoto 1991:121—189).
Berdasarkan contoh-contoh di atas, jelas bahwa seni teater wayang memiliki jenis paling banyak daripada yang dimiliki oleh seni teater tradisional lainnya. Jumlah jenis teater wayang dan pengelompokannya setiap pengamat bisa saja berbeda. Kesamaanya, jenis-jenis teater wayang tersebut, masing-masing, memiliki spesifikasi dan karakteristiknya sendiri. Jenis dan ragam teater wayang itu masih akan terus berkembang dan bertambah jumlahnya.
IV
Mengapa jenis dan ragam seni pewayangan masih terus mengalami perkembangan, bahkan perubahan, baik secara kuantitas maupun kualitas seninya jika dilihat dari segi wawasan seniman wayang yang bersangkutan, konvensi, metode, pendekatan, gaya, dan teknik penggarapan yang digunakan dalam proses pementasan wayang yang dihehendaki. Jika proses perkembangan wayang akan terus berlangsung tanpa hambatan, apa lagi ancaman atau sanksi, maka hal itu mengindikasikan bahwa (1) Seni Pewayangan, termasuk Seni Pedalangan (Seni Penyutradaraan Plus), Seni Karawitan/Musik (tata musik atau suara), dan Seni Tari (tata gerak atau lakuan) yang secara konvensional merupakan komponen-komponen utama di samping komponen-komponen penting lainnya yang membangun komunitas Seni Pewayangan, bukanlah seni tradisional yang mandek, statis, baku, dan beku, melainkan dinamis seirama dengan perkembangan dan dinamika masyarakat wayang sebagai publiknya, tanpa harus mengorbankan esensi Seni Pewayangan; (2) Para pecinta dan pemerhati wayang, pengayom wayang, pengelola wayang, pemikir wayang, kritikus wayang, peneliti wayang, dan masyarakat wayang pada umumnya sebagai publiknya, bukanlah orang-orang tradisional yang fanatik akan kemapanan, sementara seniman wayang generasi penerusnya merasa resah dan gelisah terhadap kemapanan.tersebut.
Slamet Gundono, S.Kar., misalnya, dalang muda nan tambun lepasan STSI Surakarta, merasa resah dan gelisah melihat ikatan ketat kemapanan tradisi, pakem-pakem yang membelenggu kreativitas seninya (sanggit). Ia mencobaterapkan konvensi-konvensi seni teater yang pernah diterimanya, digaulinya, dan dihayatinya ke dalam pementasan Wayang Suketnya. Boneka-boneka Wayang Kulit Purwa yang memiliki makna simbolis dan karakteristik baku, hitam putih diganti dengan boneka-boneka dari suket (rumput, atau mendong) yang secara simbolis dapat dimaknai kesederhanaan.Tokoh yang menghadapi Karna untuk mengklarifikasikan sikap Karna terhadap Pandawa, khususnya Ibu Kunthi pada Perang Bharatayudha, tidak harus Kresna dan Harjuna, melainkan bisa Werkudara. Secara logika lebih masuk akal karena Werkudara bukan tak mungkin menjadi peragu atau dendam karena kematian Gatutkaca akibat senjata Kunta Wijaya Danu yang dilepaskan Karna, kakak kandung Werkudara sendiri, seibu dengan Ibu Kunthi. Tampilnya dunia fiksi dan nonfiksi dalam struktur Wayang Suket Gundono terasa lebih teatrikal dan artistik daripada adegan Limbukan dan Goro-Goro beberapa dalang akhir-akhir ini yang menjadi arena pemujaan berlebih-lebihan terhadap penanggap atau yang mensponsori pendanaan pergelarannya, sebaliknya justru terjadi pelecehan terhadap para pekerja teater wayang, dan pilihan pendengar, demi merebut pangsa pasar.
Contoh lain, pementasan Wayang Nggremeng Gundono dalam Alap-alapan Surtikanthi sebuah lakon karya Goenawan Mohamad. Tidak ada boneka wayang, tidak ada gamelan (tradisional). Gundono bukan dalang otoriter dan penafsir tunggal seperti lazimnya pergelaran Wayang Kulit Purwa. Seluruh pekerja teater Wayang Nggremeng bisa menafsirkan lakon sesuai dengan wawasan dan daya apresiasi masing-masing. Dengan demikian, makna lakon, sebagai karya fiksi, bisa memiliki berbagai penafsiran seperti apa yang dikemukakan dalam teori dekonstruksi atau pascamodernisme (Culler 1983). Seluruh pekerja teater Wayang Nggremeng juga berperan sebagai pemain, peniru suara gamelan (pengrawit), bahkan sebagai dalang sekalipun. Mereka bisa santai makan, minum, merokok, dan bercanda tentang hal-hal yang aktual dan konteks dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, hukum, dan hankam yang sedang menjadi isu aktual. Makanan, minuman, dan rokok berserakan di hadapan para pemain, siap dijadikan peraga atau boneka wayangnya. Gundono mengikuti jejak gurunya Gondo, bahwa cerita wayang sebagai karya fiksi bisa divisualisasikan secara nonfiksi, ditafsirkan, atau dimaknai bermacam-macam, bahkan tafsir atau makna gila-gilaan sekalipun (posmodernisme).
V
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kontribusi dan implementasi konsep seni teater terhadap perkembangan seni pewayangan bisa menyangkut di bawah ini.
Pertama, struktur teatrikalnya, misalnya komponen dalang dan seni pedalangan (sutradara dan teknik penyutradaraan); karakter (tokoh), teknik penokohan, pemeran dan teknik pemeranan (pada wayang kulit dilakukan oleh dalang berupa sabet dan cakapan); dialog (cakapan, pada wayang orang dilakukan oleh pemeran); struktur ruang (pada wayang kulit, gedebog dan kelir lambang mikro dan makrokosmos), dan struktur waktu (pathet, pengaluran, dan pengadegan); mempotensikan seluruh pekerja teater wayang secara profesional dan proporsional (niyaga atau penabuh gamelan, wirasuara, penata panggung, penata suara, penata lampu, penata properti atau perlengkapan, dan lain-lain) sehingga kreativitas mereka bisa dihargai secara profesional dan proporsional berdasarkan hasil karya kolektif mereka bersama dalang, artinya tidak sekadar memperoleh upah dari Sang Dalang.
Kedua, masalah penafsiran lakon, sanggit, dan teknik pemanggungan. Dalang bukan satu-satunya sumber penafsir dan pencipta lakon, melainkan juga seluruh pekerja teater wayang. Untuk keperluan ini, di samping dalang, setiap pekerja teater wayang perlu selalu meningkatkan wawasan, daya apresiasi, dan daya kreativitasnya terhadap Seni Pewayangan dan Seni Pedalangan sebagai karya seni kolektif.
Ketiga, perlu pengkajian dan penelitian terus-menerus terhadap masyarakat wayang (termasuk penonton, pemerhati, pengamat, kritikus, peneliti, dan pengayom) sebagai publiknya, karena perkembangannya cenderung semakin heterogen.
Keempat, masalah manajemen seni pertunjukan, terutama manajemen seni tradisional, dalam hal ini pergelaran wayang kulit purwa Jawa, umumnya masih merupakan industri atau perusahaan perseorangan di mana Dalang sebagai pemilik modal tunggal dan pemimpin tunggal sebagai majikan yang memiliki otoritas tunggal. Sedangkan para pekerja (crew) teater wayang kulit merupakan buruh-buruhnya. Kondisi demikian bisa dikaji ulang, dilakukan penelitian, dan dicarikan solusi terbaiknya sehingga menguntungkan semua pihak yang terkait dengan pergelaran wayang kulit purwa Jawa tersebut sebagai suatu karya seni kolektif dan kompleks secara proporsional dan profesional..
Kelima, dirasa perlu, penting, dan mendesak segera dicari dan ditemukan konsep atau teori seni pewayangan atau seni pedalangan, khususnya teknik penggarapan dan atau gaya pementasan wayang, demi perkembangan dan pengembangan seni pewayangan itu sendiri.
Keenam, kritik seni, khususnya kritik seni pewayangan dan/atau seni pedalangan, bukan saja perlu dilembagakan, tetapi juga perlu mendapat porsi dan kesempatan yang layak untuk melakukan kritik sesuai dengan kompetensi kritikus, serta hakikat, arti, dan fungsi kritik.
DAFTAR PUSTAKA
Bachmid, Talha, 1990. Semangat ‘Dérision’ dalam Drama Kontemporer: Telaah Bandingan Dua Lakon "Kapai-Kapai" Karya arifin C Noer dan "Badak-Badak" Karya Eugène Ionesco. Disertasi. Fakultas Pascasarjana UI Jakarta. Belum diterbitkan.
Bandem, I Made & Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Jakarta: Pustaka Budaya.
Culler, Jonathan. 1983. Theory and Criticism after Structuralism. London, Melbourne and Henley: Routledge & Kegan Paul.
Harymawan, RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda.
Hussain, Safian dkk., 1996. Glosari Istilah Kesusastraan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kemerdekaan Pendidikan Malaysia.
Rendra. 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: PT Gramedia.
Satoto, Soediro. 1991a. Pengkajian Drama I. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
_____________ 1991b. Pengkajian Drama II. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
_____________ 1984. Wayang Kulit Purwa: Makna dan Struktur Dramatiknya. Penelitian. Yogyakarta: Proyek Javanologi Depdikbud RI.
______________ 1998. Tokoh dan Penokohan dalam Caturlogi Drama "Orkes Madun" Karya Arifin C Noer. Disertasi. Program Pascasarjana UI Jakarta. Akan diterbitkan.
______________ 1999a. Teater Indonesia. Makalah. Disajikan dalam Forum Simposium Nasional. Dalam rangka Festival dan Temu Ilmiah MSPI 1999 pada tanggal 09—14 September 1999, di Tirtagangga Karangasem Bali.
_______________ 1999b. Mencari Format Pedalangan Era Reformas

Kamis, 03 September 2009

KUMPULAN CATATAN PUTU WIJAYA

PENDET
“Ini bukan hanya masalah tari pendet. Bukan hanya masalah orang Bali. Ini harga diri kita sebagai bangsa. Kita tersinggung! Pulau direbut, hutan dicuri, TKI disiksa bahkan ada yang mati. Warisan budaya, tarian, bahkan masakan diklaim sebagai milik mereka. Ini sudah melanggar hukum. Satu kali oke, kedua kali masih oke, tapi kalau sudah berkali-kali namanya menantang. Kalau dibiarkan nanti jadi kebiasaan. Kita bisa dianggap bangsa kelas dua yang boleh diremehkan. Tidak! Kita harus marah! Apa mau mereka memanas-manaskan tungku yang sudah mendidih? Mentang-mentang kaya! Sakit hati karena pernah kita ganyang? Oke sekarang kita juga sakit hati. Dan berkali-kali! Kepala sudah beku karena coba dididingin-dinginkan. Kita tidak tahan lagi, kita harus ganyang!”.
“Sabar!” potong Amat menghentikan latihan pidato Ami, sebagai reaksi iklan parawisata Malaysia yang mengklaim tari pendet sebagai bagian warisan budayanya.
“Sabar?”
“Tenang! Kita harus menyikapi semuanya dengan bijak.”
“Bapak masih mau bijak padahal sudah habis-habisan dibajak?”
“Ya, tapi coba lihat dari segi positipnya. Itu kan hanya iklan. Katanya yang buat bukan orang setempat tapi dibuatkan oleh apa itu namanya, Discovery Channel?”
“Siapa pun yang membuat, tapi itu kan dipakai sebagai promosi negara? Negara mesti bertanggungjawab. Kecuali kalau negara menganggap perbuatan mengklaim punya negara lain itu bukan kejahatan. Itu namanya negara pencuri!”
“Stttttt ! Tenang Ami. Jangan cepat darah tinggi! Coba lihat segi positipnya!”
“Dalam kriminalitas tidak ada yang positip!”
“Ada! Dengerin! Justru itu bagus. Karena turis yang dipikat untuk pergi ke sana, lama-lama akan tahu, tari pendet itu rumahnya bukan di situ, tapi di Bali. Kalau mau nonton pendet, jangan ke situ, tapi ke Bali. Nah, jadi itu kan iklan gratis buat kita? Promosinya dia yang bayar, manfatnya kita yang sikat!”
Ami melotot.
“Bapak sudah kena virus kapitalisme! Apa-apa selalu diukur dari kepentingan dagang. Persetan dengan keuntungan! Parawisata tidak berarti kita menjual kehormatan! Harga diri harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan! Bangsa yang tidak punya harga diri lagi, adalah bangsa budak? Bangsa kelas kambing! Ekonomi kita memang lagi berantakan, pamor kita juga sedang pudar, rakyat kita miskin hanya makan tempe dan tahu, tapi tidak berarti kita akan diam saja kalau diinjak. Sekarang baru tarian dan lagu, lama-lama kepala kita akan diambil. Kita sudah merebut kemerdekaan dengan revolusi berdarah, bukan dihadiahkan seperti mereka. Kita harus bertindak sebelum terlambat!!”
