Selasa, 05 Januari 2010

UNTUK DIPERHATIKAN

Afiliasi dan Asosiasi
Kata afiliasi sering digunakan, seperti pada SMU Afiliasi atau perguruan tinggi afiliasi. Afiliasi adalah 'gabungan sebagai anggota atau cabang'.
Setiap anggota atau cabang itu mempunyai hubungan berjenjang naik dengan pusat yang digabunginya.
Misalnya, sebuah universitas yang belum lama didirikan dan masih belum maju serta belum berprestasi tinggi di bidang akademis berafiliasi dengan universitas yang maju, modern, dan berprestasi tinggi.
Universitas yang masih muda dan belum maju itu merupakan afiliasi, anggota, atau cabang dari universitas yang sudah maju dan modern.
Asosiasi (association) adalah 'organisasi atau kumpulan orang yang memiliki satu tujuan yang sama (biasanya) yang bertujuan positif'.
Kata asosiasi biasanya digunakan untuk menyatakan hubungan bagi organisasi yang berbadan hukum.
Aktivitas atau aktifitas
Bentuk aktivitas dan aktifitas tidak akan tampak perbedaannya bila dilafalkan. Namun, bila kedua bentuk tersebut terdapat dalam tulisan , kita akan dapat melihat perbedaannya.
Bentuk aktivitas ditulis dengan menggunakan huruf "v", sedangkan aktifitas menggunakan huruf "f". Sebagai penutur bahasa yang cermat, tentu saja kita akan bertanya manakah di antara kedua bentuk tersebut yang benar. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus mengingat kembali kaidah tentang penyerapan kata asing.
Dalam bahasa Indonesia kata asing diserap dalam bentuk kata dasar ataupun kata berimbuhan. Imbuhan asing, seperti akhiran –ization dan –ity, tidak diserap secara lepas dari kata dasarnya. Dengan kata lain, imbuhan asing diserap bersama kata dasarnya. Berikut ini contohnya. Kata active diserap menjadi aktif, sedangkan kata berimbuhan activity diserap menjadi aktivitas. Sesuai dengan kaidah, kata yang berakhiran –ity diserap menjadi –itas, seperti university dan reality menjadi universitas dan realitas.
Mengapa timbul bentuk aktifitas? Bentuk ini timbul karena sebagian orang beranggapan bahwa kata aktifitas berasal dari kata dasar aktif diberi akhiran –itas. Padahal, akhiran –itas tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Jadi, bentuk yang benar adalah aktivitas. Tipe yang sama dapat kita jumpai pada kata efektif dan efektivitas.
RELAWAN atau SUKARELAWAN
Dalam bahasa Indonesia imbuhan –wan berasal dari bahasa Sanskerta. Penggunaan akhiran itu digunakan bersama kata benda, seperti bangsawan ‘orang yang memiliki bangsa’, hartawan ‘orang yang memiliki harta’, dan rupawan ‘orang yang memiliki rupa yang elok’.
Dalam perkembangannya, arti –wan meluas. Hal itu ditemukan pada kata
ilmuwan ‘orang yang ahli dalam bidang ilmu tertentu’, negarawan ‘orang yang ahli dalam bidang ilmu negara’, dan fisikawan ‘orang yang ahli dalam bidang fisika’. Jadi, -wan dalam contoh itu berarti orang yang ahli dalam bidang yang disebutkan pada kata dasarnya.
Pada kata seperti olahragawan, peragawan, dan usahawan, imbuhan –wan berarti ‘orang yang berprofesi dalam bidang yang disebutkan pada kata dasarnya’. Jadi, olahragawan berarti ‘orang yang berprofesi dalam bidang olahraga’, peragawan ‘orang yang berprofesi dalam bidang peragaan’ , dan usahawan ‘orang yang berprofesi dalam bidang usaha (tertentu).
Berdasarkan contoh tersebut, imbuhan –wan tidak pernah melekat pada kata kerja, seperti pada kata rela. Oleh karena itu, kata yang benar adalah sukarelawan yang berarti ‘orang yang dengan sukacita melakukan sesuatu tanpa rasa terpaksa’.
SAPTAPESONA atau SAPTA PESONA
Dalam bahasa Indonesia ada jenis kata yang diserap dari bahasa Sanskerta. Salah satu di antaranya ialah kata bilangan, seperti eka, dwi, catur, panca, sapta, dan dasa, yang bermakna ‘satu’, ‘dua’, ‘tiga’, ‘empat’, ‘lima’, ‘tujuh’, dan ‘sepuluh’.
Kata bilangan yang diserap dari bahasa Sansekerta dalam bahasa Indonesia merupakan unsur terikat, yaitu unsur yang hanya dapat digabung dengan unsur lain. Sebagai unsur terikat, penulisan kata bilangan yang berasal dari bahasa Sansekerta diserangkaikan dengan unsur yang menyertainya. Dengan demikian, sapta- dituliskan serangkai dengan unsur yang menyertainya, misalnya pesona, sehingga menjadi saptapesona, bukan ditulis terpisah sapta pesona. Contoh lain adalah ekabahasa, dwiwungsi, caturdarma, pancakrida, saptamarga, dan dasasila, bukan eka bahasa, dwi wungsi, catur darma, panca krida, sapta marga, dan dasa sila. Selain itu, beberapa unsur lain yang berasal dari bahasa Sansekerta, seperti adi-, manca-, swa-, dan nara-, dalan bahasa Indonesia juga merupakan unsur terikat. Sebagai unsur terikat, penulisannya juga diserangkaikan dengan unsur lain yang menyertainya. Misalnya, adikuasa, mancanegara, swasembada, dan narasumber, bukan adi kuasa, manca negara, swa sembada, dan nara sumber.

JADWAL atau JADUAL
Penggunaan kata jadwal yang dituliskan menjadi jadual, seperti jadual
penerbangan dan jadual pelajaran, tidaklah benar. Kata jadual
dengan (u) hendaknya dituliskan dengan jadwal (w) karena di dalam bahasa
asalnya, bahasa Arab, kata itu dituliskan dengan
. Huruf pada kata itu diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi w,
bukan u. Dengan demikian, penulisan yang benar jadwal, bukan
jadual. Begitu pula, gabungan kata yang penulisannya benar adalah
jadwal penerbangan dan jadwal pelajaran, bukan jadual
penerbangan dan jadual pelajaran. Contoh lain, takwa dan fatwa,
bukan takua dan fatua.
Penulisan kata jadual dengan (u) tampaknya beranalogi pada kata kualitas.
Penulisaan kata kualitas memang sudah tepat karena huruf /u/ pada
kata itu memang berasal dari bahasa asalnya, Inggris, quality. Jika ada
penulisan kwalitas, penulisan itu justru tidak benar. Contoh lain adalah kuantitas,
bukan kwantitas.
DIRGAHAYU
Kata dirgahayu diserap dari bahasa Sanskerta
style="mso-bidi-font-style: normal">dirgahayuh; dirgahayusa yang berarti ’berumur panjang’. Kata dirgahayu sering digunakan untuk menyatakan ungkapan selamat berulang tahun. Penggunaan ”Dirgahayu Republik Indonesia Ke-60”, berdasarkan makna dirgahayu, jelas tidak logis. Ketidaklogisan itu terungkap dari penambahan Ke-60 yang pengertiannya belum jelas. Dengan penambahan Ke-60, ada dua pengertian yang terkandung, yakni Ke-60 menerangkan dirgahayu atau Republik Indonesia, baik menerangkan dirgahayu maupun menerangkan Republik Indonesia sama-sama tidak logis.
Ketidaklogisan yang pertama terjadi karena panjang umur dinyatakan dengan Ke-60. Selain itu, ada ketidakjelasan Ke-60 itu, apakah maksudnya Ke-60 tahun atau Ke-60 hari. Ketidaklogisan yang kedua terjadi karena berdasarkan ungkapan itu ada 60 buah Republik Indonesia. Hal itu berarti pula masih ada 59 RI lagi. Tentu saja yang demikian tidak logis karena Republik Indonesia hanya satu, yakni yang kita rayakan itu. Dengan demikian, ungkapan tersebut di samping tidak logis juga termasuk taksa (ambigu).
Hal lain yang perlu dicermati adalah penambahan hari ulang tahun (HUT) setelah dirgahayu. Misalnya, ”Dirgahayu HUT RI Ke-60”. Penambahan itu juga tidak logis. HUT tidak mungkin berumur panjang karena masanya hanya satu hari. Yang dapat kita ucapkan berumur panjang adalah Republik Indonesia atau kemerdekaannya. Jadi, ungkapan yang tepat adalah ”Dirgahayu Republik Indonesia” atau ”Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia”.
Sementara itu, apabila Ke-60 akan digunakan, penempatannya harus tepat. Ada dua pilihannya, yakni Hari Ulang Tahun Ke-60 Republik Indonesia (HUT Ke-60 RI) atau Ulang Tahun Ke-60 Republik Indonesia. Baik contoh pertama maupun contoh kedua menjelaskan unsur HUT atau ulang tahunnya.
Ada satu cara lagi yang dapat digunakan untuk menambahkan Ke-60, yaitu apabila unsur Ke-60 ditempatkan setelah Republik Indonesia (RI). Caranya adalah dengan menambahkan tanda hubung di antara ”Hari Ulang Tahun” dan ”Republik Indonesia”, yakni ”Hari Ulang Tahun-Republik Indonesia Ke-60 (HUT-RI Ke-60)”. Tanda hubung digunakan agar dua unsur HUT dan RI menjadi padu. Penulisan angka 60 boleh juga digunakan dengan angka Romawi, LX, tetapi tanpa diberi awalan ke- karena angka Romawi sudah menyatakan bilangan tingkat.
Selain ungkapan di atas, ada pilihan yang dapat digunakan untuk menyatakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Dirgahayu Kemerdekaan Kita
Dirgahayu RI
HUT Ke-60 RI
HUT LX RI
Selamat Ulang Tahun Ke-60 Republik Indonesia
Peringatan Ulang Tahun LX Republik Indonesia
Anarkis atau Anarkitis?
Dalam berbahasa, kata anarkis tampaknya lebih banyak digunakan daripada kata anarkistis. Kedua kata itu, sering kali digunakan dalam pengertian yang tertukar. Sebagai contoh, perhatikan kalimat berikut.
Para demonstran diharapkan tidak melakukan tindakan yang anarkis.
Kata anarkis pada kalimat itu tidak tepat. Untuk mengetahui hal itu, kita perlu memahami pengertian kata anarkis.
Kata anarkis anarchist berkelas nomina dan bermakna 'penganjur (penganut) paham anarkis' atau 'orang yang melakukan tindakan anarki'.
Dari pengertian tersebut ternyata kata anarkis bermakna 'pelaku', bukan 'sifat anarki'. Padahal, kata yang diperlukan dalam kalimat tersebut adalah kata sifat untuk melambangkan konsep 'bersifat anarki'.
Dalam hal ini, kata yang menyatakan 'sifat anarki' adalah anarkistis, bukan anarkis.
Kata anarkis sejalan dengan linguis 'ahli bahasa' atau pianis 'pemain piano' sedangkan anarkistis sejalan dengan optimistis 'bersifat optimis' dan pesimistis 'bersifat pesimis'.
Dengan demikian, kata anarkis pada kalimat tersebut lebih baik diganti dengan kata anarkistis sehingga kalimatnya menjadi sebagai berikut.
Para demonstran diharapkan tidak melakukan tindakan yang anarkistis.
Lalu, bagaimanakah penggunaan kata anarkis yang tepat?
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kata anarkis bermakna 'pelaku', yaitu 'orang yang melakukan tindakan anarki'. Oleh karena itu, penggunaannya yang tepat adalah untuk menyatakan 'pelaku' atau 'orang yang melakukan tindakan anarki'.
Contohnya dapat disimak pada kalimat berikut.
Pemerintah mengingatkan masyarakat agar tidak berlaku sebagai anarkis dalam melakukan unjuk rasa.
Perlu pula diketahui kata anarki bermakna (1) hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban';(2)'kekacauan (dalam suatu negara)'.
Anarkisme bermakna 'ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara; teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dalam undang-undang'.
BAHASA PROKEM
Bahasa prokem adalah bahasa sandi, yang dipakai dan digemari oleh kalangan remaja tertentu.
Bahasa ini konon berasal dari kalangan preman. Bahasa prokem itu digunakan sebagai sarana komunikasi di antara remaja sekelompoknya selama kurun tertentu. Sarana komunikasi diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok usia lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya. Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. Hal itu merupakan perilaku kebahasaan dan bersifat universal.
Kosakata bahasa prokem di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya. Bahasa prokem berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan menggunakan bahasa prokem, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.
Kehadiran bahasa prokem itu dapat dianggap wajar karena sesuai dengan tuntutan perkembangan nurani anak usia remaja. Masa hidupnya terbatas sesuai dengan perkembangan usia remaja. Selain itu, pemakainnya pun terbatas pula di kalangan remaja kelompok usia tertentu dan bersifat tidak resmi. Jika berada di luar lingkungan kelompoknya, bahasa yang digunakannya beralih ke bahasa lain yang berlaku secara umum di lingkungan masyarakat tempat mereka berada. Jadi, kehadirannya di dalam pertumbuhan bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah tidak perlu dirisaukan karena bahasa itu masing-masing akan tumbuh dan berkembang sendiri sesuai dengan fungsi dan keperluannya masing-masing.
Berikut ini beberapa contoh kata bahasa prokem:
bokap ‘bapak’
bonyok ‘bapak dan ibu’
cacing ‘petugas keamanan’
cuek ‘tidak acuh’
doi ‘dia’
doku ‘uang’
hebring ‘sangat hebat’
nglinting ‘mengisap ganja’
Demokrasi, Demokratis, Demokrat, dan Demokratisasi
Indonesia disebut-sebut telah berkembang menuju Negara demokrasi, tetapi ada juga yang mengatakan Indonesia telah berkembang menuju negara demokratis. Mana di antara keduanya yang benar?
Demokrasi (adjektiva) berarti ‘bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah melalui perantaraan wakilnya’, ‘pemerintahan rakyat’. Negara demokrasi adalah Negara yang menganut bentuk dan system pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi juga berarti ‘gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan bagi semua warga negara’, misalnya berpaham demokrasi.
Demokratis (adjektiva) berarti ‘bersifat demokrasi’, seperti Negara yang demokratis ‘negara yang bersifat demokrasi’ atau ‘negara yang bersifat mengutamakan persamaan hak, kewajiban, dan perlakuan bagi semua warga negara’. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa demokrasi untuk menyatakan ‘bentuk dan system pemerintahan negara’, sedangkan demokratis untuk menyatakan sifat Negara, misalnya bukan feodalistis ataupun bukan kerajaan.
Demokrat (nomina) berarti ‘penganut paham demokrasi’, misalnya Organisasi ini adalah organisasi demokrat sejati. Oleh karena itu, semua anggota mempunyai hak, kewajiban, dan perlakuan yang sama terhadap organisasi.
Demokratisasi semakna dengan pendemokrasian, yakni ‘proses, perbuatan, atau cara mendemokrasikan’.
Di dan Pada
Akhir-akhir ini banyak pengguna bahasa Indonesia yang senang menggunakan ungkapan di malam hari, di awal abad XXI, atau di awal milenium III.
Penggunaan preposisi di pada ungkapan itu menunjukkan kekurangcermatan dalam pemilihan kata. Preposisi di digunakan untuk manandai tempat, baik yang konkret maupun yang abstrak.
Oleh karena itu, preposisi di seharusnya diikuti keterangan tempat. Pada konteks itu pilihan kata yang tepat adalah pada karena diikuti waktu.
Beberapa kalimat berikut menggambarkan penggunaan di secara tepat.
(1) Pusat pemerintahan negara berada di Jakarta.
(2) Di dinding terpampang lukisan Monalisa.
(3) Keuntungan besar sudah terbayang di depan mata.
Elit atau Elite
Banyak orang mengatakan, baik para politisi, penyiar, pejabat maupun masyarakat umum menggunakan kata elite di dalam berbagai kesempatan, tetapi pengucapan kata tersebut beragam. Ada yang mengucapkan /elit/ dan ada pula /elite/.
Dari kedua cara pengucapan itu, mana yang baku?
Kata elite berasal dari bahasa Latin /eligere/ yang berarti 'memilih' dalam bahasa Indonesia kata elite berarti 'orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok' atau 'kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi (kaum bangsawan, cendekiawan, dsb.).
Dalam bahasa latin huruf /e/ pada akhir kata mustinya diucapakan.
Oleh karena itu, kata elite harus diucapakan /elite/, bukan /elit/.
Begitu juga dengan bonafide harus diucapkan /bonafide/, buksn /bonsfid/ atau faksimile harus diucapkan /faksimile/, bukan /faksimil/,/feksimil/ atau /feksemail/.
Hanya dan Saja
Kandungan makna kata hanya dan saja tidak sama atau berbeda. Oleh karena itu, kedua kata tersebut, yaitu hanya dan saja, tidak dapat saling menggantikan posisi dan makna yang sama di dalam sebuah kalimat.
Fungsi kata itu masing-masing di dalam kalimat berbeda. Kata hanya menerangkan kata atau kelompok kata yang mengiringinya, sedangkan kata saja menerangkan kata atau kelompok kata yang mendahuluinya.
Contoh pemakaian kata hanya dan saja yang tepat menurut kaidah bahasa Indonesia
(1) Saya hanya memiliki dua orang anak.
(2) Saya memiliki dua orang anak saja.
(3) Orang itu hanya memikirkan diri sendiri.
(4) Orang itu memikirkan diri sendiri saja.

Jam dan Pukul
Kata jam dan pukul masing-masing mempunyai makna sendiri, yang berbeda satu sama lain. Hanya saja, sering kali pemakaian bahasa kurang cermat dalam menggunakan kedua kata itu, masing-masing sehingga tidak jarang digunakan dengan maksud yang sama.
Kata jam menunjukkan makna 'masa atau jangka waktu', sedangkan kata pukul mengandung pengertian 'saat atau waktu'.
Dengan demikian, jika maksud yang ingin diungkapkan adalah 'waktu atau saat', kata yang tepat digunakan adalah pukul, seperti pada contoh berikut.
Rapat itu akan dimulai pada pukul 10.00
Sebaliknya, jika yang ingin diungkapkan itu 'masa' atau 'jangka waktu', kata yang tepat digunakan adalah jam, seperti pada kalimat contoh berikut.
Kami bekerja selama delapan jam sehari
Selain digunakan untuk menyatakan arti 'masa' atau jangka waktu', kata jam juga berarti 'benda penunjuk waktu' atau 'arloji', seperti pada kata jam dinding atau jam tangan.
Juara dan Pemenang
Adakah perbedaan makna kata juara dan pemenang? Untuk mengetahui jawaban pertanyaan itu, kita perlu mengetahui makna kedua kata itu.
juara
(1) 'orang (regu) yang mendapat kemenangan dalam pertandingan terakhir
(2) 'ahli; terpandai dalam sesuatu (pelajaran dan sebagainya)'
(3) 'pendekar; jagoan'
(4) 'pengatur dan pelerai dalam persabungan ayam'
(5) 'pemimpin peralatan (pesta dan sebagainya)'.
pemenang 'orang (pihak) yang menang'
Kata pemenang dapat dipakai untuk orang yang menang bertanding atau berlomba, tetapi tidak dapat dipakai untuk menyatakan orang terpandai di kelas.
Misalnya, Didi adalah juara I di kelasnya, tetapi tidak pernah dikatakan Didi adalah pemenang I di kelasnya.
Sebaliknya, kata juara dipakai untuk orang atau regu yang menang bertanding atau berlomba ataupun orang terhebat dalam sesuatu (pelajaran dan sebagainya).
Namun, kata juara tidak dipakai untuk menyebut orang yang memenangi undian. Misalnya, Dia pemenang I undian berhadiah itu, tetapi tidak pernah dikatakan Dia juara pertama undian berhadiah itu.
Kabinet dan Dekret
Kata kabinet diserap dari bahasa Inggris cabinet, yang memiliki banyak makna, yaitu (1)’dewan pemerintah yang terdiri atas para menteri’, (2) ’kantor tempat bekerja presiden dan para menteri’.
Kata kabinet dalam makna yang kedua hampir tidak pernah digunakan di Indonesia karena para menteri berkantor di kementeriannya masing-masing.
Akan tetapi, kita tahu bahwa ada ruang rapat kabinet. Kabinet juga berarti ’lemari kecil tempat menyimpan surat-surat (dokumen dan sebagainya)’. Laci mesin ketik atau mesin jahit dan sebagainya’. Meja setengah kabinet berarti ’meja yang setengah badannya berbentuk lemari (memiliki ruang dan pintu) digunakan untuk tempat menyimpan surat dan sebagainya’.
Filling cabinet atau lemari penyimpanan ialah ’lemari yang digunakan untuk menyimpan surat-surat atau (kertas) dokumen’.
Dekret (bukan dekrit) berarti ’keputusan’ atau ’surat ketetapan yng dikeluarkan oleh presiden, raja, atau kepala negara’ (biasanya berkaitan dengan keputusan politik.
Kata dekret diserap dari decreten (Belanda). Dapat dipastikan bahwa dekret tidak diserap dari bahasa Inggris karena ejaannya di dalam bahasa Inggris decree. Sejalan dengan dekret terdapat kata konkret, atmosfer, sistem, eksem, ekstrem, apotek, dan kredit, bukan konkrit, atmosfir, sistim, eksim, ekstrim, apotik, dan kridit.