“Tapi tari pendet kan sudah lama kurang ditarikan lagi, Ami. Untuk menyambut tamu, sudah ada tari-tari baru yang diciptakan. Untung ada iklan itu yang membuat kita jadi ingat kembali tari pendet. Kita harus bisa mengambil hikmahnya. Kalau tidak ada klaim Malysia atas tari pendet itu, kita mungkin lama-lama sudah lupa!”
Ami bengong,. Ia melihat bapaknya seperti melihat hantu.. Hanya matanya yang memancarkan amarah yang sudah tidak tertahankan. Kemudian tanpa menjawab sepatah, pun, dia langsung pergi. Sampai malam, ia belum kembali. Hanya pesannya di atas secarik kertas muncul, diantar oleh temannya.
“Ami nginap di rumah teman!”
Bu Amat kontan melabrak suaminya.
“Ini gara-gara Bapak!”
“Gara-gara aku?”
“Ya! Bapak salah!”
“Salahku apa?”
“Bapak melarang Ami marah sama Malaysia!”
“Aku tidak melarang, tapi ..
“Tapi melarang!”
“Memang. Karena ngomongnya sudah tidak karuan. Boleh marah, tapi jangan sampai memaki-maki begitu!”
“Kenapa tidak. Kan sudah berapa kali kita dihina. Berapa TKW yang sudah babak belur bahkan mati. Masak diam saja. Betul, kata Ami, sekarang baru tari-tarian, kalau kita diam saja, nanti kepala kita akan diambil!”
“Jangan melebih-lebihkan begitu. Lagipula kita kan punya tetangga yang mantunya orang Malaysia. Kalau mereka dengar, anak kita marah-marah sama Malaysia, bisa-bisa mantunya tersinggung.”
“Memang itu maksud Ami! Makanya dia latihan pidato keras-keras di rumah. Biar mereka dengar hati kita panas!”
“Tapi nanti kita malah berantem dengan tetangga.”
“Biarin! Lebih baik berantem sekarang, daripada nanti kalau sudah dendamnya makin banyak!”
“Kalau begitu namanya tidak bijaksana.”
“Ngapaian bijak, kalau kita diinjak-injak. Bijak, sopan dan santun itu ada batasnya. Kalau tidak, sama juga dengan budak. Apa kita ini budak?”
Amat terdiam.
“Sana jemput Ami dan minta maaf!”
Karena Bu Amat begitu serius, Amat menyerah. Dengan menekan perasaan, dia pinjam sepeda tetangga dan menjemput Ami.
“Ami, Bapak disuruh minta maaf oleh Ibu kamu dan harap pulang. Tidak baik anak perawan sebesar kamu nginap di rumah orang.”
Ami mengangguk.
“Bapak tidap perlu minta maaf.”
“Bapak minta maaf dan pulanglah.”
“Tidak. Bapak tidak usah minta maaf. Umpama seorang presiden dalam sebuah negara, Bapak tidak boleh cepat marah kepada negara tetangga, meskipun jelas negara itu sudah mengekspor kejahatan ke tempat kita. Karena kalau presiden marah, bisa terjadi perang. Tapi harus ada yang marah, untuk mencegah jangan sampai kejahatan itu berubah menjadi kebiasaan. Itu sebabnya Ami marah. Meskipun Ami punya banyak teman-teman di Malaysia yang akan kaget karena Ami marah. Tapi kepentringan Ami tidak ada artinya dengan kepentingan negara. Jadi Ami harus marah. Bapak memang sudah sepantasnya bersikap bijak, karena tetangga kita mantunya Malaysia, jadi kita harus menghormatinya, karena kita adalah bangsa yang santun. Kita bukan bangsa penjahat!”
Amat tertegun.
“Jadi kamu mengerti, mengapa Bapak bersikap bijak?”
“Mengerti sekali. Bapak tidak boleh ikut marah. Nanti kita bisa berkelahi dengan tetangga. Cukup Ami saja yang marah! Ini masalah strategi!”
Amat manggut-manggut.
“Bagus. Kalau begitu kamu dewasa Ami. Bapak bangga sekali. Sekarang mari kita pulang.”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena Ami marah. Kalau Ami pulang, mantu tetangga kita, orang Malaysia itu akan tidak percaya bahwa kelakuan negaranya sudah membuat harga diri bangsa kita tersimnggung. Ini bukan hanya masalah tari pendet, bukan hanya masalah orang Bali, tapi harga diri bangsa Indonesia!”
“Tapi bagaimana kalau dia tidak peduli?”
“Itu dia! Memang mereka tidak pernah peduli! Mereka selalu menganggap persoalan kita adalah persoalan sepele. Itulah yang membuat Ami darah tinggi!”kata Ami sambil menutup pintu keras-keras.
Jakarta 23-8-09
Rendra
8 Agustus 2009 • & Komentar
“Kebudayaan Jawa adalah kebudayan kasur tua!” kata Rendra dengan tandas dalam sebuah diskusi di Yoga pada akhir tahun 60-an, kata seorang budayawan yang diwawancari di televisi itu.
“Banyak orang tersinggung dan kaget. Itu bukan saja terlalu berani tetapi juga kurangajar. Kebudayaan Jawa yang tinggi, berciri kontemplasi dan melahirkan monumen yang mencengangkan dunia seperti Borobudur, Prambananan, buku Nagara Kertagama, Arjuna Wiwaha dan sebagainya itu, bagaimana mungkin hanya sebuah kasur tua?”
“Burung merak dari Solo yang lahir pada 1935 itu kemudian dianggap sebagai orang gila yang besar mulut. Mentang-mentang baru pulang dari Amerika, tak seenak perutnya ia bisa menilai jawa yang begitu dihormati oleh semua orang.”
“Apakah itu yang kemudian menyebabkan Rendra, penyair Ballada Orang-Orang Tercinta itu kemudian diusir dari Yogya ke Jakarta? Tidak. Sama sekali tidak. Ia justru mengeluarkan seruan yang mengejek para seniman yang sudah ramai-ramai hijrah ke Jakarta, mengejar nama dan duit. Ia berseru, berjanji, mirip sebuah sumpah, ia akan terus bertahan di Yogya. Menampik budaya kota, hidup dekat dengan lingkunganserta alam. Dan hadir untuk menunjukkan eksistensi pedalaman.”
‘Tetapi kenapa bidan Bengkel Teater yang tersohor karena ciptaannya yang bernama teater mini-kata itu, tiba-tiba kemudian boyongan ke Jakarta. Ia menghuni sebuah kawasan luas di pinggiran kota Depok. Dalam sebuah wilayah lengkap dengan sawah serta kolam. Bahkan memiliki sebuah pemakaman keluarga yang juga terbuka bagi para seniman. Di situ terbaring maestro piñata artistik Rujito dan miskus yang melejit tiba-tiba menjadi sebuah legenda, si maniak kopi, Si tak gendong-gendong: Mbah Surip Karena ia mengambil tafsir baru.
Mempertahankan tradisi itu, bukan kulitnya, tapi isinya. Hidup di kota pun penting, asal jiwanya tetap jiwa yang alami. Bahkan itu perlu bagi orang kota yang sudah habis-habisan terkena polusi. Ia ke Jakarta untuk menyelamatkan Jakarta!”
“Mas Willy, begitu panggilan akrabnya, tidak kemudian menjadi manusia terkutuk yang dikeluarkan oleh orang yang merasa dirinya orang jawa. Ia bahkan mendapat kemulyaan di malam purnama yang indah, malam Jum’at, menjelang bulan Ramadhan. Dan kepergiannya dihadiri oleh ribuan orang yang mengalir memadati seluruh pelataran kawasan Bengkel Teater sehingga membuat jalanan pun macat.”
“Kenapa? Karena ternyata di balik kata-katanya yang pedas, yang membuat telinga merah, di balik apa yang dimaksudkannya dengan kebudayaan kasur tua, tersimpan niat yang mulia. Dia ingin membebaskan tradisi dari virus-virus jahat, yang dalam perjalanannya menembus zaman sudah dititipkan oleh kekuasaan dan tangan-tangan jahil. Ia ingin membebaskan tradisi dari asesoris dan muatan temporer yang membuat tradisi menjadi beban berat dan menyiksa bahkan melukai para pewaris. Ia ingin mencuci kembali tradisi, sehingga esensinya, rohnya
yang bernama kearifan lokal bersinar kembali dengan gemilang!”
“Si Burung Meraklah yang kemudian memberi tafsir baru terhadap apa yang disebut nrimo, pasrah, gotong-royong dan sebagainya yang sudah diselewengkan menjadi tempat menyembunyikan kemalasan alias didaur-ulang. Dengan memberikan tafsir baru, ia membuat seluruh kebijakan, ilmu hidup yang diturunkan oleh tradisi Jawa menjadi dinamis, alias tidak melempem. Ia membuat tradisi Jawa tidak lagi kolot, melempem, tetapi bernas, aktual dan menyelamatkan para pewarisnya dari benturan-benturan zaman.”
Amat terkejut. Ia memandang orang yang bicara di di layer kaca itu dengan mata tak berkedip. Tak sabar. Ia kemudian mencecer.
“Maksud Bapak, mas Willy sudah membuat kebudayaan jawa kembali pada kearifan lokalnya?”
“Persis!”
“Almarhum membuat kebudyaan jawa menjadi dinamis?”
“Betul Pak Amat.”
“Seperti desa-kala-patra bagi orang Bali?”
“Itu maksud saya! Seratus untuk pak Amat!”
Amat terpekik.
“Yes!”
Tak puas hanya memekik, Amt kemudian menggebrak meja.
“Betul! Makanya dia dinamakan Burung Merak!”
Bu Amat bergegas datang.
“Sabar Pak, sabar. Telat satu menit saja sudah main pukul meja!” kata Bu Amat meletakkan kopi yang dipesan suaminya. “Jangan suka marah, main drama seperti pemain-pemain sioentron itu. Yang wajar-wajar saja.”
Amat memegang tangan istrinya yang mau kembali ke dapur, sambil menunjuk ke televisi.
“Lihat Bu, begitu banyak orang datang dalam pemakaman mas Rendra. Dia itu pantas mendapat bintang Maha Putra!”
“Betul, dengan semua perbuatan, tindakan serta pemikirannya, Mas Willy adalah orang yang mengajarkan kepada kita untuk bersikap berani melawan, “kara wajah di televisi itu lagi.melanjutkan, “dia memberikan toladan untuk berani mengemukakan pendapat, bersikap kritis kepada penguasa yang sudha bertindak sewenang-wenang, karena tidak mengoyomi rakyat dan memikirkan kesejahteraan bangsa, tetapi menumpuk keuntungan untuk dirinya sendiri. Mas Rendra mengajak kita untuk berani berkata jujur. Ia seorang pahlawan!”
Bu Amat nyeletuk.
“Kalau dia memang pahlawan, kenapa tidak dimakamkan di makam pahlawan?”
“Makam Pahlawan? Dia tidak akan mau!”
“Kenapa?”
“Karena dia tidak mau terikat oleh kehormatan. Dia pasti lebih senang lepas-bebas di dalam masyarakat, sehingga bisa bergaul dengan semua orang.”
“Itu kan kata Bapak!”
Bu Amat kemudian ngeloyor kembali ke dapur. Amat tercengang.
“Ya itu kataku. Itu memang kataku. Aku berkata untuk almarhum, sebab dia sudah tidak mampu lagi berkata. Apa salahnya kita menafsirkan apa yang akan dikatakannya, setelah orangnya tidak ada? Apa salahnya akuyang akan mengatakan apa yang hendak dikatakan oleh Michael Jackson, Mbah Surip dan Mas Rendra. Kita harus mengungkapkan apa yang tidak bisa lagi dikatakannya. Betul tidak?’ tanya Amat kemudian kepada Ami ketika Ami kembali dari kampus.
Ami mengangguk acuh tak acuh.
“Itu namanya penafsiran, Pak.”
“Memang. Kita kan harus menafsirkan apa yang sudah dilakukan dan diperbuat oleh almarhum, karena almarhum sendiri sudah tidak sanggup berkata? Orang-orang yang berbicara di televisi itu semua begitu, ketika mengomentari Mbah Surip dan mas Willy. Kita harus memberikan tafsir! Masak tidak boleh?”
“Siapa yang melarang?”
“Ibumu!”
“Apa salah Ibu melarang?”