KURBAN dan KORBAN
Kata kurban dan korban berasal dari kata yang sama dari bahasa Arab, yaitu
>qurban ( ). Dalam perkembangannya, kata qurban diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan penyesuaian ejaan dan dengan perkembangan makna, yaitu sebagai berikut: Kurban [ kurban] berarti ‘persembahan kepada Tuhan (seperti kambing, sapi, dan unta yang disembelih pada Lebaran Haji)’ atau ‘pemberian untuk menyatakan kesetiaan atau kebaktian’. Korban [korban] berarti orang atau binatang yang menderita atau mati akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya. Contoh penggunaan dalam kalimat: 1) Menjelang Lebaran Haji harga ternak kurban naik. 2) Sebagian korban kecelakaan itu dapat diselamatkan
MAJALAH HORISON
Majalah Horison adalah majalah khusus sastra di Indonesia. Majalah itu pertama kali terbit bulan Juli 1966 di Jakarta. Sampai saat ini majalah tersebut masih terbit.
Pendiri majalah Horison adalah Mochtar Lubis, P.K. Ojong, Zaini, Arief Budiman, dan Taufiq Ismail. Sasaran pembacanya adalah sastrawan, peminat sasatra, dan masyarakat umum. Yang pernah menjadi redaktur dalam majalah itu, antara lain, Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Zaini, Taufiq Ismail, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Sanento Yuliman, Arwah Setiawan, Ali Audah Fuad Hassan, M.T. Zen, P.K. Ojong, Umar Kayam, dan D.S. Moeljanto. Sampai sekarang salah satu dari mereka, Taufiq Ismail, aktif mengendalikan majalah Horison.Majalah Horison dalam kegiatannya, antara lain, memberikan hadiah karangan terbaik guna memajukan kehidupan sastra di Indonesia. Film remaja “Ada Apa dengan Cinta” pernah mendapat hadiah dari majalah Horisoni (2002) karena film itu mampu mendorong para siswa membaca karya sastra (puisi).Sejak bulan November 1996, majalah Horison menambah ruang apresiasi sastra bagi siswa SMU, madrasah aliah, dan pesantren, yang diberi nama Kakilangit. Ruang apresiasi itu berbentuk suplemen atau sisipan dengan jumlah halaman lebih banyak daripada jumlah halaman isi majalah. Selain itu, sejak tahun 1999, majalah Horison juga menampilkan lembaran Mastera setiap tiga bulan sekali yang memuat karya sastra pilihan dari tiga negara ASEAN.Alamat : Jalan Galur Sari II Nomor 54 Utan Kayu Selatan Jakarta 13120
Telepon : (021) 85903045Faksimile : (021) 8583437Pos-el : kklangit@indosat.net.id
Mengapa standardisasi, bukan standarisasi?
Dalam komunikasi sehari-hari, baik lisan maupun tulis, kita sering menemukan penggunaan bentuk kata standarisasi di samping kata standar.
Penggunaan bentuk tersebut terjadi karena sebagian orang menganggap bahwa dalam bahasa Indonesia ada kata standar yang dapat dibentuk menjadi standarisasi setelah ditambah akhiran –isasi. Anggapan seperti itu menimbulkan pertanyaan apakah dalam bahasa Indonesia ada akhiran –isasi. Jawabannya adalah tidak ada. Akhiran –isasi, dari bahasa Inggris –ization, masuk ke dalam bahasa Indonesia bersama dengan kata dasarnya. Perhatikan contoh penyerapan berikut ini.
Organization menjadi organisasi
Mobilization menjadi mobilisasi
Jadi, kata organisasi berasal dari bahasa Inggris organization, bukan dari kata dasar organ ditambah akhiran –isasi dan kata mobilisasi berasal dari mobilization, bukan dari kata dasar mobil ditambah akhiran –isasi meskipun kita tahu kata organ dan mobil ada dalam khazanah kata bahasa kita.
Dari kedua contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk standarisasi tidak benar. Bentuk yang benar adalah standardisasi karena bentuk tersebut diserap dari bahasa Inggris standardization. Sementara itu, kata standard diserap menjadi standar. Jadi, kedua bentuk itu, standar dan standardisasi sama-sama diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Mengkritik atau Mengkritisi?
Dalam berbagai wawancara kita sering mendengar orang mengatakan mengkritisi, seperti dalam kalimat Kita harus tetap mau mengkritisi pemerintah agar kinerja bertambah baik. Betulkah pemakaian kata mengkritisi itu?
Kritik (nomina) dan critics (Inggris) dapat diturunkan menjadi verba mengkritik, yang berarti ‘melakukan kritik’ atau ‘memberikan kritik’ (Inggris: to criticize atau to give critical opinion). Mengkritisi merupakan bentuk yang salah karena seharusnya mengkritik, yang berasal dari meng- + kritik, seperti juga meng- + gunting dan men- + cangkul. Walaupun kritik, gunting, dan cangkul berkelas nomina, menggunting, mengkritik, dan mencangkul berkelas verba.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditemukan kata kritisi dan kritikus, tetapi nomina itu tidak dibentuk menjadi verba. Jadi, bentuk yang benar adalah meng + kritik (pangkal verba) mengkritik. Bukankah kita juga tidak mengatakan mempolitisi, mengakademisi, dan memusisi, tetapi mempolitik (kan), mengakademikan, dan memusik (kan).
Dalam berbagai wawancara kita sering mendengar orang mengatakan mengkritisi, seperti dalam kalimat Kita harus tetap mau mengkritisi pemerintah agar kinerja bertambah baik. Betulkah pemakaian kata mengkritisi itu?
Kritik (nomina) dan critics (Inggris) dapat diturunkan menjadi verba mengkritik, yang berarti ‘melakukan kritik’ atau ‘memberikan kritik’ (Inggris: to criticize atau to give critical opinion). Mengkritisi merupakan bentuk yang salah karena seharusnya mengkritik, yang berasal dari meng- + kritik, seperti juga meng- + gunting dan men- + cangkul. Walaupun kritik, gunting, dan cangkul berkelas nomina, menggunting, mengkritik, dan mencangkul berkelas verba.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditemukan kata kritisi dan kritikus, tetapi nomina itu tidak dibentuk menjadi verba. Jadi, bentuk yang benar adalah meng + kritik (pangkal verba) mengkritik. Bukankah kita juga tidak mengatakan mempolitisi, mengakademisi, dan memusisi, tetapi mempolitik (kan), mengakademikan, dan memusik (kan).
Menyolok atau Mencolok?
Kata menyolok dan mencolok sama-sama sering digunakan oleh pemakai bahasa Indonesia. Meskipun demikian, di antara keduanyahanya satu bentukan yang sesuai dengan kaidah pembentukan kata bahasa Indonesia.
Untuk mengetahui bentukan kata yang benar, kita perlu mengetahui kata dasar dari bentukan itu. Untuk itu, kita dapat memeriksanya di dalam kamus.
Dalam kamus bahasa Indonesia, terutama Kamus Besar Bahasa Indonesia, ternyata hanya ada kata dasar colok. Tampaknya, perbedaan bentukan kata itu timbul karena adanya perbedaan pemahaman mengenai proses terjadinya bentukan kata itu.
Sesuai dengan kaidah, kata dasar yang berawal dengan fonem /c/, jika mendapat imbuhan me-, bentukannya menjadi mencolok, bukan menyolok, karena fonem /c/ pada awal kata dasar tidak luluh.
Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia bentuk kata yang baku adalah mencolok bukan menyolok.
NAMA INDONESIA
Kata Indonesia pertama dilontarkan oleh George Samuel Earl, bangsa Inggris, untuk menamai gugusan pulau di Lautan Hindia. Namun, para ilmuwan Eropa menyebutnya dengan Melayunesia. J.R. Logan, bangsa Inggris, dalam majalah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (Volume IV, 1850:24) menyebut gagasan pulau di Lutan Hindia dengan Indonesian.
Kemudian, Adolf Bastian , bangsa Jerman, dalam bukunya Indonesian Order die Inseen des Malaysichien Archipel menggunakan kata Indonesia untuk menyebut nama kepulauan yang bertebaran di lautan Hindia tersebut. Kata Indonesia itu, kemudian dalam perjalanana sejarahnya menjadi nama sebuah negara dan banhgsa di Kepulauan Nusantara yang terletak di kawasan Asia Tenggara
Nominator dan Nomine
Dalam setiap perlombaan atau festival hampir selalu ada beberapa orang yang diunggulkan untuk dicalonkan sebagai pemenang. Orang atau sesuatu yang dicalonkan sebagai pemenang itu sering disebut nominator.
Kata nominator berasal dari kata kerja nominate (Inggris), berarti 'mengusulkan atau mengangkat (seseorang) sebagai calon pemenang atau penerima hadiah', dan nominator berarti 'orang yang mengusulkan calon pemenang'.
Oleh karena itu, penggunaan kata nominator untuk menyatakan makna 'calon yang diunggulkan sebagai pemenang' tidak tepat.
Untuk menyatakan 'orang yang dicalonkan atau yang diunggulkan sebagai pemenang', lebih tepat digunakan kata nomine , bukan nominator.
Selain itu, kata unggulan juga dapat digunakan untuk mengungkapkan makna itu.
Pemimpin dan Pimpinan
Kata pemimpin dan pimpinan sama-sama merupakan kata baku di dalam bahasa Indonesia. Kedua kata itu dapat digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia dengan makna yang berbeda.
Kata pemimpin mengandung dua makna, yaitu"orang yang memimpin' dan 'petunjuk' atau 'pedoman'. Dari maknanya yang kedua dapat diketahui bahwa buku, misalnya, yang digunakan sebagai petunjuk atau pedoman, selain dapat disebut buku petunjuk atau buku pedoman, juga disebut buku pemimpin.
Kata pimpinan ada hubungannya dengan memimpin. Dalam hal ini, pimpinan merupakan hasil dari proses memimpin.
Kata pimpinan juga mempunyai arti lain, yaitu 'kumpulan para pemimpin'. Dalam pengertian itu, kata pimpinan lazim digunakan dalam ungkapan seperti rapat pimpinan, unsur pimpinan, atau pimpinan unit.
Sejalan dengan itu, akhiran -an pada kata pimpinan bermakna 'kumpulan', yakni 'kumpulan para pemimpin'.
Pemirsa atau Pirsawan
Kata pirsa jika diberi imbuhan pe- menjadi pemirsa. Kata pirsa (berkategori verba) berasal dari bahasa daerah yang berarti 'tahu' atau 'melihat'.
Prefiks pe- (bertalian dengan prefiks verbal me-) di dalam bahasa Indonesia, antara lain, mengandung makna 'orang yang me-' atau 'orang yang melakukan'.
Kata pemirsa, berarti 'orang yang melihat atau mengetahui'. Kata itu kemudian digunakan sebagai istilah di dalam media massa elektronik, khusunya televisi, yang secara khusus diberi makna 'orang yang menonton atau melihat siaran televisi atau penonton televisi'.
Kata pirsawan sebaiknya dihindari sebab kata itu dibentuk dari kata dasar verba pirsa dan imbuhan -wan, yang merupakan bentukan kata yang tidak lazim.
Imbuhan -wan lazim dilekatkan pada kata dasar yang berupa nomina rupa-->rupawan, harta--> hartawan; atau dilekatkan pada adjektiva, seperti setia-->setiawan.
Rakyat dan Masyarakat
Kata rakyat dan masyarakat mempunyai makna yang mirip. Kata rakyat berkaitan dengan sebuah negara, sedangkan kata masyarakat berkenaan dengan kelompok sosial yang tinggal di suatu wilayah negara.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata rakyat berarti 'segenap penduduk suatu negara, sedangkan masyarakat berarti 'sejumlah manusia yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama'.
Di dalam bahasa Inggris kata rakyat maknanya sama dengan kata people dan di dalam bahasa Belanda disamakan maknanya dengan kata volks
Padanan kata masyarakat di dalam bahasa Inggris adalah community
Makna kata itu berkaitan dengan adat-istiadat dan budaya yang sama, seperti dalam ungkapan masyarakat desa, yaitu kelompok sosial yang terikat oleh kesamaan tatanan dan tradisi serta pola hidup yang berlaku di lingkungan pedesaan.
RAWAT INAP atau RAWAT NGINAP
Kelompok kata rawat nginap yang sering ditemukan di rumah sakit digunakan
untuk menyebutkan keadaan pasien yang tengah menjalani perawatan. Namun,
di samping itu, ada pula yang menggunakan rawat inap.
Manakah yang benar?
Bentuk
gabungan kata yang digunakan sebagai istilah lazimnya bentuk yang paling ringkas,
seperti ruang pamer, jam kerja, unjuk rasa, dan jalan layang.
Jika bentuk imbuhan harus digunakan untuk mengungkapkan konsep yang dituangkan
dengan bentuk dasar, imbuhan yang digunakan harus sesuai dengan imbuhan yang
dikenal dalam bahasa Indonesia, seperti perseroan terbatas, deposito berjangka, dan
massa mengambang. Bentuk dasar kata itu, yang lebih ringkas adalah sero batas,
deposito jangka, dan massa kambang, tidak digunakan karena tidak mengungkapkan gagasan yang dimaksud
secara tepat.
Bentuk nginap
pada kelompok kata rawat nginap bukan bentuk dasar dan bukan pula bentuk
berimbuhan yang lengkap. Bentuk dasar yang sebenarnya adalah inap
dan bentuk berimbuhan dengan meng- adalah menginap. Dalam hal itu
bentuk dasar yang lebih ringkas dapat digunakan tanpa mengurangi ketepatan makna.
Dengan demikian, bentuk yang tepat adalah rawat inap, bukan rawat
nginap.
Suka dan Sering
Di dalam bahasa cakapan kita sering mendengar orang mengucapkan kata suka alih-alih kata sering, seperti pada kalimat berikut.
1. Saya suka/sering lupa waktu kalau lagi asyik bekerja.
Pada kalimat itu, baik suka maupun sering, dapat digunakan bergantian karena dalam bahasa cakapan salah satu makna kata suka ialah 'sering'.
Dalam bahasa resmi, pemakaian kedua kata itu harus dibedakan dengan cermat sebab makna keduanya memeng berbeda. Pada contoh berikut suka tidak dapat digantikan oleh sering karena sering berarti 'acapkali' atau 'kerapkali'.
2. a. Dia adalah teman dalam suka dan duka.
b. Saya suka akan tindakannya.
c. Ambillah kalau Anda suka.
d. Jarang sekali ada ibu yang tidak suka akan anaknya.
Pada contoh (2a) itu kata suka bermakna 'girang', 'riang', atau 'senang'; pada (2b) berarti 'senang'; pada (2c) berarti 'mau', 'sudi', atau 'setuju';pada (2d) berarti 'sayang'.
Termohon dan Pemohon
Ada sementara orang yang mempertanyakan arti kata termohon. Mereka beranggapan bahwa kata tersebut berarti 'tidak sengaja dimohon'.
Awalan ter- memang memiliki arti, (1) 'tidak sengaja' seperti pada kata tertidur atau terbawa dan (2) 'paling' seperti pada kata terpandai atau terjauh.
Itulah sebabnya, kata termohon sering diartikan 'tidak sengaja dimohon'. Padahal, arti awalan ter- tidak hanya itu. Arti awalan ter- yang lain adalah 'dapat di-' atau 'dalam keadaan di-' seperti dalam kalimat berikut.
Masalah itu teratasi saat petugas keamanan datang di lokasi kejadian.
Kata teratasi pada kalimat diatas berarti 'dapat diatasi'
Bagaimana dengan kata termohon? Awalan ter- pada kata termohon sama artinya dengan awalan di-. Jadi, termohon berarti 'orang yang dimohoni'. atau 'orang yang dimintai permohonan'
Dalam bidang hukum yang dimohon itu ialah 'pemulihan nama baik'.
Istilah termohon digunakan, misalnya, dalam kasus praperadilan. Seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil oleh lembaga, misalnya kepolisian, dapat mempraperadilkan lembaga tersebut.
Dalam hubungan itu, pihak kepolisian disebut sebagai pihak termohon, sedangkan pihak yang mempraperadilkan disebut pemohon.
Dalam kasus perkara pidana pihak ap[arat penegak hukum, termasuk kepolisian, biasa menjadi pihak yang bertindak aktif untuk mengumpulkan bukti yang diperlukan.
Namun, dalam hubungannya dengan istilah termohon, pihak aparat hukum, dalam hal ini kepolisian menjadi pihak yang tidak aktif bertindak atau tidak proaktif.
Hal itu terjadi karena yang berinisiatif adalah pihak pemohon, bukan termohon. Dalam hal itu, kjata pemohon berarti 'pihak/orang yang memohon'
WIB atau BBWI?
Sejalan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1987, wilayah waktu di Indonesia dibagi menjadi tiga yang masing-masing dikenal oleh masyarakat dengan singkatan WIB, Wita dan WIT. Bentuk kepanjangannya masing-masing adalah Waktu Indonesia Barat, Waktu Indonesia Tengah, dan Waktu Indonesia Timur. Pada ungkapan itu kata barat, tengah, dan timur menerangkan kelompok kata waktu Indonesia dan bukan hanya menerangkan kata Indonesia. Dengan demikian, harus ditafsirkan bahwa yang dibagi adalah wilayah waktu, bukan wilayah (pemerintahan) Indonesia menjadi Indonesia Barat, Indonesia Tengah, ataupun Indonesia Timur.
Dalam penggunaannya di masyarakat muncul singkatan BBWI, alih-alih WIB. Ada yang menyebutkan kepanjangannya (a) Bagian Barat Wilayah Indonesia dan ada pula yang menyebutkan (b) Bagian Barat Waktu Indonesia. Kepanjangan (a) tidak mengacu ke wilayah waktu. Selain itu, Bagian Barat Wilayah Indonesia dapat ditafsirkan ‘daerah yang terletak di sebelah barat di luar wilayah Indonesia’ karena dalam urutan kata seperti itu kelompok kata bagian barat diterangkan oleh kelompok kata wilayah Indonesia. Kepanjangan (b) lebih kacau lagi tafsirannya karena kelompok kata bagian barat yang diterangkan oleh kelompok kata waktu Indonesia sulit dipahami maknanya. Dalam hal itu terjadi pembalikan urutan diterangkan-menerangkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pusat Bahasa menganjurkan agar masyarakat pemakai bahasa Indonesia untuk tetap menggunakan ungkapan yang lazim dan benar menurut kaidah bahasa Indonesia. Dengan demikian, di dalam hal pembagian (wilayah) waktu di Indonesia, penggunaan singkatan yang benar adalah WIB (bukan BBWI).