“Karena Bapakmu tidak mau ada orang berkata lain!” damprat Bu Amat yang muncul kembali sambil membawa pisang goreng.
“Katanya Mas Rendra yang meninggal itu seorang Empu yang mengajarkan murid-muridnya untuk memberi tafsir baru. Kenapa kalau Ibu memberi tafsir baru pada tafsirnya, dilarang?”
“Yes!” teriak Ami tiba-tiba.
“Itu artinya dia orang besar. Orang besar kalau meninggal selalu membuat kita yang ditinggalkannya berpikir. Bertengkar juga berpikir. Jadi Jacko, Mbah Surip dan Mas Rendra itu memang orang hebat. Titik. Ayo sekarang ganti channel tv-nya. Itu ada tembak-menembak dengan teroris yang diduga Nurdin Top! Bukan maunya orang besar saja yang harus diperhatikan, mauku juga!”
Jakarta 7 Agustus
BOM
20 Juli 2009 • & Komentar
Giliran Amat menangis di depan televisi. Ia meratapi korban terorisme yang sudah meledakkan bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Hotel, di Jakarta. Pagi 17 Juli yang tenang dan indah sejak berlangsungnya Pemilu 09 yang damai dan mendapat banyak pujian dari mancanegara, kontan buyar.
Pasar modal tertegun walau pun tak sampai guncang. Presiden SBY yang memberikan pidatonya pun sempat terdiam, bagai menahan kepedihan untuk tidak menangis, mengingat ekonomi yang sudah membaik dan kedamaian yang mulai tumbuh menjadi rontok. Bahkan klab sepakbola Manchester United yang direncanakan datang hari Sabtu dan menginap di hotel yang terkena bom, membatalkan laganya dengan PSSI All Star.
“Aku heran masih ada saja orang yang menginginkan negeri kita ini kacau,”kata Amat kepada para tetangga yang bergunjing di tepi jalan.”Aku heran ada orang yang tega membunuh manusia lain dengan tanpa peduli. Bukan hanya sembilan nyawa yang sudah jadi korban, seperti yang aku dengar di televisi, tetapi ribuan bahkan jutaan. Orang-orang itu punya anak, istri, keluarga, famili dan negara. Aku yang jauh dari Jakarta dan tidak kenal kepada korban, merasa ikut kehilangan, karena kematian itu berarti juga kematian perdamaian, ancaman langsung kepada nyawa kita!”
Para tetangga manggut-manggut. Seorang pemuda menjawab.
“Itulah politik, Pak Amat.”
“Politik?”
“Ya. Apa yang terjadi tidak bisa dilihat dari apa yang kejadian di depam mata kita saja, Pak Amat. Harus dihubungkan dengan sebab musababnya yang paling jauh dan tujuannya yang paling jauh. Dan mungkin sekali bagi orang yang kurang pengetahuan seperti kita, hubungan itu sama sekali tidak ada. Bukan karena tak ada, tapi karena kita sudah tidak mampu merasakan, karena tidak melihatnya.”
Amat terkejut.
“Maksudnya?”
“Ya sudah saya katakana tadi, ini politik.”
Amat penasaran. Dia mulai marah.
“Artinya apa kalau itu politik?”
“Tidak perlu ada artinya. Ini hanya untuk mengingatkan orang untuk kembali kepada apa yang sudah dilupakan!”
“Apa yang sudah dilupakan?”
“Keadilan dan kebenaran.”
“Keadilan siapa? Kebenaran siapa?”
“Keadilan dan kebenaran mereka yang dilupakan!”
“Dengan cara menempuh jalan yang tidak adil dan tidak benar?”
“Bukan jalannya yang harus dinilai, tapi tujuannya Pak Amat!”
“Itu namanya menghalalkan segala cara!”
“Itu kan kata Pak Amat.”
“Jadi Anda setuju hotel Marriot dan yang satu lagi itu di bom? Anda sutuju Bali dua kali dibom?”
Mata Amat berapi-api. Orang itu tidak menjawab. Dia buru-buru pergi.
“Teroris!” umpat Amat. “Anarkhis!”
Tangan Bu Amat lalu membelai pundak Amat.
“Sudah Pak, jangan terlalu dijiwai nanti bludreknya kumat!”
Amat menarik nafas panjang.
“Aku heran, kenapa orang bisa dicuci otaknya sampai segalanya menjadi terbalik-balik. Masak dia menyuruh kita melupakan bom yang membunuh orang ini, lalu melihat sebab awalnya yang tidak kita tahu, lalu memikirkan tujuan akhirnya yang kita juga tidak tahu. Jangan-jangan dia sendiri juga tidak tahu!”
“Ya namanya juga otaknya sudah dicuci!”
“Gudang dicuci memang bisa kosong. Pakaian dicuci pemutih juga bisa kehilangan warna. Tapi masak manusia yang sudah diisi oleh pendidikan, susila, budi pekerti bahkan agama, bisa dicuci? Sebersih-bersihnya dicuci pasti nuraninya masih ada! Kecuali memang orangnya sakit!”
“Ya itu dia. Makanya mereka milih-milih siapa yang harus dicuci. Tak semua otak bisa dicuci!”
“Tapi ternyata sekarang semua orang bisa dicuci oltaknya, Bu! Bukan hanya yang buta huruf saja, yang doktor pun bisa dicuci. Jadi kita memang sudah kehilangan nurani. Kita semua sudah memasuki zaman kaliyuga! Kita semua sudah edhan!”
Bu Amat menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia memanggil Ami.
“Coba tenangkan bapakmu Ami, pikirannya sudah ngelantur lagi.”
Ami melirik bapaknya. Mata Amat masih terus tertancap ke layar kaca mengikuti laporn sekitar Bom Marriott 2. Kadang-kadang dia ngomong sendiri.
“Ayolah Ami, jangan biarkan bapakmu begitu!”
“Habis Ami harus ngapain?”
“Ya ajak bapakmu jangan melihat segala sesuatu dari buruknya saja, ambil segi baiknya.”
Ami terperanjat.
“Segi baiknya? Apa ada segi baiknya dari tindakan terorisme membom hotel dan membunuh orang yang tidak bersalah? Ibu kok jadi ikut-ikutan jadi korban cuci otak?!”
Sebaliknya dari menemani bapaknya, Ami lalu masuk ke kamar mandi dan men yanyikan lagu Slank dengan seenaknya
“Inikah demokrasi, setiap orang boleh berbuat seenak perut sendiri …. . .. “
Bu Amat tertegun.
Waktu Bom Bali yang pertama dia sangat terguncang. Takut, ngeri, merasa terancam dan berhari-hari tidak enak makan. Pada kejadian Bom Bali Kedua, ia memang masih tertekan, tapi segalanya kemudian menjadi biasa. Setelah itu, mendengar cerita bom dan terorisme di manap-mana, ia sama sekali tenang. Seakan-akan semuanya itu memang bagian dari asesoris kehidupan politik.
Ketika muncul berita Bom Marriot 2, ia sempat terdiam sebentar. Matanya menancap ke televisi. Tapi kemudian ia tidak merasakan apa-apa lagi, karena banyak hal lain yang masih harus diperhatikan. Kematian si Raja Pop Michael Jackson masih hangat. Banyak peristiwa aneh di sekitar Pemilu 09 yang menyangkut para caleg gagal, masih seru. Perhatiannya pada Bom Marriot 2 memang jadi kurang – untuk tidak mengatakan sama sekali tidak ada.
Ia tidak tahu mengapa ia menjadi seperti beku. Mungkin karena begitu banyak yang sudah terjadi sejak menjelang reformasi. Penculikan. Orang hilang. Bencana alam. Korupsi. Manusia makan mayat. Ibu membunuh anaknya. Anak dijual oleh ibunya. Teror dan bom di mana-mana.
Dulu, suami atau anaknya sakit saja ia sudah menangis. Mendengar orang menyanyikan Indonesia Raya di saat pengibaran bendera pada upacara peringatan 17 Agustus, ia bisa mengucurkan air mata.
“Hidup semakin keras, manusia menjadi semakin tabah. Kalau tidak begitu, kita semua akan kalah,”bisik Bu Amat menjawab pertanyaannya sendiri.
Tiba-tiba terdengar Amat mengumpat di depan televisi.
“Kurang ajar! Bangsat!!”
Sebuah pikiran mendadak menukik ke dalam kepala Bu Amat. Ia terkejut dan jadi gemetar. Benarkah ia menjadi lebih baik? Apa betul dengan menjadi lebih keras orang bertambah kuat? Apakah air mata, tangis dan haru itu tanda kelemahan? Benarkah berhenti menangis. membutakan mata kepada apa yang ada di sekeliling adalah kiat untuk hidup selamat.
Bu Amat terpesona. Ia cepat-cepat menilai kembali dirinya. Melihat di mana ia sedang berdiri. Lalu ia melihat dirinya di atas sebuah bukit. Di puncak bukit yang bergetar. Sebentar lagi ia akan melayang turun dan terhempas ke lembah yang hgelap di sana.
“Kurang ajar! Bangsat!” terdegar umpat Amat lebih keras.
Bu Amat tersentak.
“Aduh, jangan -jangan aku sendiri yang sudah kena cuci otak, karena menganggap semua bom-bom itu sudah biasa,”bisik Bu Amat dengan terkejut.”Jangan-jangan aku yang sudah dimatikan rasa oleh cuci otak itu!”
Perlahan-lahan Bu Amat mendekati suaminya yang masih terus melotot di depan televisi. Ia lupakan dulu curhat La Toya, kakak perempuan Michael Jackson yang merasa yakin adiknya mati dibunuh. Ia lupakan dulu Bom Bali 1 dan 2 yang menelan ratusan korban. Ia lupakan tsunami yang sudah melalap lebih dari seratus ribu manusia. Ia hanya memandang ke satu titik. Layar kaca. Bom Marriott 2.
Bu Amat melihat darah. Anggota badan manusia berserakan. Kepala, tangan, kaki, semua terpisah dari tubuhnya. Isi perut terburai. Memang bukan 200 atau seratus ribu, tapi hanya sembilan. Tapi itu darah dan isi perut yang sesungguhnya.
Ia merasa darah dan isi perutnya sendiri yang terburai. Kepala, tangan dan kakinya yang terputus dari badan. Begitu saja rasa ngeri, takut dan putus asa setrentak menggebrak dan mematahkan seluruh benteng pertahanan yang sudah membuatnya beku.
Tak kuasa lagi menahan diri, Bu Amat menjerit.
“Tolooooongggggggggggg!”
Jakarta 17 Juli 09
Menjelang jam 08, bom meledak di Hotel Marriott dan Ritz Carlton Hotel.
2009
Di koran muncul kabar buruk tentang 2009.
“Bencana dahsyat bisa menimpa Indonesia. Kawasan Asia-Pasifik menghadapi era mala petaka dalam skala besar yang bisa menewaskan
sampai satu juta orang pada satu waktu. Sabuk Himalaya, China, Filipina, Indonesia, mempunyai resiko yang paling besar, menurut laporan ilmiah dari badan pemerintah Geoscience Australia. Gempa bumi, angin topan, letusan gunung dan tsunami akan menyerbu wilayah yang berpenduduk padat “
Amat tertegun.
“Apakah ini yang disebut kiamat?” tanyanya kepada istrinya.
Bu Amat menjawab enteng.
“Bukan.”
“Bukan bagaimana?! Pemanasan global sudah menyebabkan perubahan iklim. Kita manusia sudah merusakkan bumi dan sekarang akan menerima ganjaran kita. Bersiap-siap saja.”
“Siap-siap bagaimana?”
“Ya menghadapi bencana.”
“Tidak usah!”
“Kok tidak usah?”
“Biar saja itu nanti kan diurus oleh koran-koran.”
Amat tercengang. Ia cepat-cepat meninggalkan istrinya yang dianggapnya tidak pernah peka terhadap masalah-masalah dunia.
“Ibu kamu itu berpikirnya terlalu sempit,”kata Amat curhat pada Ami,
“setiap kali diajak rembugan masalah dunia, dia tidak peka. Terlalu menyepelekan. Sama sekali tidak mau peduli. Masak kita akan menghadapi kiamat, dia tenang-tenang saja?! Tapi kalau soal kenaikan harga beras atau cabe baru lima puluh sen dia sudah mencak-mencak!”
Amat lalu mencari informasi ke tetangga. Apa ada yang membaca berita adanya bahaya di tahun baru. Ternyata tak beda dengan Bu Amat, semuanya hanya mendengarkan sebagai berita jauh yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri mereka. Amat malah diajak tukar pikiran tentang resesi ekonomi yang menyebabkan bukan hanya Amerika tetapi di Jepang juga terjadi PHK besar-besaran.