"NATIONAL SUMMIT"?

"National Summit"?Submitted by adminpusba on Tue, 17/11/2009 - 13:57


Oleh ANTON M MOELIONO

Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, yang biasanya kita peringati dengan memperbarui itikad membela Tanah Air, memajukan bangsa, dan mengembangkan bahasa persatuan, tahun ini berbeda corak penghayatannya. Sehari sesudahnya ada musyawarah akbar nasional yang dibuka presiden Indonesia, dihadiri menteri dan pejabat Indonesia.

Pendek kata, wakil semua pemangku kepentingan turut serta dan berjuta-juta warga masyarakat Indonesia jadi saksi lewat media massa. Walaupun tujuannya demi kemajuan Indonesia, pertemuan itu diberi nama Inggris yang perkasa: National Summit 2009. Padahal, pada bulan Juli 2009 oleh presiden yang sama diundangkan Undang-Undang Nomor 24 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Walaupun di dalamnya ada pasal 32 yang mewajibkan pemakaian bahasa Indonesia dalam forum yang bersifat nasional, pelanggaran terhadap pasal itu oleh siapa pun tidak dapat dipidana karena memang tidak ada sanksinya. Jadi, berbeda dengan ketentuan tentang bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, ketentuan tentang bahasa nasional sekadar macan ompong.

Perlukah diajukan ujian materi ke Mahkamah Konstitusi?

Tambahan lagi, menurut kaidah tata bahasa Inggris yang baku, urutan kata dalam frasa mengikuti hukum M-D, bukan D-M. Bentuknya yang tepat: (The) 2009 National Summit. Banyak rakyat biasa yang tahu arti national, tetapi tidak dapat menebak makna summit. Untuk menguji dugaan saya, saya tanya sopir saya, Asep. Tanggapannya tidak mencengangkan, ”Kalau arti sumpit saya tahu, Pak, tetapi arti summit saya tidak tahu. Apa masih ada hubungan dengan Sumitomo?”

Karena jadi guru, saya merasa perlu menjelaskan berbagai makna kata summit kepadanya. Pertama, summit mengacu ke puncak gunung. Kedua, secara kias kata itu menunjuk ke titik atau capaian yang tertinggi; misalnya, puncak karier, puncak prestasi. Ketiga, kata summit merujuk ke pertemuan internasional sekumpulan kepala pemerintah, atau wakilnya, yang membahas perkara penting seperti perdamaian, perdagangan dan ekonomi dunia.

Seandainya kita kembali melaksanakan pasal 36 undang-undang dasar kita, seturut sumpah jabatan yang baru diucapkan di muka rakyat, dan memberi nama Indonesia kepada pertemuan itu, ada beberapa pilihan. Media pers senang pada konferensi tingkat tinggi dan musyawarah tokoh nasional. Di dalam kamus besar Pusat Bahasa, yang jarang dimiliki dan dibuka oleh birokrat kita, ada masukan rembuk (dengan k) nasional yang diberi makna ’musyawarah pemuka-pemuka bangsa’.

Apakah rembuk nasional, maaf, summit itu membuktikan lagi bahwa bahasa Indonesia belum jadi unsur jati diri kita?

Jika pemerintah dan DPR membulatkan hati akan meningkatkan pencerdasan kehidupan kita, maka yang diperlukan ialah keteladanan pemimpin bangsa dan pemuka masyarakat: harus memberi contoh memiliki sikap menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia dan jangan memamerkan pengenalan bahasa Inggris di muka khalayak ramai.

ANTON M MOELIONO Munsyi, Guru Besar Emeritus Linguistik UI

KALATIDHA DAN TRAGEDI 1965 DI INDONESIA

KALATIDHA DAN TRAGEDI 1965 DI INDONESIA
Pengarang: Asep S. Sambodja
Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007) bercerita tentang peristiwa pembantaian massal terhadap orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terjadi pada 1965. Seno Gumira Ajidarma menggunakan perspektif orang-orang yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Karya ini menjadi penting dianalisis karena minimnya karya sastra yang mengangkat tema yang berkaitan dengan konteks sejarah 1965.
Artikel ini akan mengungkap gagasan Seno Gumira Ajidarma melalui suara-suara tokoh utamanya yang merupakan korban tragedi 1965 dengan pendekatan multikulturalisme. Gagasan pengarang yang mengemuka adalah mengenai kebangsaan; bagaimana penganiayaan dan pembantaian bisa terjadi di antara sesama warga negara Indonesia karena perbedaan ideologi politik.
Bagaimana cara Seno Gumira Ajidarma menceritakan kembali peristiwa bersejarah itu? Apa implikasinya bagi sejarah nasional Indonesia, khususnya sejarah pada 1965-1966 yang masih gelap itu? Dan, yang lebih mendasar lagi, apa fungsi novel Kalatidha bagi masyarakat pembaca Indonesia dalam hidup berbangsa dan bernegara?

Kata kunci: novel sejarah, multikulturalisme, tragedi 1965, pembantaian massal.