“Kalau negara-negara kaya saja sudah kalang kabut seperti itu, apalagi kita yang akan menghadapi pemilihan umum dengan segala macam persoalan kita yang tidak pernah selesai, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, disintegrasi dan hilangnya kesadaran bahwa kita ini masyarakat majemuk yang penuh perbedaan. Pak Amat sudah tahu akan memilih siapa nanti sebagai presiden? Kasih masukan dong!”
Amat kecewa sekali. Akhirnya dia hanya bisa duduk menyepi sendirian di sebuah kursi tua di belakang rumah. Sambil memandang ke tembok yang penuh lumut, ia mencoba untuk menyapa tahun 2009.
“Apakah kau benar-benar datang dengan segala bencana itu atau semua itu sengaja kamu tebarkan supaya manusia berhati-hati mulai sekarang, sehingga malapetaka itu batal terjadi? “
Tahun 2009 tiba-tiba menyeruak dari balik tembok, menghampiri Amat.
“Kamu bertanya padaku tua bangka?”
Amat kaget.
“Ya. Betul!”
“Kenapa suara kamu begitu ketus?”
“Sebab kabar ilmiah dari Australia mengatakan kamu akan datang memberondong dengan malapetaka gempa, letusan gunung, tsunami dan membunuh 1 juta orang dalam satu gebrakan!”
“O ya?”
“Ya! Kau jangan akting pura-pura tidak tahu! Kamu pikir para penonton semuanya bodoh seperti sinetron-sinetron di layer kaca itu? Kalau mau datang, datanglah secara kesatria. Mari kita selesaikan semuanya secara jantan!”
“Suara kamu seperti menantang!”
“Memang!”
“Kenapa? Apa kita tidak bisa bersahabat?”
“Buat apa bersahabat kalau kamu datang mau menghancurkan dunia. Kita blak-blakan saja. Tidak perlu meniru para pemain politik itu!”
Tahun 2009 menghampiri Amat lebih dekat.
“Jangan terlalu dekat, ini rumahku!”
“Apa aku tidak boleh duduk supaya kita bisa ngomong dengan tenang?”
“Jangankan duduk, masuk pun tidak akan aku izinkan!”
“Kenapa?”
“Menghadapi musuh hanya ada dua kemungkinan. Membunuh atau dibunuh!”
“Ah Amat, kau masih dikuasia oleh semangat revolusi merebut kemerdekaan di zaman kolonial!”
“Memang! Kolonialisme belum lenyap dari negeri ini. Penjajahan politik sudah kita tendang, tapi masih ada penjajahan ekonomi dan penjajahan budaya. Dua-duanya harus di bunuh. Belum selesai itu, kau sudah datang lagi sebagai musuh yang lain. Pergi! Jangan dekati rumah kami ini! Apa kamu tidak tahu negeri ini, bangsa ini sudah ratusan tahun menderita.
Apa kami tidak boleh istirahat sebentar dan bahagia sedikit? Kamu zalim!”
Tahun 2009 terkejut.
“Kau bilang aku zalim?”
“Ya! Membunuh satu orang saja orang bisa dihukum mati, kamu membunuh satu juta, tidak ada hukumannya lagi. Pergi! Kam zalimi kami!”
2009 terhenyak.
“Heee! Jangan berhenti lama di rumahku ini, nanti tetangga menyangka aku antek kamu! Pergi! Kalau tidak aku akan berteriak memanggil orang-orang untuk menghajar kamu!”
Amat berteriak. Tapi 2009 tak bergerak.. Dengan panic AMat berlari ke kamar mengambil samurai yang disimpannya di bawah tempat tidur. Sambil menghunus pedang karatan itu ia muncul kembali dengan sikap siap menebas. Tetapi 2009 sudah mundur kembali ke tembok.
“He mau ke mana kamu?”
“Pergi. Aku malu datang kalau kalian semua tidak menghendaki aku.”
Tanpa menunggu jawaban Amat, 2009 lalu memanjat tembok dan melompat entah ke mana. Waktu itu, mendadak Amat merasa nyawanya sendiri yang melompat.
Perasaannya tiba-tiba kosong. Badannya lemas. Lalu ia tergigit oleh sepi yang begitu menusuk-nusuk. Tangannya gemetar. Samurai di genggamannya terlepas.
Untung saja Bu Amat dan Ami sudah ada di dekatnya. Mereka cepat menyambut samurai yang hampir saja melukai kaki Amat.
“Siapa Pak?”
Amat menunjuk ke tembok.
“Dia pergi, dia tak jadi datang! Panggil dia! Kejar dia sebelum hilang!!”
“Siapa?”
Amat berteriak makin keras nyaris kalap.
“Kejar dia! Panggil! Lebih baik dia datang biar bawa bencana, daripada pergi meninggalkan kita. Kembaliii! Jangan tinggalkan kami di sini! Kembaliii!!”
TEATER KAMPUS
Pengantar diskusi 23 Oktober 08 di UNNES
Membaca 42 naskah dan menonton 42 VCD peserta Festamasio IV 2008 – yang nanti akan berlangsung di Jakarta — bagi saya adalah sebuah kesempatan melihat, bagaimana peta teater di kampus dewasa ini. Sudah lama saya merasa bahwa ada sesuatu yang perlu dirembug dalam kehidupan teater di kampus.
Dalam sebuah pertemuan teater kampus di Solo beberapa tahun yang lalu, saya menyarankan agar teater kampus, tidak hanya menjadi “permainan” anak kampus yang sibuk dengan persoalan kampus saja, tetapi kehidupan teater yang bebas. Saya menulis kredo untuk teater kampus. Jangan sampai teater kampus merasa leluasa membuat kesalahan dan pertunjukan yang di bawah kualitas, dengan alasan bahwa teater bagi mereka hanya sekedar selingan/hobi di samping kesibukan akademinya.
Sebagai gudang pengetahuan dan pusat penggodokan intelektual muda, kampus lewat teater seharusnya memberi lampu terang pada kehidupan teater Indonesia. Harus menjadi pelopor, sebagaimana yang terjadi juga di beberapa kampus mancanegara. Teater kampus ditonton dengan penuh penghormatan dari masyarakat, bahkan sering memberikan langkah besar dan inovasi.
Kesan saya selama menyaksikan 42 VCD dari berbagai kampus di seluruh Indonesia tersebut adalah: besarnya pengaruh teater tradisi pada persembahan masing-masing teater. Unsur-unsur visual dalam semua VCD sangat menonjol, lebih dari unsur verbal-nya. Bagi saya ini hal yang positip.
Musik, tari ditampilkan kadangkala lebih besar porsinya dari seni akting. Ini adalah ciri-ciri tontonan. Kekuatan teater tradisi kita memang bukan pada realisme tetapi pada stilisasi. Kalau ini disadari dan dikembangkan secara terarah, benar-benar akan menjadi kekuatan dan keunikan. Tetapi kalau ditanggapi keliru, apalagi kalau teater dipetakan kepada teater Barat, akan terjadi konflik yang tidak hanya membingungkan tetapi menyesatkan sehingga perkembangan teater di kampus akan selalu gagap.
Penyutradaraan, penataan adegan dan set, seni laku atara teater yang realis dan teater tontonan berbeda. Yang pertama mengacu pada teori-teori realisme yang memang sudah berkembang pada teater Barat. Yang kedua pada upacara bersama di mana tidak batas lagi antara penonton dan tontonan. Yang kedua juga dipelajari dengan sungguh-sungguh oleh para dramawan Barat, tetapi yang kemudian lebih diarahkan pada eksperimentasi sehingga terpisah dari kehidupan nyata. Sementara hal tersebut masih hidup dalam kenyataan kehidupan kita. Ini memerlukan pemahaman yang jernih, kalau tidak, kita akan mempelajari jatidiri kita lewat cermin Barat. Hasilnya adalah kegagapan. Teater tradisi yang asli bagus, tetapi ketika kita mencoba menempelkan-nempelkannya, akan terjadi sesuatu yang kosong, kehilangan jiwa.
Aspek penulisan lakon dal;am Festasimo IV masih rawan. Kebanyakan naskah tidak ditulis oleh orang yang trampil dan menguasai media teater. Titik pusat jadi hanya pada cerita. Tetapi cerita pun tidak menarik karena tidak ada ide yang segar, unik dan orisinal. Itu terjadi karena nampaknya naskah tidak ditulis oleh pengarang, tetapi oleh orang lapangan yang punya kebutuhan mendesak pada adanya naskah.
Aspek pemeranan – seni akting – kurang didasari pengetahuan tentang seni laku yang khusus panggung, Proyeksi yang merupakan salah beda antara seni laku di panggung dan seni laku di layar kaca/layar perak kurang dipahami. Kadang muncul gaya permainan yang benar-benar mencontoh gaya bermain di sinetron yang sok wajar tetapi kemudian ternyata tidak wajar. Kadang ada usaha memproyeksikan laku begitu teateral sehingga over acting. Sesuatu yang harusnya disampaikan secara realis menjadi amat teateral (baca berlebihan) sehingga tontonannya sama sekali tidak menarik.
Aspek penyutradaraan juga menunjukkan kelemahan. Sebuah naskah yang buruk, di tangan sutradara yang baik, bisa menjadi menarik. Dan sebaliknya naskah yang punya kemungkinan bagus bila dioleh dengan tanpa ketrampilan ( interpretasi, kreasi, sudut pandang) akan jadi tontonan yang gagal. Tidak selamanya di kampus ada sutradara. Untuk itu kampus harus membuka diri. Rela mengundang sutradara tamu dari kampus lain atau dari kelompok teater di luar kampus. Sebuah pertunjukan yang tidak dipersiapkan oleh seorang sutradara yang benar-benar sutradara, akan membuat pertunjukan tak punya arah.
Hanya penataan set dan musik yang mulai menunjukkan kemajuan. Ini mungkin karena pasokan dari musik tradisi yang memang amat kaya dan dari mereka-mereka yang benar-benar menguasai bidangnya. Ini menjelaskan kembali bahwa teater memang memerlukan partisipasi dari berbagai bidang, karena teater memang cabang kesenian yang merangkum hampir semua bidang kesenian. Selama ini yang sering terjadi, banyak bidang ditangani oleh mereka yang tak punya keahlian sehingga hasilnya menjadi amatiran.
Sudah waktunya kini untuk melihat teater sebagai sebuah ilmu. Karenanya memerlukan pembelajaran. Banyak sekali buku-buku teater yang dapat menjelaskan seluk-beluk teater. Masing-masing jenis teater memiliki langkah, acuan dan bahkan cara pendekatan yang berbeda. Apabila teater kampus memperhatikan semua itu, akan ada usaha memilih jenis teater yang mana yang paling sesuai dengan materi mau pun sarana yang ada di dalam kampus. Ketepatan memilih jenis teater itu akan mempengaruhi hasil yang akan dicapai.
Tontonan adalah sebuah istilah yang berasal dari pertunjukan teater tradisi/rakyat. Kata yang sederhana itu menjelaskan sesuatu yang sangat luas dan mendasar. Selama ini yang sering hilang dari berbagai pertunjukan teater adalah unsur tontonannya. Sesuatu menjadi tontonan karena sesuatu itu menarik, membuat penasaran, menghibur, komunikarif, memberikan pengetahuan dan sebagainya. Untuk itu diperlukan sebuah perencanaan. Dan untuk membuat perencanaan, harus ada studi dan strategi. Bertambah jelas lagi bahwa teater adalah sebuah proyek yang mencakup banyak hal, tak hanya seni akting. Inilah yang sering diabaikan dalam produksi teater, khususnya teater kampus.
Pluralitas
Soempah Pemoeda 1928 mengajak kita semua untuk satu dalam nusa, bangsa dan bahasa. Hanya dengan cara seperti itu, impian yang datang saat kebangkitan Nasional 1908 tentang sebuah Indonesia yang merdeka tercapai. Maka dari Sabang sampai ke Merauke: Jawa, Bali, Nusa Tenggara Tinur, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian semua berpikir tentang sesuatu yang satu:Indonesia. Usaha utu berhasil setelah 37 tahun.
Ketika Bung Karno membentangkan dasar negara pada 1 Juni 1945, yang kemudian selalu kita peringati sebagai Hari kelahiran Panca Sila, muncul pita yang dicengkeram kaki burung garuda dalam lambang negara Panca Sila: Bhineka Tunggal Ika. Ada hal yang dulu diredam atau ditunda mulai diungkap secara terus-terang. Kita mengakui bahwa kendati satu, di Indonesia ada banyak perbedaan. Baik suku, adat-istiadat, agama dan sebagainya. Tetapi dengan semangat gotong-royong semua perbedaan itu kita yakini akan bisa hidup rukun berdampingan.