Pendahuluan
Katrin Bandel (2009) mengatakan bahwa sastrawan Indonesia yang mengangkat tema berkaitan dengan peristiwa 1965 relatif sedikit. Dari jumlah yang relatif sedikit itu, sebagian besar menggunakan perspektif yang sama dengan perspektif pemerintahan Orde Baru, yang selama masa kekuasaannya (1966-1998) menempatkan PKI sebagai bahaya laten dan lawan politik yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Beberapa contoh di antaranya adalah Pergolakan karya Wildan Yatim (1974), Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam (1975), trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982, 1985, 1986), dan Larung karya Ayu Utami (2001). Sementara sastrawan yang menggunakan perspektif yang berbeda dengan perspektif Orde Baru adalah Jamangilak Tak Pernah Menangis dan Mati Baik-baik, Kawan karya Martin Aleida (2004 dan 2009). Setidaknya ada dua alasan kenapa peristiwa 1965 jarang diangkat sastrawan Indonesia sebagai latar belakang cerita dalam cerpen atau novel mereka. Pertama, peristiwa bersejarah itu sengaja digelapkan oleh rezim Orde Baru, sehingga banyak sastrawan yang tidak tahu secara persis mengenai peristiwa tersebut. Kedua, dengan pengetahuan sejarah 1965 yang sangat terbatas seperti itu, sangat sedikit sastrawan Indonesia yang berani mengangkat cerita dengan latar belakang sejarah 1965.
Seno Gumira Ajidarma adalah salah satu dari sedikit sastrawan Indonesia yang berani mengangkat cerita dengan latar belakang peristiwa 1965. Meskipun Seno Gumira Ajidarma mengakui bahwa Kalatidha merupakan karya pesanan dengan bayaran yang lumayan besar, sebagaimana yang dikatakannya dalam sebuah diskusi di FIB UI pada 8 April 2008, namun setidaknya hal itu tetap memperlihatkan keberanian Seno Gumira Ajidarma untuk mengangkat kasus yang masih sensitif di negeri ini. Orang yang memesan Seno Gumira Ajidarma untuk membuat novel tersebut adalah Nugroho Suksmanto, cerpenis yang telah menerbitkan buku kumpulan cerpen Petualangan Celana Dalam (2006). Setelah membaca kedua buku tersebut, yakni Kalatidha (2007) dan Petualangan Celana Dalam (2006), saya menilai bahwa sebagian besar kerangka cerita Kalatidha bersumber dari Petualangan Celana Dalam. Hanya saja, nama-nama tokoh dan nama tempat disamarkan, sementara inti atau ruh cerita tetap dipertahankan dan diberi sentuhan khas Seno Gumira Ajidarma, di antaranya penggunaan bahasa yang puitis dan teknik kolase.
Kenapa peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) menjadi penting diangkat menjadi tema dalam karya sastra—setidaknya seperti yang tersurat dalam tulisan Katrin Bandel? Pertama, peristiwa 1965 merupakan peristiwa sejarah yang luar biasa kompleksnya dan melibatkan berbagai komponen masyarakat dan berbagai unsur dari dalam maupun luar negeri, sehingga tidak mudah untuk menentukan siapa dalang peristiwa tersebut. Kedua, masyarakat Indonesia yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut sangatlah besar; meskipun sampai sekarang tidak ada seorang sejarawan pun yang berani memastikan jumlah korban tragedi 1965, namun akibat peristiwa itu adalah munculnya sebuah komunitas masyarakat yang merasa trauma dan dendam yang belum surut-surut hingga sekarang. Komunitas itu adalah keluarga para korban dari mereka yang saat itu dibunuh, ditangkap, disiksa, dipenjara, diasingkan, dibatasi hak-hak hidupnya tanpa proses pengadilan. John Roosa (2008) mengatakan bahwa peristiwa 1965 masih menjadi misteri sampai sekarang dan tidak bisa terungkap hanya melalui sebuah buku saja. Asvi Warman Adam (2009) menilai peristiwa 1965 masih kontroversial, karena penulisan sejarah yang bersifat subjektif. Dengan demikian diperlukan suatu historiografi yang ilmiah dan objektif.
Saya menilai naiknya Presiden Soeharto pada 1 Oktober 1965 dan turunnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 selalu diwarnai dengan jatuhnya korban. Pascaperistiwa G 30 S, Pangkostrad Mayjen Soeharto mengambilalih kepemimpinan di tubuh TNI Angkatan Darat. Dan, mulai 1 Oktober 1965 hingga Maret 1966, Soeharto yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat melakukan pembasmian atau pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI .
Sementara turunnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden diwarnai kekerasan dan jatuhnya korban, terutama rakyat kecil yang hangus terbakar di mal-mal dan perempuan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang diperkosa. Dalam konteks 1998 ini, benarkah bangsa Indonesia demikian membenci Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa yang tidak lain adalah saudaranya sendiri—di bawah naungan Bhinneka Tunggal Ika? Salah satu jawabannya bisa kita temukan dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono (2002), bahwa kampanye Sinophobia atau antiTionghoa di Indonesia disponsori oleh pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris.

Dalam Setiono (2002) disebutkan bahwa pada 1966 sejumlah negara kapitalis Barat, dalam usahanya membendung pengaruh komunis dari utara yang identik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), berusaha melakukan kegiatan antiTionghoa/Tiongkok untuk mengalihkan perhatian rakyat Indonesia dari kegiatan antiimperialisme Amerika-Inggris, dengan mengatakan melalui media massa Barat seperti VOA dan BBC bahwa musuh bangsa dan rakyat Indonesia yang sesungguhnya adalah Cina yang berasal dari utara, yaitu RRT (Setiono, 2002: 951-953).
Setelah Soeharto lengser, cukup banyak buku yang mengungkap kembali peristiwa G 30 S. Untuk menyebut beberapa contoh, di bidang nonfiksi terbit buku Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia karya Asvi Warman Adam (2004), Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia (2008), Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965 karya Haryo Sasongko dan Melani Budianta (2003), dan Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa (2008). Sementara di bidang fiksi terbit buku Lubang Buaya karya Saskia Wieringa (2003) dan Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007).

Representasi Korban Tragedi 1965
Dalam Kalatidha ada tiga tokoh utama yang merepresentasikan korban tragedi 1965. Pertama, tokoh Aku, yang kakak perempuannya melarikan diri karena diberi stigma Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada masa-masa pencidukan. Kedua, tokoh Perempuan yang dianggap gila; seluruh keluarganya, termasuk saudara kembarnya, mati terbakar di dalam rumah karena ayahnya dituduh sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), underbow PKI. Ketiga, Joni Gila, yang tidak lain adalah keponakan si Aku, yang sakit jiwa karena hampir semua keluarganya tewas dibantai pada 1965.

Ada 25 bab dalam novel Kalatidha yang memiliki ketebalan 234 halaman ini. Enam bab di antaranya berisi tentang gambaran peristiwa 1965 pasca G 30 S; pembantaian massal, pencidukan orang-orang PKI, penahanan, pemerkosaan, dan penyiksaan. Seno Gumira Ajidarma menggunakan teknik penceritaan dengan sudut pandang tokoh Aku sebagai pencerita dan memberi porsi yang cukup banyak dalam novel ini kepada tokoh Perempuan yang dianggap gila dan tokoh Joni Gila. Perspektif yang digunakan Seno Gumira Ajidarma ini sangat berbeda dengan perspektif pemerintah Orde Baru, perspektif yang dianggap resmi selama ini. Dalam hal pembantaian massal, misalnya, jika dalam buku-buku sejarah yang resmi digambarkan secara hambar seperti tidak ada kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia , maka Seno Gumira Ajidarma menampilkannya dari perspektif korban yang merasakan langsung pembantaian massal itu. Joni Gila adalah contoh konkret kenapa ia menjadi gila; hampir seluruh keluarganya dibunuh pascaperistiwa G 30 S.

Kenapa Seno Gumira Ajidarma menampilkan tokoh-tokoh gila atau dianggap gila? Hilmar Farid (dalam Sambodja, 2008) mengatakan bahwa penggunaan tokoh Perempuan yang dianggap gila untuk menembus keterbatasan ekspresi dalam mengungkapkan kekerasan dan menembus keterbatasan hukum untuk mengungkap fakta. Sementara Melani Budianta (dalam Sambodja, 2008) menjelaskan bahwa tokoh perempuan kembar itu merupakan representasi dari bangsa Indonesia. Tokoh perempuan yang mati terbunuh menyimbolkan masa lalu yang penuh dengan kekerasan. Sementara perempuan yang masih hidup dan dianggap gila menyimbolkan masa kini yang masih gagap dalam melihat sejarahnya sendiri, karena tak mampu melihat kekerasan yang terjadi.

Saya menilai penggunaan tokoh gila atau dianggap gila oleh Seno Gumira Ajidarma merupakan strategi Seno Gumira Ajidarma untuk menampilkan sebuah peristiwa yang memang tidak mudah ditangkap atau dicerna oleh akal sehat manusia, bahkan oleh para pelaku Gerakan 30 September 1965 sekalipun. Dalam Soebandrio (2006), misalnya, kita bisa mengetahui bagaimana Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief yang merupakan otak dan pelaksana pembunuhan terhadap petinggi Angkatan Darat yang diklaim sebagai Dewan Jenderal merasa yakin bahwa mereka akan diselamatkan oleh Soeharto, meskipun mereka dipenjara dan diadili. Keyakinan mereka didasari pengakuan Kolonel Abdul Latief bahwa rencana pembunuhan terhadap Dewan Jenderal itu sudah diberitahukan kepada Pangkostrad Mayjen Soeharto. Tapi, kenyataannya Letkol Untung pun dihukum mati dan Kolonel Abdul Latief dihukum penjara seumur hidup.

Dalam novel tersebut, tokoh Joni Gila dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) karena dituduh telah membunuh ayahnya sendiri. Dalam tiga bab yang khusus berisi “Catatan Joni Gila” terungkap bahwa ia membunuh ayahnya karena sang ayah telah membunuh ibunya. Selain itu, dalam pengakuan tokoh Aku, terungkap bahwa Joni menjadi gila karena dampak dari peristiwa pembantaian massal yang menimpa keluarganya. “Terus terang Joni sebetulnya keponakanku sendiri, dan yang dibunuhnya masih terhitung kakak sepupuku. Karena tidak ada lagi keluarganya yang masih hidup semenjak gelombang pencidukan pada tahun 1965-1966” (Ajidarma, 2007: 206).

Sementara nasib tokoh Perempuan yang dianggap gila cukup tragis. Ketika masih berumur 10 tahun, perempuan itu melihat dengan mata kepalanya sendiri rumahnya yang dibakar massa. Di dalam rumah itu terdapat ayah, ibu, dan saudara kembarnya yang masih sakit. Rumahnya dibakar massa karena ayahnya adalah anggota Lekra yang mengajarkan lagu “Genjer-genjer”, lagu rakyat dari Banyuwangi yang dipopulerkan oleh Bing Slamet. Tentu saja sang anak yang masih kecil itu tidak bisa menerima peristiwa itu dengan akal sehatnya. Hingga menginjak usia remaja, ia sering mondar-mandir di depan rumahnya yang telah hangus terbakar—yang kemudian diperbaiki dan ditempati secara tidak sah oleh keluarga tentara. Karena sering mondar-mandir di depan rumah itu dengan pakaian dan tingkah laku yang itu-itu juga, maka perempuan itu akhirnya ditangkap dan dibawa ke RSJ.
Di RSJ itu, ia dimandikan dan ternyata menjadi perempuan yang molek. Para dokter jaga hingga dokter kepala di RSJ itu kemudian memperkosanya secara bergiliran dan terus-menerus. Seno Gumira Ajidarma tidak berhenti sampai di situ saja, sebagaimana pengakuan perempuan-perempuan korban tragedi 1965 yang terhimpun dalam Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia. Seno Gumira Ajidarma membuka ruang refleksi yang baru, bahwa perempuan korban kekerasan itu tidak bisa menerima perkosaan yang dilakukan oleh para dokter di RSJ itu. Dalam hatinya masih ada rasa dendam yang luar biasa.