Selanjutnya setengah abad dalam era kemerdekaan, kita hidup dalam semangat satu Soempah Pemoeda dan kenyataan bhineka seperti yang diakui oleh Panca Sila. Dan ini bukan hal yang mudah. Beberapa peristiwa berdarah muncul, (DI TII, Kahar Muzakar, PRRI PERMESTA) karena perbedaan tak selamanya bisa disatukan. Dan persatuan tak berarti meluluhkan perbedaan. Namun seluruh peristiwa-peristiwa itu masih diterima sebagai dinamika dari negeri baru yang sedang mencoba mengukuhkan eksistensinya di atas kaki sendiri.
Setelah 52 tahun merdeka, pada 1997, terjadi reformasi. Indonesia yang satu mulai diragukan. Persatuan mulai dituduh sebagai kezaliman pusat kepada daerah-daerah. Beberapa wilayah (Aceh, Papua, Riau) mau merdeka. Bentrokan agama terjadi di Maluku dan Palu. Insiden etnis terjadi di Pontianak.
Di Jakarta sendiri muncul FPI, Betawi Rembug yang berusaha menegakkan keadilan dan kebenaran yang mereka yakini tanpa mempedulikan kepentingan kelompok lain. RUU APP yang bergegas hendak ditetapkan oleh pemerintah ditentang keras di Bali, Papua, Jawa Barat. Bahkan Bali mengancam hendak memisahkan diri, karena pasal-pasal RUU dirasa melanggar konsep kebhinekaan dan menjurus ke mono kultur. Banyak lagi masalah lain, misalnya masalah pembubaran Ahmadyah.
Perbedaan semakin jelas. Dan perbedaan itu nampak seakan-akan cenderung menolak untuk hidup berdampingan. Soempah Pemoeda terasa tidak sakti lagi. Sumpah Pemuda lebih merupakan sebuah seremoni rutin yang lebih mengutamakan perayaannya, bukan esensi janji bersatu. Maka otonomi daerah pun dielu-elukan sabagai jawaban yang membuat raja-raja dan kerajaan kecil bermunculan di wilayah NKRI. Pluralisme mulai pelan-pelan diyakini sebagai sebuah cacad kalau bukan dosa. Ini masalah yang serius. Apalagi kalau diterapi dengan obat petn yang keliru.
Apakah kecenderungan disintegrasi itu terjadi karena yang bertolak-belakang mutlak tidak dimungkinkan berstau? Atau itu sebuah rekayasa politik? Mungkinkah itu hanya kekecewaan terhadap pemerintah sebelumnya yang mengabaikan nasib daerah? Atau karena ada perubahan nilai dalam mengartikan apa yang disebut berbeda dan bersatu?
Maka membicarakan pluralisme budaya sekarang adalah saat yang tepat.
Pertama-tama yang bisa kita korek: benarkah masyarakat Indonesia adalah mayarakat plural. Memang betul, selama ini kita sudah mengaku bahwa kita masyarakat yang menjemuk. Karena kita terdiri dari banyak suka bangsa dengan bahasa dan adat istiadat yang berbeda. Tetapi kalau diusut, perbedaan tersebut masih bersifat horisontal.
Baik bahasa mau pun adat-istiadat, banyak bukti, kita di Indonesia satu sama lain masih memiliki banyak persamaan, kecuali Irian yang sekarang disebut Papua. Gotong-royong itu sendiri misalnya, di mana-mana dikenal. Barangkali itu sebabnya tidak sulit untuk bersumpah satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Tidak ada halangan bagi bahasa Melayu pasar yang sebenarnya tergolong bahasa kelompok minoritas menjadi bahasa persatuan Indonesia.
Tidak ada masalah serius yang terjadi karena perbedaan suku dan adat istiadat di masa penjajahan. Kalau ada, itu rekayasa adudomba kolonial untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Baru di masa kemerdekaan kita mengalami berbagai guncangan. Dan itu tidak semata-mata karena adanya gesekan horisontal, tetapi karena doktrin vertikal yang dihembus oleh kehidupan idiologi, agama dan kelas masyarakat (baca: strata sosial).
Sekarang kita mesti berhati-hati. Baik idiologi, agama dan strata sosial adalah perangkat lunak. Manusia sebagai perangkat kerasnya sangat menentukan kehidupan idiologi, agama dan pengelompokan akibat perbedaan strata sosial itu. Kita tidak dapat mengutak-atik perangkat lunak sebab itu masalah keyakinan dan menyangkut masalah seluruh dunia. Yang bisa kita sentuh adalah manusia-manusianya.
Para pemimpin partai, pemuka agama dan para konglomerat. Mereka-mereka inilah yang mesti diteliti, benarkah sudah menjalankan fungsinya dengan baik dan tidak sebaliknya mempergunakan perangkat lunak untuk kepentingan pribadinya.
Kemajemukan yang ada di Indonesia, adalah bagian dari warna kebun bunga seperti yang pernah diucapkan oleh Mao dan dikutip oleh Bung Karno. Maknanya bukan kekurangan tetapi justru kelebihan. Masyarakat sudah lama mengantisipasi perbedaan dengan caranya masing-masing yang kemudian tersimpan dalam kearifan lokal. Kita kenal misalnya di mana-mana ada kebiasaan untuk “menghormati” tamu. Sesuatu yang datang dari luar, meski pun berbeda, diberikan hak hadir.
Di Bali ada yang disebut ” menyame-braye” dan “mepisage”, bagaimana menjalin hubungan dengan sanak-keluarga dan handai taulan. Ada juga yang disebut “nempahan raga”, bagaimana menempatkan diri di antara orang banyak (yang mungkin sekali berbeda).
Masih ada lagi yang disebut “desa-kala-patra” yakni keterpagutan setiap orang kepada tempat-waktu dan suasana. Dengan begitu setiap orang dituntut untuk membuat harmoni dengan lingkungannya (yang mungkin sekali berbeda). Kendati begitu, pada Pemilihan Umum pertama di tahun 1955, sejumlah orang memberontak di Bali dan menjadi gerombolan. Banjar terpecah. Sebuah keluarga membagi tempat ibadahnya dan membuat tembok. Semuanya karena politik.
Benarkah perbedaan idiologi yang memecah masyarakat? Hal senada bisa juga dipertanyakan pada agama dan strata sosial. Banyak bukti menunjukkan bahwa yang hidup dan bergerak dalam masyarakat itu bukan idiologi. Buktinya banyak orang dengan tanpa beban pindah dari satu partai ke pantai yang lain yang berbeda idiologinya. Kepentinganlah yang sudah memacu perbedaan itu. Di balik kepentingan itu ada pimpinan. Pimpinanlah yang sudah menciptakan perbedaan. Karena hanya dengan perbedaan itulah ia mungkin akan mencapai kemenangan.
Pluralisme di Indonesia bermasalah, karena pemimpin dan pemukanya bermasalah.Salah satu dari 17 rekomendasi Kongres Kebudataan 2003 di Bukittinggi adalah menyarankan agar para pemuka agama ikut aktif berpartisipasi mengawasi umatnya dan membrikan sanksi kepada mereka yang menyimpang dari ajaran yang diperintahkan oleh agama.
Ini mengandung ratio bahwa dalam alam kemerdekaan di mana hak azasi manusia dijaga bersama, sudah waktunya tidak lagi menyentuh perangkat lunak, tetapi mengalihkan perhatian pada perangkat berat. Benarkan manusia-manusia pemimpin dan pemuka di Indonesia sudah menjalankan fungsinya dengan baik dan benar?
Bila para pemimpin dan pemuka di Indonesia masih tetap lebih mengedepankan kepentingan kelompok, golongan dan pribadinya, dibandingkan dengan kepentingan nasional/bangsa/masyarakat, pluralisme akan menjadi jalan pintas untuk menciptakan kehancuran Indonesia. Pluralisme akan menjadi pembunuhan diri apabila perangkat kuat sakit dan bertindak semena-mena dalam menafsirkan dan menjalankan perangkat lunak.
Banyak yang bisa diplajari dari kearifan lokal. Untuk itu perlu dilakukan reinterpretasi, reposisi dan kodifikasi yang berkesinambungan pada kearifan-kearifan lokal di berbagai kawasan Tanah Air. Dengan modal itu diharapkan akan dapat untuk menyehatkan atau meluruskan kembali perangkat keras yang mengalami konsleuting sesuai dengan konteksnya masing-masing.
Karena membuat aturan umum sebagaimana yang terlihat dalam jiwa pasal-pasal RUU Pornography yang cenderung menafikan kebhinekaan, menerobos ruang privat masyarakat dan mengarah pada mono kultur, akan membawa kita pada pemiskinan dan kebangkrutan budaya.
PORNOGRAPHY
1 November 2008 • & Komentar
Jadi begitulah. RUU PORNOGRAPHY lolos di DPR. Banyak orang bersedih.Tetapi yang lain berpesta, seakan-akan segala kebejatan berhasildiberantas. Di rumah, anakku Ami nampak kesakitan. Ia bahkan tak maupergi ke kampus padahal ada tentamen.
Aku terpaksa menghibur.
“Beginilah resikonya hidup dalam alam demokrasi Ami. Yang menangadalah yang lebih banyak, meskipun belum tentu lebih bener. Jaditabahlah hadapi kenyataan.”
Ami mengangguk. Tapi wajahnya tambah berat.
“Sudah Ami, terima saja. Orang yang menang adalah orang yang beranimenerima kenyataan. Kalau kamu bisa menerima kenyataan kalah ini, kamubukan pihak yang kalah. Sedangkan orang yang menang suara, padahalbelum tentu mereka benar, apabila tak belajar dari yang kalah, kenapakamu dan teman-teman kamu begitu menentang RUU itu, mereka adalahorang yang kalah. Karena mereka hanya memikirkan kemenangan, bukanmemikirkan keselamatan negeri dan seluruh rakyatnya yang 220 juta jiwadengan panutan budaya yang berbeda-beda.”
Kepala Ami semakin berat. Bahkan matanya nampak berkaca-kaca. Lalu airmatanya jatuh berderai. Aku jadi cemas.
“Sudah Ami. Kalau begini caranya kamu menerima kekalahan, sebentarlagi bukan air mata kamu saja yang jatuh tetapi juga kepala kamu. Dankalau sampai kepala kamu biarkan jatuh, artinya kamu tidak hidup lagidengan otak tetapi rasa semata-mata. Perasaan itu baik, memang baik.Rasalah yeng menyelaraskan kita sehingga kita bisa membangun harmoni.Tetapi keselarasan itu sendiri perlu laras. Kalau tidak, rasa kamusendiri juga tidak laras.
Kamu memerlukan kepalamu untuk mengarahkan,mengerem, meredam perasaan agar jangan berkelebihan. Karena kehidupanini seperti gado-gado yang penuh dengan berbagai bumbu dengan rasayang berbeda-beda. Kamu harus mencampur dengan cermat dan menakarnyaawas. Kalau tidak hidupmu akan menjadi pedes, asin, pahit ataukemanisan. Manis itu memang enak, tapi kalau berlebihan akan membuatmuak. Sudah cukup! Seratus butir air mata sudah lebih dari cukup untukmeratapi kemenangan RUU Porno ini, jangan ditambah-tambah lagi!”
Tapi Ami justru menangis semakin pilu. Ia tersedu-sedu. Air matanyatidak lagi hanya menetes, tetapi menyembur. Seluruh pipinya banjir.Bukan hanya itu. Ingusnya ikut berleleran.
Aku panik. Aku menarik handuk yang membelit di kepala dan meletakkandi tangan Ami. Dengan handuk itu Ami mengusap air matanya. Tetapisemakin diusap, air mata itu semakin membanjir.
“Waduh, kalau begini caranya menghadapi kekalahan kamu akan semakinkalah dan mereka yang sudah menang akan semakin menang. Jadisebenarnya bukan kebenaran kamu di dalam menentang RUU itu yang kalah,tetapi kamu sendiri. Kamu sendiri sekarang yang membunuh sendirikebenaran yang kamu perjuangkan itu. Karena walau pun sekarangdinyatakan kalah, sesungguhnya kebenaran yang kamu perjuangkan tidaksalah.
Karena tanpa ada RUU Pornography pun sebenarnya kita sudah bisamemberantas pornography, asal saja kita mau bertindak dan aparatpelaksana yang bertugas untuk itu rajin, tegas, desiplin dan tidakangin-anginan atau kucing-kucingan melakukannya, karena Undang UndangHukum Pidana, Undang-Undang Popok Pers, Undang-Undang Penyiaran sudahmemberikan kita hak bahkan kewajiban untuk memberantas kecabulan yangditontonkan arau diperjualbelikan di ruang publik. Jadi Ami, kamusebenarnya tidak kalah, kamu hanya ditunda menang, tahu!”