Seno Gumira Ajidarma menggambarkan aksi balas dendam itu dengan memasukkan ruh perempuan yang sudah mati terbakar ke dalam tubuh perempuan yang dianggap gila itu. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia membunuh satu per satu dokter yang ada di RSJ, hingga semuanya mati, kecuali petugas bagian dapur RSJ. Selain itu, perempuan yang dianggap gila itu juga membunuh orang-orang yang dulu membakar rumahnya. Dari 257 orang yang terlibat, tidak ada satu pun yang diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. Semuanya dibunuh, kecuali satu orang yang ditunda pembunuhannya karena belum mau mengakui kesalahan yang pernah dilakukannya pada 1965 dulu. Aparat hukum yang memeriksa kasus pembunuhan berantai itu pun merasa kesulitan menangkap pelakunya, namun pada akhirnya mereka bisa memaklumi pembunuhan berantai itu setelah mengetahui latar belakang para korban.

Kemudian terhubung-hubungkan juga bahwa sejumlah korban sama-sama pernah memimpin pencidukan dari rumah ke rumah antara tahun 1965 sampai 1969. Mereka bukan politikus, bukan aktivis, bahkan juga bukan simpatisan lawan-lawan PKI melainkan sekadar orang-orang yang hanya bisa mendapatkan kesenangan dalam penderitaan orang lain. Seandainya situasi politik berlangsung sebaliknya, mereka juga akan berada di baris terdepan perusakan, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Manusia-manusia yang jika dilahirkan kembali akan jadi kecoa, kelabang, atau tikus-tikus got.
“Biarlah mereka menerima karmapala mereka,” kata para penyidik pembunuhan berantai ini, “toh mereka, seperti korban-korban yang diciduk, juga tidak akan pernah ditangkap dan diadili.”
(Kalatidha, 129-130)

Upaya Seno Gumira Ajidarma menghadirkan “luka masa lalu” berupa ruh perempuan yang mati terbakar ke masa kini, yang merasuki perempuan yang dianggap gila, memperlihatkan kegeniusan Seno Gumira Ajidarma dalam mengangkat cerita yang berlatar belakang sejarah 1965. Pembantaian massal yang merenggut nyawa antara 500.000 hingga 3.000.000 manusia itu—sampai saat ini belum ada angka pasti—tentu saja masih meninggalkan trauma dan rasa dendam. Sudah pasti rasa dendam itu masih ada pada anak cucunya yang masih hidup. Namun, dendam ini disalurkan kemana dan kepada siapa? Soeharto? Sarwo Edhie Wibowo? RPKAD? CIA? Amerika Serikat? NU? Yang pasti, belum ada usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah Indonesia untuk mengungkap peristiwa bersejarah yang masih berkabut ini. Dalam Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma secara tersirat mengungkapkan dendam yang belum berakhir.

Selain Joni Gila dan Perempuan yang dianggap gila, Seno Gumira Ajidarma juga menghadirkan cerita empat tahanan politik yang ditahan selama 14 tahun tanpa proses pengadilan. Dan, setelah mereka dibebaskan, tidak ada permintaan maaf sedikit pun dari pemerintahan Rezim Orde Baru, apalagi merehabilitasi nama baik mereka dan pemberian kompensasi. Kalau kita membaca pengakuan para perempuan yang ditahan dan disiksa dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia, maka siapa pun yang memiliki hati nurani akan berempati atau minimal simpati kepada mereka. Kita pun akan bertanya-tanya, apa salahnya menjadi anggota Lekra? Apa salahnya menjadi anggota Gerwani? Bahkan, apa salahnya menjadi anggota PKI? Bukankah setiap warga negara berhak menentukan komunitas politiknya? Parekh (2008) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memilih komunitas politiknya sendiri. Dalam konteks 1965, yang melakukan pembunuhan Dewan Jenderal di lubang buaya adalah Paspampres Cakrabirawa, namun kenapa yang menjadi korban adalah rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu, hanya gara-gara mereka berafiliasi pada PKI? Kenapa Rezim Orde Baru menggeneralisasikan semua anggota PKI sebagai penculik dan pembunuh para jenderal pada dini hari 1 Oktober 1965 (Gestok)?

Dalam Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma mengungkap kisah tragis keempat tahanan politik tersebut, termasuk seorang Paspampres Cakrabirawa yang tidak terlibat dalam penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat, namun mengalami siksaan hanya lantaran ia kenal Letkol Untung . Logikanya, bagaimana mungkin seorang anggota Paspampres Cakrabirawa tidak mengenal Letkol Untung yang saat itu menjabat sebagai Komandan Batalyon Cakrabirawa? Namun, hal itu sepertinya sangat wajar mengingat rakyat kecil yang jauh dari pusat kekuasaan saja mengalami pembantaian, apalagi orang-orang yang berada di ring satu.

Hegemoni Politik Orde Baru
Asvi Warman Adam (2009) mengatakan bahwa titik awal lahirnya pemerintahan Orde Baru adalah pada 1 Oktober 1965, karena sejak saat itulah Pangkostrad Mayjen Soeharto mengambilalih kepemimpinan Angkatan Darat dan melakukan penumpasan terhadap pelaku Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Cakrabirawa Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief—keduanya anak buah Soeharto di Kodam Diponegoro.
John Roosa (2008) mengutip pidato Presiden Soekarno dalam buku Revolusi Belum Selesai yang dihimpun Setiyono dan Triyana (2003) bahwa kejadian lubang buaya itu dinilai Presiden Soekarno sebagai rimpel in degeweldige oceaan (riak di samudera luas) dalam proses revolusioner di Indonesia. Namun, bagi Soeharto, peristiwa lubang buaya menjadi simulacrum (citra khayali) yang dikeramatkan. John Roosa (2008), juga mengutip Ariel Heryanto, bahwa rezim Soeharto mempertahankan “bahaya laten komunisme“, sehingga komunisme tidak pernah mati di era Soeharto, karena ia menempatkan dirinya dalam hubungan dialektis dengan komunisme, atau lebih tepatnya dengan citra khayali komunisme.
Sehari setelah mendapatkan Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno, Soeharto langsung mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan PKI sebagai Organisasi Terlarang. Surat bernomor 1/3/1966 itu ditandatangani Letjen Soeharto atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi pada 12 Maret 1966 (Samsudin, 2005: 261). Kemudian pada 5 Juli 1966, Ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution mengeluarkan TAP MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan, Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme (Samsudin, 2005: 265). Kedua aturan itu digunakan Soeharto sebagai “dasar hukum“ untuk melakukan pembasmian terhadap orang-orang PKI.
Kenapa Soeharto membubarkan PKI tanpa persetujuan Presiden Soekarno? Kenapa Soeharto melakukan pembantaian terhadap orang-orang PKI yang korbannya diperkirakan mencapai satu juta orang? Saya menduga inilah cara Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno. Sebagai partai politik terbesar keempat hasil Pemilu 1955, PKI menjadi salah satu partai yang sangat diperhitungkan. PKI pula yang menunjukkan kesetiaannya pada kebijakan “Nasakom” Soekarno. Dengan mengamputasi PKI, maka salah satu pondasi dan pijakan Soekarno—yakni Komunisme—menjadi hancur. Tampaknya, kehancuran PKI di Indonesia juga menjadi keinginan Amerika Serikat (Roosa, 2008: 17).

Soebandrio menyimpulkan, rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap. Tahap pertama, menyingkirkan saingannya di Angkatan Darat seperti Ahmad Yani dan lain-lain. Tahap kedua, membubarkan PKI yang merupakan rival terberat tentara sampai saat itu. Tahap ketiga, melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 menteri yang Soekarnois, termasuk Soebandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno.
(Adam, 2009: 147)

Kalatidha memang tidak membicarakan perebutan kekuasaan dari Soekarno oleh Soeharto, melainkan lebih banyak mengangkat suara-suara orang-orang kecil yang sama sekali tidak pernah terdengar atau terbaca dalam buku sejarah nasional Indonesia. Buku sejarah seringkali melupakan suara-suara orang-orang kecil seperti itu, padahal merekalah yang merasakan dampak langsung dari diberlakukannya suatu aturan yang dikeluarkan oleh elite politik. Peraturan yang diproduksi MPRS RI berupa Tap MPRS/XXV/1966 mengakibatkan darah orang-orang kecil mengalir. “Siapakah yang akan mengira betapa Pulau Jawa suatu ketika dalam sejarahnya tiada lebih dan tiada kurang menjadi ladang pembantaian terkejam dalam sejarah peradaban?” (Ajidarma, 2007: 66).
Dalam novel Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma menggunakan teknik kolase, yang menggunakan guntingan-guntingan berita koran atau kliping sebagai bagian dari cerita . Kliping koran itu dimaksudkan untuk menjadi setting waktu untuk memperkuat ide cerita. Jadi, guntingan-guntingan koran itu dihadirkan bukan tanpa fungsi sama-sekali. Dengan membaca kliping koran tersebut, dimana yang dominan adalah harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha—dua surat kabar milik militer yang tetap diperbolehkan terbit ketika peristiwa G 30 S itu terjadi, sementara koran-koran lainnya baru diperbolehkan terbit pada 6 Oktober 1965. Apa yang terjadi kemudian? Cukup banyak cerita fiktif yang termuat di surat kabar milik militer itu yang kemudian menjadi rujukan media lain dan buku-buku sejarah. Di antara cerita fiktif itu adalah adanya tarian telanjang yang dilakukan anggota Gerwani sebelum jenderal-jenderal itu dibunuh; kemudian adanya cerita bahwa penis para jenderal itu diiris-iris dan matanya dicongkel sebelum dibunuh. Tidak hanya itu, cerita fiktif yang muncul itu kemudian memprovokasi masyarakat untuk membenci—bahkan sangat membenci—PKI dan ormas-ormasnya. Visum et repertum dokter yang memeriksa jenazah para jenderal yang diungkap Ben Anderson (lihat Adam, 2009: 169) membongkar dan membalik 180 derajat cerita-cerita fiktif yang telanjur beredar di masyarakat luas itu. “Berapa lama kami semua mendapatkan pelajaran sejarah yang ternyata kini hanya bisa dibaca sebagai pelajaran cara berbohong?” (Ajidarma, 2007: 159).
Selain Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, Seno Gumira Ajidarma juga memuat guntingan berita dari Kompas dan Bintang Timur. Melalui tokoh si Aku, Seno Gumira Ajidarma menilai bahwa koran-koran yang terbit pada masa itu memang menggambarkan semangat zamannya. Masing-masing media memberitakan suatu peristiwa berdasarkan visi atau ideologi yang berada di balik masing-masing media. Sebagai contoh, harian Angkatan Bersenjata mengangkat berita-berita yang sangat anti-PKI, sementara Bintang Timur mengangkat berita-berita yang pro-Soekarno. Seno Gumira Ajidarma tampaknya sengaja menampilkan guntingan-guntingan koran yang menggunakan bahasa yang buruk, provokatif, yang selalu mengajak rakyatnya untuk berperang (hlm. 155). Hal ini bisa dimaknai bahwa surat kabar yang menggunakan bahasa yang buruk, yang isinya penuh dengan hasutan-hasutan, secara tidak langsung berdampak pada sikap barbar masyarakat pembacanya. Fakta-fakta yang ditampilkan Seno Gumira Ajidarma dalam Kalatidha secara tidak langsung memberi konteks bagi ide cerita yang hendak ditampilkan. Apalagi dalam novel itu tersurat setting peristiwa 1965.
Terlepas dari tipisnya perbedaan antara fakta dan fiksi, secara konvensional kita bisa dengan tegas mengatakan bahwa novel Lubang Buaya karya Saskia Wieringa dan Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma merupakan fiksi, meskipun keduanya berisi atau berdasarkan fakta yang pernah terjadi pada 1965. Yang jelas, karya sastra semacam itu memperlihatkan bahwa sastra bisa menjadi strategi bagi sastrawan untuk mengungkap kabut politik 1965 yang masih pekat. Dari perspektif penulisnya, yakni Saskia Wieringa dan Seno Gumira Ajidarma, keduanya telah memberikan suara yang baru dan unik terkait peristiwa 1965, yakni suara para korban tragedi 1965. Ada yang hendak disuarakan Seno Gumira Ajidarma melalui Kalatidha ini, yakni menyuarakan orang-orang yang termarginalkan, orang-orang kecil, orang-orang yang dibungkam dan ditindas; orang-orang yang tidak pernah didengar suaranya. Saya melihat, kecenderungan Seno Gumira Ajidarma dalam karya-karyanya memang sebagian besar seperti itu (Sambodja, 2007).
Dari perspektif pembaca, apalagi yang membaca kedua novel itu adalah para korban tragedi 1965, maka novel tersebut bisa dianggap sebagai sebuah media katarsis untuk mendapatkan kesempatan menjalani hidup dengan lebih baik lagi, karena trauma atau pengalaman buruk yang pernah dialaminya telah tersuarakan. Dengan demikian, diharapkan sumbangan sastrawan seperti ini dapat memberi rasa lega, karena selama ini mereka diposisikan sebagai orang-orang yang bersalah tanpa proses pengadilan dan dilarang bersuara selama Orde Baru berkuasa. Bagi pembaca lainnya, novel Kalatidha memang memaparkan luka-luka masa lalu, namun sangat jelas terbaca pesan Seno Gumira Ajidarma bahwa sejarah masa lalu harus terus dipelajari agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