Handuk kecil itu tak mampu lagi menahan kucuran airdari mata Ami. Iaterpaksa memerasnya seperti mengeringkan cucian. Aku terkejut.
“Aduh Ami, ternyata kamu tidak bisa diajak berunding. Kemenangan itutidak harus kelihatan. Kemenangan yang sebenarnya nampak sebagaikekalahan, sehingga orang yang sebenarnya kalah tidak akan marah,tetapi malah gembira dan merasa bahwa sebenarnya merekalah yang menangpadahal mereka itulah pecundangnya. Bayangkan! Bayangkan!”Ami menutup mukanya dengan handuk. Aku rengutkan handuk itu.
“Kamu ini sedang meratapi kekalahan atau sedang menikmati kekalahan?Ayo lihat kenyataan. Dengerin! Lihat! Bagaimana mau memberantaskecabulan kalau memberikan definisi saja gagap. Undang-undang iniseperti orang memberikan pisau tumpul kepada seorang anak yang disuruhmembersihkan lemak dari daging-dagingnya. Dia tidak akan mengiris, diaakan mencocok-cocok, lalu membanting, akhirnya dia tidak bisa mengiristetapi mencacah dan kemudian menggigit sampai daging itu remuk, karenamemang itulah tujuannya.
Hancur luluh jadi satu! Mono kultur! Kalaudaging itu sudah remuk akan mudah untuk digiling sebab dia memangbukannya mau mengiris daging tapi membuat bakso. Makanya jangandilawan sekarang nanti dia tambah buas. Bisa-bisa kamu yang dibakso.Biarkan saja, karena pisau itu sudah di tangannya. Baru kalau diagagal nanti, kita beritahu pisaunya yang salah. Lagi pula lemak yangdipisahkan itu bukan mau dibuang tetapi di tempatkan pada tempat yangsemestinya dan dibuat supaya berguna. Karena tidak semua kolesterolitu jahat. Mengerti?”
Ami mengangguk.
“Bagus, kalau kamu mulai mengerti sekarang, dengar. Di balik setiapkegagalan selalu ada janji. Dengan kekalahan ini kamu akan belajar,tidak cukup suara keras, tidak cukup mata melotot, tetapi dalamberjuang harus memakai taktik dan strategi. Mengalah juga adalahsebuah taktik dan sebuah strategi. Jadi terimalah kekalahan inisebagai awal kemenangan yang baru.”
Ami memandangku seperti bertanya.
“O caranya? Caranya bagaimana mengubah kekalahan dengan kemenangan?Gampang. Ikutlah rayakan kemenangan mereka ini dengan berteriak lebihkeras. Ganyang kecabulan! Seret wanita-wanita yang bergoyangmempertontonkan tubuhnya lempar ke penjara. Dera mereka yang menjualkecabulan. Masuki rumah penduduk semua, bongkar laci dan almari,bahkan singkap sprei dan kasurnya, jangan-jangan mereka menyimpanpornography.
Tak hanya itu. Selidiki apa isi kepala orang. Tidak hanyayang kelihatan di ruang publik, yang tersimpan dalam rumah pribadibahkan dalam ruang pikiran pun harus diusut. Kalau ada yang cabul,setidak-tidaknya kita anggap cabul, seret, denda milyardan danjebloskan ke penjara. Dan kalau ternyata orangnya adalah pemimpin,apalagi pemuka, hukumannya sepuluh kali lipat!”Ami tiba-tiba berhenti menangis.
“Jadi dengan kata lain, Ami sayang, kita kacaukan kemenangan merekaAmi. Seperti yang mereka usulkan. Sebagai anggota masyarakat kitaboleh ikut campur berpartisipasi memberantas kebaculan. Dan karenabatasan cabul kebetulan kabur, spiel dan flewksibel yang kita sebutkecabulan itu bukan saja ketelanjangan badan, juga ketelanjanganrohani.
Kalau ada orang berbuat semena-mena hanya untuk kepentinganpribadi, golongan dan kaumnya sendiri tanpa mempedulikan kebhinekaanseperti yang dipesankan oleh pita di kaki Burung Garuda Lambang negaraPanca Sila, maka orang itu adalah tokoh pornograpghy yang juga bisadiseret, didenda dan dihukum. Mari kita balikkan arah RUU Pornographyini bukan untuk menentang kebhinekaan tetapi merayakan kebhinekaan.Jadi kita dukung RUU Pornography!”
Tiba-tiba saja aku tertawa puas, seperti menemukan akhir yang indahdari pencarianku yang sudah begitu panjang. Ya Tuhan aku temukan sudutterang di dalam kegelapan ini. Kaum perempuan yangb selama ini sudahjadi korban dan bulan-bulanan mesti m encari sendiri jalan terangnya.Dan aku dapatkan sekarang! Aku habiskan semua semburan ketawaku.
Ajaib, mata Ami pun berhenti meneteskan air. Mukanya mulai berseri.Lalu dia mengangkat tangan mengajakku tos. Dengan gembira akumenyambut hangat kebangkitan anakku tepat pada peringatan 80 tahunSumpah pemuda dan 100 tahun kebangkitan nasional.
Terimakasih Mama, bisik Ami sembari kemudian memeluk dan menciumku.
“Terimakasih, Mama sudah membantu melewatkan sakit perut Ami karenadatang bulan.”

Cantik
8 Oktober 2008 • & Komentar
Gubernur marah besar. Panitia pemilihan Ratu Kecantikan 2008 dipanggil. Mereka dicecer dengan berbagai pertanyaan. Mengapa dari 9 wanita tercantik pilihan masyarakat tidak seorang pun adalah putri daerah?
“Kalau begitu apa gunanya ada pemilihan Ratu Kebaya, Ratu Dangdut, Ratu Kaca Mata, Ratu Mercy, Kontes Mirip Bintang, Miss ini-itu yang setiap bulan diadakan di mall-mall sampai salon-salon kecantikan kagetan kayak jamur di musim hujan? Apa betul putri daerah kita tidak ada yang cantik. Berarti kebanyakan mereka semua akan jadi perawan tua, karena pria kuta lebih mengagumi putri-putri dari luar sana? Ini tragedi!”
“Tapi ini kan hanya kegiatan hura-hura yang informal Pak?”
“Memang! Tapi masak bintang-bintang Hollywood itu yang dibilang cantik. Itu kan karena kalian hanya lihat di film. Film itu sudah penuh dengan tipuan gambar. Baik kameranya, tata lampunya dan sudut pandangnya sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga kerbau pun kalau dirancang seperti itu akan keliahatan aduhai. Coba kalau kalian lihat kenyataannya. Tulang-tulangnya yang besar, kakinya yang berbulu, kulitnya yang sepereti mayat dan bau kejunya yang mana tahan, kalian akan menyesal sudah sesat memilih idola. Realistis sedikit! Jangan terus bermimpi! Putri-putri daerah kita semuanya cantik. Hanya karena kalian lihat setiap hari saja, kecantikannya kalian lupakan. Seperti gajah yang tak nampak karena adanya di pelupuk mata. Kalian harus belajar menghargai milik sendiri!”
Panitia tidak berani menjawab. Gubernur sedang asyik dengan kemarahannya. Kalau dipotong bisa parah.
“Coba apa kreteria kalian menentukan kecantikan sampai bintang-bintang film yang doyan gonta-ganti pasangan itu dianggap yang paling cantik. Apa kecantikan wajah itu diukur dari panjang hidung atau keberaniannya memperlihatkan badan sehingga mengundang nafsu. Bagaimana dengan kecantikan kepribadian dan moral serta kecerdasan. Apa itu bukan bagian dari kreteria yang menetapkan seseorang itu cantik?”
“Kami tidak memberikan kreteria, Pak. Itu terserah mereka yang mengirimkan jawaban.”
“Jadi ngawur?”
“Bukan Pak. Kami hanya tidak memberikan batasan apa itu kecantikan. Karena ukuran kecantikan itu kan subyektif, jadi kami serahkan pada para pembaca saja.”
“Itu namanya tidak bertanggungjawab!”
Panitia bingung.
“Maksud Bapak, kami harus bertanggungjawab?”
“Ya dong! Sebagai warganegara yang baik, saudara harus bisa mempertanggungjawabkan kontes yang saudara adakan!”
“Kalau itu sudah, Pak. Kami sudah umumkan jumlah suara yang masuk. Urutannya jelas. Kami akan segera memilih pemenang di antara pemilih dengan cara memilih kartu pos mereka pada malam selamatan ulang tahun media kami.”
“Bagaimana kalau satu orang mengirim 1000 kartu pos?”
“Boleh saja, Pak, asal mereka menempel juga stiker yang ada di majalah kami.”
“Kalau begitu, bisa saja 9 perempuan tercantik itu bukan tercantik berdasarkan pilihan rakyat kita semua, tapi pilihan beberapa orang yang mau kirim kartu pos dan mampu membeli majalah Anda?”
“Memang begitu, Pak!”
“Umumkan dong!”
“Untuk apa Pak?”
“Ya itu tanggungjawab saudara sebagai penyelenggara!”
“Tidak perlu, Pak, sebab mereka sudah tahu.”
“Tidak bisa! Saudara harus mengumumkan bahwa 9 wanita tercantik ini bukan pilhan kita, tapi pilihan yang mengirim jawaban saja. Dan karena yang mengirim jawaban hanya beberapa ribu, tidak mencerminkan jutaan warga kita, berarti kemenangan mereka palsu. Mereka bukan 9 wanita tercantik.”
“Memang bukan, Pak!”
“Kalau begitu umumkan dong!”
Pertemuan selesai. Gubernur tak ada waktu lagi untuk berdebat, sebab harus terbang ke luar negeri menghadiri sebuah Festival yang diselenggarakan oleh negara sahabat. Para panitia segera berunding. Kemudian pihak perusahaan mendesak agar himbauan Gubernur dilaksanakan, karena menyangkut keselamatan majalah.
Setelah mempertimbangkan masak-masak, panitia mengambil jalan tengah. Keputusan pemenang dibatalkan, karena dianggap ada indikasi sudah terjadi kekisruhan akibat kurangnya kriteria. Pemilihan akan akan diulang. Sebagai kompensasi, hadiah yang rencananya diberikan kepada para pemilih, dilipatgandakan..
Ada protes, tetapi tidak terlalu berarti. Lomba pun dimulai kembali. Pilihan dibatasi sebatas orang-orang cantik di dalam negeri. Kriterianya pun dicantumkan dengan jelas. Bukan hanya kecantikan phisik yang terpakai, tetapi juga kecantikan kepribadian. Beberapa kreteria juga menggiring calon pemilih untuk memilih ratu-ratu hasil pemilihan berbagai kontes di daerah.
Hasilnya amat mengagetkan. Dari sembilan wanita tercantik di dalam negeri, ternyata lima di antaranya adalah wadam. Memang cantik tetapi sebenarnya lelaki Guberbur yang baru pulang dari luar negeri terkejut. Di bandara, ia sudah ngomel di depan para wartawan, karena merasa tidak puas.
Panitia kembali diundang berdialog.
“Kenapa saudara sampai membiarkan 5 wanita adam masuk ke dalam 9 wanita cantik di negeri ini?”
Panita ketawa.
“Jangan ketawa ini serius!’
“Peserta mungkin mulai sadar bahwa pemilihan yang kami lakukan adalah pemilihan main-main, Pak!”
“Tidak ini tidak main-main. Ini cerminan dari perasan mereka yang sejujurnya.”
“Kalau itu betul, Pak. Karena tidak formal dan tidak ada sanksi apa-apa, para pemilih itu mengungkapkan apa adanya. Saya kira karena kriterianya bukan hanya elemen phisik tetapi juga kepribadian, pilihan mreka kami anggap wajar, Pak. Mereka yang terpilih memang sangat professional.”
“Profesional apaan! Itu pilihan yang salah. Itu cerminan bahwa masyarakat kita sedang sakit!”
Panitia mengangguk.
“Kok memngangguk?”
“Saya kira itu ada benarnya, masyarakat kita sedang sakit!”
“Tidak! Masyarakat kita masyarakat yang sehat, bukan masyarakat yang sakit. Saudara yang sudah membuat mereka sakit. Saya minta keputusan ini dicabut. Tidak boleh ada wadam yang dipuji sebagai 9 wanita cantik. Ini salah kaprah!”
Panita bengong.
“Maksud Bapak kami harus mengulangi pemilihan ini sekali lagi?”
“Tidak usah! Tapi ganti pemenangnya dengan ini!”
Gubernut mengeluarkan secarik kertas dari kantungya.
“Cabut nama-nama itu dan gantikan dengan nama-nama ini! Kita bukan masyarakat yang sakit!”
Suap
7 Oktober 2008 • 1 Komentar
Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa mengenalkan dirinya, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Dia minta agar di dalam lomba lukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya dimenangkan.
“Seniman yang mewakili kawasan kami itu sangat berbakat.”katanya memujikan, “keluarganya memang turun-temurun adalah pelukis kebangaan wilayah kami. Kakeknya dulu adalah pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia bekerja sebagai opas di kantor Gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya adalah melukis. Kalau dia menang, seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang mengalami musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih sibuk mengurus soal-soal politik daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam kebutaan, tbc, mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama, memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak azasi yang suci.”
Saya langsung pasang kuda-kuda.
“Maaf, tidak bisa. Tidak mungkin sama sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan berdasarkan kemanusiaan, tetapi berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.”
“Tapi bukankah karya yang bagus itu adalah karya yang membela kemanusiaan dan bermanfaat bagi manusia?”
“Betul. Tapi meskipun membela kemanusiaan, tetapi kalau tidak dipersembahkan dengan bagus, atau ada yang lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, yang kurang bagus tetap tidak akan bisa menang.”
Orang yang mau menyuap itu tersenyum.
“Bapak mengatakan itu, sebab kami tidak menjanjikan apa-apa?”
“Sama sekali tidak!”
“Ya!”
Lalu dia mengulurkan sebuah cek kosong yang sudah ditanda-tangani. Saya langsung merasa tertantang dan terhina. Tetapi entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat darah saya beku.
“Kalau wakil kami menang, Bapak boleh menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan ini dan langsung menguangkannya kapan saja di bank yang terpercaya ini.”
Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang membuat syok.
“Kalau ragu-ragu silakan menelpon ke bank bersangkutan, tanyakan apakah ada dana di belakang rekening ini, kalau Anda masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak percaya kepada kami. Zaman sekarang memang banyak penipuan bank”
Saya memang tidak percaya. Tapi saya tidak ingin memperlihatkannya.
“Anda tidak percaya kepada kami?”
“Bukan begitu.”
“Jadi bagaimana? Apa Anda lebih suka kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu? Berapa yang Anda mau?”
Saya tak menjawab.
“Satu milyar? Dua milyar? Lima milyar?”
Saya terkejut. Bangsat. Dia seperti sudah menebak pikiran saya.
“Kita transparan saja.”
Saya gelagapan. Apalagi kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop. Nampak besar dan padat.
“Kami tidak siap dengan uang tunai sebanyak itu. Tapi kebetulan kami membawa sejumlah uang kecil yang akan kami pakai sebagai uang muka pembelian mobil. Silakan ambil ini sebagai tanda jadi, untuk menunjukkan bahwa kami serius memperjuangkan kemanusiaan.”
Dia mengulurkan uang itu. Kalau pada waktu itu ada wartawan yang menjepret, saya sudah pasti akan diseret oleh KPK, lalu diberi seragam koruptor. Saya tak berani bergerak, walau pun perasaan ingin tahu saya menggebu-gebu, berapa kira-kira uang di dalam amplop itu.
“Silakan.”
Tiba-tiba saya batuk. Itu reaksi yang paling gampang kalau sedang kebingungan. Tetapi batuk saya yang tak sengaja itu sudah berarti lain pada tamu itu. Dia merasa itu sebagai semacam penolakan. Dia merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop yang lain.
“Maaf, bukan saya tidak menghargai Anda, tapi kami memang tidak biasa membawa uang tunai. Kalau ini kurang, sore ini juga kami akan datang lagi. Asal saya mendapat satu tanda tangan saja sebagai bukti untuk saya laporkan. Atau Anda lebih suka menelpon, saya hubungkan sekarang.”
Cepat sekali dia mengeluarkan HP dan menekan nomor-nomor sebelum saya sempat mencegah.
“Hallo, hallo …… .”
Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja tidak mau memberi saya kesempatan. Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari dalam. Dia memeluk saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi sebelum tertangkap, anak itu mengubah tujuannya. Dia mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang menggeletak di atas meja.
“Ade, jangan!”
Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.
“Adeee jangan!”
Saya bangkit lalu mengejar anak saya yang ngibrit ke halaman membawa umpan sogokan itu.. Merasa dikejar anak saya berlari. menyelamatkan diri.
“Ade jangan!”
Anak saya terus kabur melewati rumah tetangga. Para tetangga ketawa melihat saya berkejar-kejaran dengan anak. Mereka mungkin menyangka itu permaianan biasa.
“Ade jangan itu punya Oom!”
Terlambat. Anak saya melemparkan kedua amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya. Ketika saya tangkap, dia diam saja. Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan dia marah, karena bapaknya sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam menolak. Saya kan belum berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu memerlukan keberanian mental. Baik menerima mau pun menolaknya.
Kedua amplop itu langsung tenggelam. Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan saya rontok. Dengan menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu terjun ke kolam. Dengan kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu itu tak terjamah.
Pata tetangga muncul dan bertanya-tanya. Heran melihat saya yang biasa jijik pada kolam yang sering dipakai tempat buang hajat besar itu, sekarang justru menjadi tempat saya berenang. Bukan hanya berenang, saya juga menyelam untuk menggapai-gapai. Tidak peduli ada bangkai ayam dan kotoran manusia, mplop itu harus ditemukan.
Dengan berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya sudah makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap lekuk dasar kolam.Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan, bahaya. Hari gini, siapa yang tidak perlu uang?
Ketika istri saya muncul dan berteriak memanggil baru saya berhenti.
“Bang! Tamunya mau pulang!”
Cemas, gemas dan kecewa saya keluar dari kolam. Badan saya penuh lumpur. Di kepala saya ada tahi. Orang-orang melihat kepada saya dengan jiiiiiiiigik bercampur geli. Istri saya bengong. Tapi saya tidak peduli. Anak saya hanya ketawa melihat bapaknya begitu konyol.
“Eling Dik, eling,” kata seorang tetangga tua sebab menyangka saya kemasukan setan.
“Abang kenapa sih?” tanya istri saya galak dan penuh malu.
Saya tidak berani menjawab terus-terang. Kalau saya katakan anak saya melemparkan dua amplop uang, semuanya akan terjun seperti saya tadi untuk mencari. Ya kalau dikembalikan. Kalau tidak? Mereka yang akan kaya dan saya yang masuk penjara.
Untuk menghindarkan kemalangan yang lain, saya hanya menggeleng.
Diinjak pikiran kacau saya pulang. Tapi tamu itu sudah kabur. Tak ada bekasnya sama sekali. Seakan-akan ia memang tidak pernah datang. Sampai sekarang pun ia tidak pernah muncul lagi.
Saya termenung. Apa pun yang saya lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak dengan tegas, berarti saya sudah menerima. Ketidakmampuan saya untuk tidak segera menolak, karena kurang pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan peduli. Masyarakat sedang senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau bisa mereka mau langsung ditembak mati tanpa diadili lagi.
Dan kenapa saya terlalu lama bego. Melongo adalah pertanda bahwa saya diam-diam punya keinginan menerima. Aduh malunya. Tapi coba, siapa yang tidak ingin ketimpa rezeki nomplok. Orang kecil memang selalu tidak beruntung. Sedekah ikhlas pun sering difitnah sebagai suap. Seakan-akan orang kecil memang paling tidak mampu melawan naswibnya. Sementara pada orang gedean sudah jelas sogokan masih diposisikan semacam tanda kasih.
“Sudah jangan kayak orang bego, cepetan madi dulu, bau!” bentak istri saya.
Saya terpaksa cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Setelah telanjang dan mengguyur badan, baru saya sadari betapa kotor dan busuknya saya. Berkali-kali saya keramas dan membarut tubuh dengan sabun, tapi bau kotoran itu seperti sudah masuk ke dalam daging.
“Cepat mandinya, bungkusannya sudah ketemu!” teriak istri saya sambil menggendor pintu.
Darah saya tersirap. Hanya dengan menyelempangkan handuk menutupi aurat, saya keluar.
“Mana?”
Seorang anak tetangga, teman main anak saya mengacungkan kedua amplop itu. Badannya kuyup penuh kotoran. Rupanya dia nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal karena dia tidak rela Ade saya strap.
“Terimakasih!” kata saya menyambut kedua amplop itu, sambil kemudian memberikan uang untuk persen.
“Limapuluh ribu?” teriak istri saya memprotes.
Lalu ia mengganti uang itu dan menggantikannya dengan tiga lembar uang ribuan.
“Masak ngasih anak limapuluh ribu, yang bener aja!”
“Tapi .. .”
“Ah sudah! Tidak mendidik!”
Saya tidak berdebat lagi, karena anak itu sudah cukup senang dengan tiga ribu. Lalu ia melonjak dan berlari keluar seperti kapal terbang, langsung ke warung. Pasti membeli makanan chiki-chiki sampah yang membuat usus bolong..
Kedua amplop uang itu saya bawa ke kamar mandi. Dengan hati-hati saya bersihkan tanah dan kotorannya. Untung amplopnya kuat terbuat dari semacam kertas plastik jadi tahan air. Uang tidak akan turun harganya hanya karena belepotan kotoran.
“Apa itu?” sodok istri saya ingin tahu.
Saya cepat-cepat menghindar sambil menyembunyikan amplop itu dalam handuk. Kalau dia tahu itu uang, ide-ide busuknya akan muncul. Kalau itu dibiarkan berkembang, akhirnya saya akan masuk penjara. Saya tidak percaya bahwa hanya wanita yang lemah pada uang. Laki-laki sama saja. Tetapi saya kenal betul dengan ibu si Ade. Dia sudah terlalu capek hidup dalam kampung kumuh. Sudah lama dia menginginkan masa depan yang lebih baik terutama setelah Ade lahir, yang belum mampu bahkan mungkin tak akan bisa saya berikan. Baginya pasti tidak ada masalah suaminya masuk penjara, asal masa depan anaknya cerah.
Saya naik ke atap rumah untuk menjemur amplop itu supaya benar-benar kering. Saya tunggu di sana dengan menahan panas matahari, takut kalau ada tangan jahil mengambilnya. Keputusan sudah diambil, saya tidak akan menerimanya. Saya akan mengembalikan, kalau orang itu datang lagi. Dia pasti sengaja pergi untuk menjebloskan saya terpaksa menerima. Tidak, saya tidak pernah mimpi akan menjadi pelaku suap.
Tapi sepuluh hari berlalu. Orang itu tidak muncul-muncul juga. Lomba pun memasuki saat penentuan. Melalui perdebatan yang sangat sengit, akhirnya dicapai kata sepakat. Dengan sangat mengejutkan pemenangnya adalah calon yang dimintakan dukungan oleh penyuap daerah itu.
Terus-terang saya termasuk yang ikut memberikan suara pada kemenangan tersebut. Bukan karena suap. Jagoan daerah itu memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua apalagi ketiga masih jauh di bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar oleh semua orang. Diterima baik oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada suara-suara kontra.
Satu bulan berlalu. Lomba itu sudah menjadi lampau. Saya pun memperoleh jarak yang cukup untuk menyiapkan perasaan menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya sembunyikan dengan begitu rapih, tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang amplop itu saya bawa ke tempat sunyi di depan rumah dan timang-timang. Rasanya aneh, kunci untuk mengubah masa depan ada di tangan, tapi saya cukup hanya memandangi. Kemiskinan terasa tidak begitu menggasak lagi, didekat senjata yang bisa membalikkan semuanya setiap saat. Mau tak mau saya terpaksa mengakui, betapa dahsyatnya arti uang. Suka tidak suka ternyata harus diakui memang uang mampu menenteramkan. Namun saya sudah bersikap menolak.
Sayang sekali roda kehidupan yang membenam saya di bawah terus, akhirnya mulai menang. Memasuki bulan kedua, ketika pemilik amplop itu tidak muncul-muncul juga, pikiran saya bergeser. Suap adalah dorongan yang membuat kita terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan merugikan orang banyak. Saya tidak melakukan itu. Orang juga tidak memprotes keputusan yang diambil juri. Apa perlu saya cek, adakah semua juri juga sudah disodori amplop seperti saya? Saya kira itu berlebihan. Keputusan kami yang diterima baik, adalah bukti bahwa kemenangan itu tepat. Orang tidak berhak menuduh saya atau kami disuap hanya karena kebetulan kemenangannya sama dengan yang dikehendaki penyuap itu. Maksud saya orang yang mencoba menyuap itu.
Pada bulan ketiga, saya capek menunggu. Lelah juga dipermainkan oleh ketegangan. Kenapa saya mesti menolak nasib baik yang sudah di tangan. Istri saya sudah tidak mau lagi tidur dengan saya. Anak saya kontet karena gizinya kurang. Utang di warung sudah tak terbayar sehingga lewat saja sudah rasa dihimpit oleh hina dan malu.