Penutup
Dari uraian di atas, terbaca bahwa sastra memiliki fungsi yang sangat strategis bagi masyarakat pembacanya. Dalam rumusannya yang sederhana, Horatius pernah mengemukakan bahwa fungsi karya sastra adalah dulce et utile, menghibur dan memberi kegunaan. Novel Kalatidha diciptakan Seno Gumira Ajidarma bukan semata-mata untuk menghibur pembacanya, malah terasa bahwa Kalatidha sama sekali tidak menghibur pembacanya, melainkan ada suatu pesan yang ingin disampaikan Seno Gumira Ajidarma, meskipun pembuatan Kalatidha itu berawal dari pesanan seseorang, yakni Nugroho Suksmanto.
Fungsi strategis yang saya maksudkan adalah bahwa karya sastra bisa digunakan atau dimanfaatkan sebagai media untuk mengungkap fakta. Dalam hal ini, fakta yang ingin diungkap Seno Gumira Ajidarma adalah fakta yang berkaitan dengan peristiwa 1965. Hanya saja, fakta yang ditampilkan bukanlah elite-elite politik yang hampir setiap hari mengisi halaman surat kabar, melainkan orang-orang kecil, wong cilik, yang merasakan dampak langsung diberlakukannya suatu aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau penguasa, namun sering tidak tercatat dalam buku-buku sejarah.
Fakta-fakta yang berkaitan dengan elite-elite politik tetap ditampilkan Seno Gumira Ajidarma melalui guntingan-guntingan berita yang disatukan dengan alur cerita. Sementara suara-suara korban tragedi 1965 itu mendapat porsi yang lebih besar dibandingkan cerita mengenai para politikus dan tentara. Terkadang terbaca dalam bab-bab novel Kalatidha ada yang hanya berupa gerutu yang mirip prosa liris, yang berisi kegundahan hati tokoh-tokohnya. Saya menangkapnya sebagai ruang yang diberikan Seno Gumira Ajidarma bagi pembaca untuk melakukan refleksi. Atau, bisa juga ditafsirkan bahwa suara-suara liris itu merupakan hasil perenungan Seno Gumira Ajidarma sendiri.
Kalatidha mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali peristiwa 1965, terutama dari perspektif korban tragedi tersebut. Kalau menggunakan perspektif penguasa, maka yang terbaca adalah pernyataan-pernyataan yang hambar dan terasa kering, seperti tidak adanya nurani dalam teks-teks resmi seperti yang saya kutip dalam catatan akhir. Kalau kita menggunakan perspektif yang disarankan Seno Gumira Ajidarma melalui Kalatidha, maka kita selalu diajak untuk senantiasa bersikap arif dalam menyikapi sesuatu.
Kebenaran yang selalu diteriakkan rezim Orde Baru rontok dengan sendirinya bersamaan dengan diungkapkannya bukti-bukti baru yang dibeberkan setelah Jenderal Besar Soeharto lengser dari kursi kekuasaannya. Tangannya yang berdarah-darah tampak bersih karena buku sejarah yang boleh dibaca di sekolah-sekolah sama sekali tidak ada adegan kekerasan. Setelah Soeharto lengser dan setelah para korban memberikan pengakuan, maka kebenaran baru pun terkuak. Siapa yang bisa menyembuhkan luka bangsa Indonesia pada 1965? Di sinilah saya menilai arti penting hadirnya novel Kalatidha dan novel-novel yang mengangkat peristiwa-peristiwa penting semacam ini. Jika buku sejarah menampilkan fakta-fakta belaka, maka karya sastra bisa menyempurnakannya dengan memberikannya ruh; dimana perasaan dan pikiran korban atau pelaku peristiwa tersebut bisa dimunculkan—meskipun kemunculannya direkayasa karena tidak bisa menghadirkan perasaan dan pikiran masa lalu secara pasti. Buku ini, sekali lagi, memberi pesan kepada pembacanya tentang luka dan kesalahan yang terjadi di masa lalu, agar kita yang hidup di masa kini tidak mengulangi kesalahan itu.

Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas.
Ajidarma, Seno Gumira. 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta; Bentang.
_____. 2007. Kalatidha. Jakarta: Gramedia.
_____. 2008. “Catatan Kaki atas Pelajaran Sejarah (1993)” dalam Budi Susanto (ed.). Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Bandel, Katrin. 2009. “Martin Aleida dan Sejarah”, dalam Boemipoetra, Edisi Maret-April.
Cribb, Robert. 2005. “Tragedi 1965-1966 di Indonesia,” dalam Christine Clark et.al. Di Ujung Kelopak Daunnya Tetap Ada Airmata. Yogyakarta: Buku Baik.
Foucault, Michel. 1997. Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan. Terj. Rahayu S. Hidayat. Jakarta: Gramedia.
Nadia, Ita F. 2008. Suara Perempuan Korban Tragedi 65. Yogyakarta: Galang Press.
Notosusanto, Nugroho dan Ismail Saleh. 2008. Cet. IV. Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia. Jakarta: Intermasa.
Parekh, Bhikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Terj. Bambang Kukuh Adi. Yogyakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Terj. Hersri Setiawan. Jakarta: Hasta Mitra.
Sambodja, Asep. 2007. “Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita”, dalam Amin Sweeney et.al. Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra. Jakarta: HISKI dan Desantara.
_____. 2008. “Peta Politik Sastra Indonesia (1908-2008)”, dalam Anwar Efendi (ed.). Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: UNY dan Tiara Wacana.
Samsudin. 2005. Mengapa G 30 S/PKI Gagal? Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.
Soebandrio. 2006. Yang Saya Alami Peristiwa G30S. Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera.
Suksmanto, Nugroho. 2006. Petualangan Celana Dalam. Jakarta: Gramedia.
Wieringa, Saskia. 2003. Lubang Buaya. Terj. Tatiana Utomo. Jakarta: Metafor Publishing.

Catatan Akhir

Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007) merupakan novel yang mengangkat peristiwa pembantaian yang terjadi pasca G 30 S 1965. Dalam diskusi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) pada Selasa, 8 April 2008, Seno Gumira Ajidarma mengakui bahwa novel Kalatidha yang ditulisnya merupakan novel pesanan, yakni pesanan dari seorang sastrawan bernama Nugroho Suksmanto, yang menulis kumpulan cerpen Petualangan Celana Dalam yang terbit pada 2006.
Saya mencoba menelusuri pengakuan Seno Gumira Ajidarma tersebut dan berusaha mencari tahu siapa Nugroho Suksmanto itu dan mencoba membaca cerpen-cerpennya dalam Petualangan Celana Dalam. Yang saya temukan ternyata cukup mencengangkan: tokoh-tokoh penting yang di dalam Kalatidha tidak diberi nama oleh Seno Gumira Ajidarma ternyata memiliki nama dalam Petualangan Celana Dalam karya Nugroho Suksmanto. Jadi, tidak heran, bila ada kesamaan antara sebagian cerita dalam Kalatidha dengan cerpen-cerpen Nugroho Suksmanto. Seno Gumira Ajidarma juga menulis bahwa novel Kalatidha ini berdasarkan ide cerita Nugroho Suksmanto.
Berikut ini saya paparkan tokoh-tokoh yang tidak bernama dalam Kalatidha dengan tokoh-tokoh dalam Petualangan Celana Dalam—yang memiliki kesamaan peran. Dengan demikian, nama-nama yang masih misterius dalam Kalatidha menjadi kian “nyata”.

Tokoh Aku
Aku tidak pernah sampai kepada persoalan seperti ini jika bukan karena peristiwa yang akan kuceritakan seperti berikut—dan bersama itu kuperkenalkan sebagian dari diriku.
Di barat daya kota S terdapatlah daerah P. Nama ini berasal dari kata F, tuan tanah Belanda penguasa wilayah itu di masa lalu. Di seberang P terdapat hamparan ladang pertanian, di antara P dan ladang itu terdapatlah M, wilayah yang dimaksudkan sebagai pembatas nan rapi, tetapi setelah ditinggalkan Belanda menjadi daerah takbertuan. Ke wilayah itulah berdatangan para pendatang dan berubahlah M yang berkelok memanjang itu menjadi pemukiman padat takterkendali.
Semasa kecil aku tinggal di P dan sungai yang memisahkan P dari M menjadi wilayah pengembaraanku. Sebenarnya ada dua sungai di P. Sungai pembatas yang baru saja kusebut dan sungai lain yang lebih sempit tapi jauh lebih jernih airnya. Mula-mula kedua kali itu sejajar, tetapi mulai dari rumah yang kutinggali, kedua kali itu seperti saling menjauh. Kemudian aku sering melihatnya sebagai perlambang, betapa para priyayi P yang merasa derajatnya lebih tinggi memang berusaha menjauhi para pemukim kelas bawah di M.
(Kalatidha, 9-10)

Semasa kanak-kanak aku tinggal di Pendrikan. Pendrikan, berasal dari Fendrijk, nama tuan tanah Belanda, penguasa wilayah barat daya Kota Semarang. Sebelahnya, di wilayah penyangga yang memisahkan keramaian dengan hamparan ladang pertanian, terdapat kawasan permukiman. Arealnya berkelok memanjang. Mereka menyebutnya sebagai Kampung Magersari. Setelah Belanda hengkang dan daerah itu menjadi tak bertuan, lahan-lahannya diserbu pendatang yang semula menggantungkan hidup melayani warga Pendrikan.
Keadaan ekonomi Magersari sangat memprihatinkan. Nama yang sebenarnya berarti pembatas apik, berkembang menjadi daerah padat tidak terkendali. Batas tegas antara Pendrikan dan Magersari berupa sebuah kali. Kali itu mengalir ke laut melewati kawasan setengah persawahan, Ngemplak. Kali yang dipenuhi ikan itu juga menjadi habitat binatang-binatang liar.
Masuk ke wilayah Pendrikan, lewat Cela-Celu, sejajar dan berdekatan dengan kali itu, juga melintas kali yang berair lebih jernih, sedikit lebih sempit tetapi diturap rapi. Berawal dari rumah yang kutinggali, dua kali itu merentang saling menjauh, seolah-olah menggambarkan keengganan kalangan priayi Pendrikan yang merasa berderajat lebih tinggi bergaul dengan masyarakat kelas rendah penghuni Kampung Magersari.
(Petualangan Celana Dalam, 1-2)