Akhirnya setelah berdoa berkali-kali dan meminta ampun kepada Tuhan, saya memutuskan nekat. Apa boleh buat biarlah saya masuk penjara kalau saya memang terbukti nanti makan suap. Tapi sedikitnya saya sudah sudah bisa membahagiakan keluarga dengan memperbaiki rumah dan membeli motor seperti tetangga saya. Kenapa orang lain boleh bahagia dan saya hanya kelelap kemiskinan karena membela kesucian. Jauh lebih baik makan suap meskipun dihukum, daripada dihukum sebab kena suap tanpa sempat tanpa selembat pun menikmati manis suapnya.
“Baiklah, hari ini kita memasuki sesuatu yang baru.”kata saya pada anak-istri malam itu sambil menunjukkan kedua amplop uang itu, “aku sudah mengambil keputusan bahwa ini adalah hak kita, karena sudah 3 bulan 10 hari pemiliknya tidak kembali. Bukan salah kita. Masak hanya tetangga yang berhak betulin rumah dan beli motor, kita sendiri makan tahi sampai mati. Ini!”
Saya terimakan kedua amplop itu ke tangan istri saya. Istri saya diam saja. Anak saya nampak menahan diri. Dia tidak berani menyambar lagi seperti dulu.
“Ayo dibuka saja!”
Istri saya tiba-tiba menunduk dan menangis.
“Lho kok malah nangis.”
“Abang jangan salah sangka begitu.”
“Salah sangka bagaimana?”
“Jangan menyangka yang tidak-tidak.”
“Yang tidak-tidak apa?”
“Aku tidak capek karena kita miskin, tapi karena aku sakit. Aku juga sudah mulai tua sekarang, Bang. Aku diam karena tidak mau memberati perasaan Abang. Bukan apa-apa. Aku tidak mau Abang memaksa diri menerima suap hanya untuk menyenangkan hatiku. Jangan. Aku masih kuat menderita kok. Masih banyak orang lain yang lebih jelek nasibnya dari kita.”
Dia berdiri dan meletakkan kedua amplop itu di depan saya.
“Jangan memaksakan sesuatu yang tidak baik, nanti tidak akan pernah baik.”
Dia menggayut tangan Ade, lalu membawanya ke dapur. Anak saya menurut tapi dia melirik kepada saya lalu menatap ke kedua amplop itu. Kemudian diam-diam menunjuk dengan telunjuknya.
Saya menghela nafas dalam. Disikapi oleh istri seperti itu, kenekatan saya justru bertambah. Memang anak dan istri saya tidak usah ikut bertanggungjawab. Biar saya sendiri nanti yang masuk neraka, asal mereka tidak. Dari jendela saya lihat perbaikan rumah tetangga menjadi dua lantai sudah hampir rampung. Suara motornya kedengaran yang nyaring melengking menusuk malam, membuat saya panas.
Tiba-tiba terpikir sesuatu. Kenapa anak saya tadi menunjuk ke amplop. Apa maksudnya? Apa itu sebuah peringatan? Saya menatap amplop yang menjadi bersih karena sering saya belai itu. Tiba-tiba saya terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada belahan. Dari situ nampak terbayang isinya.
Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya. Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempay saya berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar semua ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya tumpukan kertas-kertas putih.
Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya menyerahkan kepada saya. Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan rumahnya dan membeli motor? Saya S2 dia SMP saja tidak tamat.
Dengan gelap jelalatan karena geram saya keluar rumah. Jelas sekali sekarang. Mungkin ketika anak saya lari-lari berkejar-kejatan dengan Ade, kedua amplop itu sudah direbut oleh tetangga. Setelah tahu isinya, mereka langsung ganti. Dan ketika saya mencebur ke dalam kolam mereka punya kesempatan untuk memeriksa isinya dan mengganti. Itu kejahatan. Manusia sekarang sudah rusak moralnya karena uang. Tidak ada lagi perasaan persaudaraan, menjarah, merampok uang orang lain sudah jadi semacam kiat dan keberanian.
Dengan kalap saya sambar batu-batu. Tak peduli apa kata orang, lalu saya lempari rumah tetangga bajingan itu. Kaca-kaca pintu yang baru dipasang saya hancutkan. Motornya juga saya hajar.
“Bangsat! Aku yang disuap! Aku yang dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak menikmati! Bajingan!”
Hampir saja rumah barunya saya bakar, kalau saja para tetangga tidak keburu menyerbu dan kemudian menghajar saya habis. Mata saya bengkak, tak mampu melihat apa-apa. Hanya telinga saya masih bisa menangkap isak tangis istri dan jerit histeris anak saya.
Menguji Uji Coba RUU Pornografi
6 Oktober 2008 • & Komentar
Yang semula bernama RUU APP (Rencana Undang-Undang Anti Pornografi Pornoaksi) dan kini bernama RUU P (Rencana Undang-Undang Tentang Pornogragi) telah menjadi bahan pertengkaran. Di tengah berbagai kesulitan hidup yang menerpa tak putus-putusnya, RUU tersebut sudah ikut membelah masyarakat dan bangsa Indonesia.
Demo dari yang pro dan yang kontra terjadi di seluruh kawasan Nusantara. Tetapi seperti pelari marathon yang tangguh, RUU itu terus meluncur hendak menyarangkan dirinya di gawang pengesahan dari orang nomor satu Indonesia.
Mengambil tempat di Ruang Kartini, Kemeneg Pemberdayaan Perempuan, Rebo 17 September, diadakaj Uji Publik yang dibanjiri oleh para peminat yang tak semua diperkenankan masuk.
Dimulai dengan penjelasan bagaimana perjalanan panjang RUU itu sampai ke draft ketiga, kini ditanggung tidak lagi akan menjegal kebebasan seniman, tidak akan menodai kebhinekaan adat dan tradisi, berpihak pada perempuan dan membela anak-anak.
Saran-saran dan kritik sudah diserap dengan mengubah redaksi dan memperbaiki pasal-pasal yang kini dapat dianggap sebagai sudah menampung baik suara yang pro maupun yang kontra.
Penyair dan budayawan Taufiq Ismail kemudian membuka acara tanya jawab dengan dua lembar pendapatnya yang menjelaskan bagaiman bahayanya pornografi dan betapa rawannya sudah masyarakat Indonesia diobrak-abrik oleh jaringan yang memakai lokomotif neo-liberalisme itu.
Aliran SMS (Sastra Mashab Selangkang), angkatan FAK (Fiksi Alat Kelamin) dalam Gerakan Syahwat Merdeka telah membuat “anak-anak kita jadi sasaran dan korban dalam skala sangat besar”. Empat koma dua juta situs porno dunia dan seratus ribu situs porno Indonesia di internet adalah bagian air bah pornografi yang merajalela karena adanya dukungan dari kelompok permisif dan adiktif.
“Seniman tidak perlu mengeluh bila merasa terkekang karenanya”, tulis penyair penulis lirik lagu Panggung Sandiwara itu. Tuangkan kreativitas menggarap tema kemiskinan, kebodohan dan ketidak-adilan di negeri kita. Ketiga tema besar ini jauh lebih urgen digarap bersama dan bermanfaat bagi bangsa, ketimbang tema syahwat yang destruksinya (bersama komponen-komponen lain) ternyata luar biasa.
Pembicara berikutnya mengeritik cara-cara melakukan uji coba yang dianggapnya tidak layak itu. Materi RUU yang hendak dibicarakan tidak dibagikan secukupnya sehingga mayorits yang hadir tak memiliki apa yang mau dibicarakan.
Definisi pornografi yang sejak awal sudah dianggap cacad dan biang pertikaian, masih belum sempurna. Pasal-pasal yang kabur dan mengandung kemungkinan banyak interpretasi yang diancam dengan berbagai hukuman.
Kemungkinan masyarakat berperan-serta di dalam pencegahan pornografi akan membuat pembenaran beberapa kalangan melakukan tindakan main hakim sendiri, sebagai selama ini sudah kerap terjadi. “RUU yang belum naik kelas ini mestinya dibicarakan secara terbuka bukannya buru-buru diresmikan,” ujarnya.
Kesan yang muncul dari pertemuan Uji Coba itu adalah bahwa pornografi memang harus dilawan,.dibendung dan dihabisi karena sangat berbahaya. Tapi satu pihak menganggap bahwa jalan yang terbaik ke arah itu adalah dengan cepat-cepat mengesahkan RUU Pornografi yang sudah panjang perjalanannya itu.
Pihak lain menyambut bahwa tidak seorang pun yang membela pornografi. Tetapi tanpa adanya RUU Pornografi pun, tindakan tegas pemberantasan pornografi sudah memiliki landasan hukuman, tinggal eksekusi yang belum sungguh-sungguh secara jelas dan berkesinambungan dilakukan. Bagi mereka, masalahnya bukan RUU-nya, tetapi rumusasn RUU itu menjebak dan menggiring ke arah mono kultur yang bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika.
Persoalan pro dan kontra pornografi tidak sama dengan persoalan pro dan kontra RUU Pornografi. Yang pertama adalah masalah moral. Ini menyangkut ruang privat. Bila negara sudah ikut mengurusi ruang privat, sementara begitu banyak persoalan ruang publik yang terbengkalai, itu hanya akan berarti mengelakkan diri dari tanggungjawab yang sebenarnya.
Ruang privat sudah ada pengaturnya sendiri yakni agama dan pendidikan. Mari kita percayakan kepada para pemukanya untuk membereskan iman dari para warganya. Kalau memang sudah terjadi kebejatan, baru kalau ulah pribadi itu sampai mengganggu ruang publik, negara bertindak. Dan sudah ada beberapa undang-undang yang dapat dijadikan landasan hukum untuk tindakan mengayomi rakyat itu. Kalau toh mau menambah dengan yang baru (RUU P) penambahan itu tidak boleh melempas isinya.
Sementara RUU Pornografi adalah taktik dan strategi negara dalam mengeksekusi tindakan pengamanan. Bila dalam hajat itu terjadi perbedaan pendapat, harus dibicarakan secara proposional dan kepala dingin di mana letak perbedaannya.
Tak ada kaitannya lagi dengan pro dan kontra pornografi, sebab pornografi memang sepakat mau dilawan. Jangan sampai kita salah pukul atau sengaja salah memukul. Apalagi digiring orang untuk bukan memukul yang hendak kita pukul, tetapi sesuatu yang seharusnya kita hormati bersama, misalnya keberagaman.
Uji coba mestinya diartikan duduk bersama dan saling mendengarkan. Mengupas satu per satu pasal-pasal RUU Pornografi di samping mengevaluasi mengapa kita masih memerlukan sebuah undang-undang lagi. Kalau memang kuat alasannya untuk membuat undang-undang, mengapa tidak. Untuk itu masyarakat berhak untuk diyakinkan.
Tetapi kalau memang tidak perlu, karena, masalahnya bukan belum ada atau kurang undang-undang, tetapi hanya tidak ada tindakan pelaksanaan (memberantas pornografi), kenapa mesti membuat undang-undang baru? Jangan-jangan ada udang di balik baru. Seperti ada penumpang gelap di dalam kasus RUU Pornografi ini. Untuk itu harus ada investigasi.
Selaku pribadi, saya sangat berterimakasih pada Taufiq Ismail yang mengingatkan serta menyadarkan kita bahwa pornografi adalah kejahatan yang terorganisir secara rapih sehingga bukan saja harus dilawan dengan keras tetapi juga cerdas, taktis dan lihai.
Untuk itu jangan sampai langkah kita terbelokkan menjadi saling menikam, sehingga kita lalai bagaikan Niwatakawaca yang akhirnya terbunuh saat ketawa terbahak-bahak karena menang. Betul sekali, seniman tak perlu merasa terkengkang, jangankan selangkangan dan syahwat yang dilarang, kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan tak boleh dibicarakan seperti di masa Orde Baru pun, para seniman yang kreatif masih tetap bisa menghasikan master piece. Untuk itu mari kita buat definisi pornografi yang afdol.
Juga saya ingin berterimakasih pada mereka, saudara-saudara saya yang menentang RUU Pornografi dan melakukan demo di Bali, Papua dan sebagainya. Mereka mengingatkan saya bahwa kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya jangan sampai menjarah ruang privat.
Apalagi memberi peluang orang bertindak main hakim sendiri terhadap apa yang tidak berkenan pada adat dan tradisi serta keyakinannya, karena itu menodai kesepakatan hidup damai berdampingan dalam perbedaan dan melanggar hukum. Walhasil, mari kita waspadai dan usir semua penumpang gelap yang ingin menyelusuf di seluruh aspek/gerbong kehidupan kita, kedok apa pun yang dipakainya.
RUU Pornografi generasi ketiga yang diuji coba masih memerlukan pembahasan.