Nugroho Suksmanto lahir di Semarang, 12 November 1952 di perbatasan kawasan Pendrikan dan Kampung Magersari.
(Petualangan Celana Dalam, cover belakang)

Tokoh Perempuan yang Dianggap Gila
Pulang sekolah kulihat orang-orang mengepung sebuah rumah yang terbakar. Orang-orang berteriak.
“PKI! Keluar!”
Aku terkesiap. Aku sangat mengenal para penghuni rumah itu, setidaknya dua penghuninya, yakni sepasang gadis kembar seumurku—salah seorang dari mereka diam-diam kucintai.
Mereka tidak bersekolah di tempat yang sama denganku, jadi memang tidak dikatakan kami saling mengenal karena mereka bahkan kukira taktahu namaku. Karena aku menaruh hati kepada salah satu dari mereka, aku menjadi sangat mengenalnya karena selalu mengikuti gerak-gerik mereka.
(Kalatidha, 24-25)

Saat hendak menyeberang Jalan Imam Bonjol, rombongan siswa-siswi SMP Masehi berjalan bergegas. Ternyata mereka dipulangkan lebih awal juga. Satu di antaranya menarik perhatianku. Bocah perempuan seusiaku. Mungil dan cantik. Dia terlihat cemas, berjalan berselempang tas sekolah, berupa kain tebal berwarna merah. Di sudut atasnya ada taburan bintang, kecil-kecil berwarna kuning. Dalam kecemasan, dia terlihat lebih manis. Eh ternyata Menik, temanku sewaktu di TK.
“Kok sendirian Nik, di mana Menuk?” kusapa dia.
“Di rumah, sedang sakit,” dia memberitahukan keberadaan saudara kembarnya. Kubelokkan arah menuju Mangkunegaran, tempat dia tinggal, dan berjalan menemaninya. Walaupun agak memutar, aku merasa lebih ringan melangkah, berdampingan dengan gadis secantik dia.
Sebuah perasaan ingar selalu muncul saat berada di dekatnya. Sejak dulu. Apakah itu tanda cinta? Aku tidak tahu. Yang jelas aku merasa senang dan bergairah saat bersamanya. Tetapi tidak demikian dengan dia yang sedang murung dan cemas. Apalagi saat menatap langit rumahnya. Kecemasannya makin menjadi tatkala asap kecil menyembul dari arah tempat dia tinggal. Karena itu dalam perjalanan tak banyak yang kupercakapkan.
(Petualangan Celana Dalam, 11-12)

Empat Tahanan Politik
Stasiun itu kini sudah sepi. Tinggal empat orang termangu-mangu. Empat manusia yang telah diciduk empat belas tahun lalu. Mereka saling berpandangan. Tidak seorang pun sanak saudara menjemput mereka. Telah mereka saksikan ratap tangis dan peluk cium dari orang-orang yang berbahagia setelah mengalami perpisahan dan penderitaan yang panjang. Namun setelah empatbelas tahun pergulatan—apakah lagi yang membuat mereka lebih menderita?
(Kalatidha, 61)

Pramoedya telah bertemu istrinya. Hasyim Rachman berangkulan dengan anak-anaknya. Mertua perempuanku telah bergandengan tangan dengan kedua kakaknya. Tetapi Syafrudin, Nurdin, Alex, dan Suryadi tidak dijemput siapa-siapa. Artinya mereka harus diamankan lagi di Lembaga Pemasyarakatan karena tidak diperbolehkan berkeliaran tanpa seseorang memberikan tumpangan.
(Petualangan Celana Dalam, 80)

Tanpa bermaksud mendikte dan mempengaruhi pembaca, saya ingin mengatakan bahwa tokoh Aku bisa jadi adalah Nugroho Suksmanto, sang pemesan dibuatnya novel Kalatidha—hanya saja dalam novel ini dibumbui dengan identitas sebagai “tukang kibul”. Sementara tokoh Perempuan yang dianggap gila bernama Menik, dan saudaranya yang mati terbakar bernama Menuk. Lalu, anggota Paspampres Cakrabirawa yang ditangkap dan disiksa bernama Suryadi. Nama-nama desa yang menjadi setting cerita ini adalah Pendrikan dan Magersari, di dekat kota Semarang. Penjelasan nama-nama ini semata-mata untuk mengganti rasa “penasaran” saya ketika membaca Kalatidha. Dan, saya sendiri lebih merasa nikmat kalau tokoh-tokoh dalam Kalatidha itu memiliki nama seperti dalam Petualangan Celana Dalam. Meskipun demikian, secara keseluruhan novel Kalatidha tetap menarik.

Pada bulan Oktober 1965, pembunuhan dimulai. Kekerasan terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan PKI terjadi di seluruh daerah, tetapi pembunuhan massal yang terburuk terjadi di Jawa dan Bali. Konflik di Jawa Timur antara PKI dan NU yang telah dimulai pada 1963 berubah menjadi pembunuhan massal secara menyeluruh yang dimulai dari minggu kedua bulan Oktober 1965. Pada pertengahan bulan Oktober, Soeharto mengirim satuan-satuan prajurit penyerang yang terpercaya ke Jawa Tengah; dia memerintahkan para pasukan yang kurang setia untuk keluar dari Jawa Tengah. Mereka memilih untuk mematuhi perintah tersebut daripada melawan prajurit penyerang. Pembunuhan massal anti-PKI mulai dilakukan di sana, bersama tentara yang membantu para pemuda menemukan para komunis. Di Bali, tanpa keterlibatan kekuatan Islam, tuan tanah PNI yang berkasta tinggi memimpin dalam mendorong pembasmian anggota PKI. Pucuk pimpinan nasional PKI juga ditemukan dan dibunuh. Njoto tertembak kira-kira pada 6 November dan Aidit pada 22 November; Lukman juga segera tewas setelahnya.
(Ricklefs, 2005: 565)

Pembunuhan berakhir pada bulan-bulan pertama 1966, meninggalkan korban kematian yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti. Sebagian besar ahli memperkirakan setidaknya setengah juta orang tewas, tetapi tak ada seorang pun yang benar-benar tahu, karena tak seorang pun menghitungnya. Dalam sejarahnya, Indonesia belum pernah menyaksikan pembunuhan massal yang merenggut korban sebegitu besar. Pembunuhan ini meninggalkan bekas yang begitu dalam dan tak terlupakan bagi banyak rakyat Indonesia. Sebagian merasa bangga bisa membantu membasmi PKI. Namun, sebagian lainnya merasa bahwa pembunuhan massal ini merupakan peristiwa paling memalukan dan tak bisa dimaafkan, sebuah tindakan kegilaan kolektif. Banyak orang ditahan, diinterogasi (sering di bawah siksaan), dan ditahan tanpa pemeriksaan pengadilan. Jumlah orang yang diperlakukan seperti ini juga tidak diketahui pasti. Mungkin, satu dekade setelah kejadian yang mengerikan pada tahun 1965-1966, sebanyak 100.000 orang masih dipenjara tanpa pemeriksaan pengadilan.
(Ricklefs, 2005: 566-567)

Saya ingin memperjelas bagaimana pembantaian massal digambarkan secara “dingin” di dalam buku-buku pelajaran sejarah yang digunakan di sekolah-sekolah.

Gerakan operasi penumpasan G-30-S/PKI di daerah-daerah lain di luar Jakarta dan Jawa Tengah, cukup dilakukan dengan gerakan operasi teritorial yang antara lain mengadakan penangkapan-penangkapan tokoh-tokoh orpol dan ormas PKI, karena di daerah-daerah tersebut pendukung-pendukung G-30-S/PKI tidak sempat mengadakan gerakan perebutan kekuasaan. Hanya di daerah Jawa Timur dan Bali timbul kekacauan culik-menculik dan pembunuhan-pembunuhan, yang dalam waktu yang singkat berhasil ditertibkan kembali.
(Poesponegoro dan Notosusanto, 1984: 403-404)

Ada beberapa sebab mengapa peristiwa-peristiwa yang perlu disesalkan itu sampai terjadi. Sudah lumrah dalam cerita sejarah, bahwa seorang ahli sejarah perlu bersikap selektif dalam mencari sebab/alasan bagi suatu peristiwa tertentu. Namun yang pasti: pertumpahan darah antarwarga di masyarakat itu berkaitan langsung dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau. Di daerah-daerah tempat PKI sangat aktif dengan “tindakan-tindakannya yang sepihak”, seperti di Boyolali, Jawa Tengah, di bagian selatan Jawa Timur, Bali, dan bagian tenggara Sumatera Utara, bentrokan-bentrokan sebagai buntut percobaan kup 1 Oktober 1965, adalah yang paling serius. Ingatan kita kepada peristiwa berdarah Pemberontakan Madiun timbul kembali dengan perasaan marah meluap.
(Notosusanto dan Saleh, 2008: 61)

Aku mendekati mereka, kutawarkan penampungan di rumahku. Di sanalah mereka bercerita.
“Saya tidak tahu apa-apa sebenarnya soal Gestapu. Saya memang anggota Cakrabirawa dan kenal Untung—tapi apa salahnya kalau saya kenal Untung? Hampir setiap hari sebelum diberangkatkan ke Pulau Buru saya disiksa dan disuruh mengaku. Saya tidak tahu harus mengaku apa dan kalaupun tahu kenapa saya harus mengaku? Katanya saya mengetahui rencana penculikan dan pembunuhan para jenderal. Tentu saja saya tidak tahu. Setiap hari punggung saya ditetesi lelehan ban sepeda yang dibakar. Jangan ditanya seperti apa rasanya. Sebagai anggota pasukan pengawal istana, saya bukan tidak dilatih untuk menahan penderitaan, yang saya tidak mengerti bagaimana orang-orang militer ini tahu betul berbagai cara penyiksaan.
“Mereka tidak pernah berhasil membuat saya mengaku ataupun pura-pura mengaku. Dua sampai empat orang setiap hari menyiksa sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Suatu kali masing-masing sepasang tangan dan kaki saya ditindih empat kaki meja, dengan empat orang dewasa duduk ongkang-ongkang di atasnya. Saya tidak bisa mengakui ataupun pura-pura mengaku. Dari saat ke saat saya berjuang mengatasi penderitaan. Usaha bertahan dari rasa sakit menantang kemampuan saya. Dalam kesatuan saya, pasukan pengawal istana, saya termasuk orang pilihan. Sayalah yang harus selalu mempertontonkan kemahiran, bagaimana empat pisau yang ujungnya dijepit lima jari saya menancap pada sasaran dalam sekali lemparan. Tapi tangan itu kini ditindih meja dengan empat serdadu pengecut di atasnya. Saya juga tentara, tapi saya tidak akan pernah menyiksa.
“Karena segala siksaan tak kan bisa membuka mulut saya, mereka gunakan lain cara yang tidak pernah saya bayangkan ada. Saya masih ditindih ketika pengecut lain datang membawa seorang tahanan wanita. Ia sedang hamil dan katanya ia Gerwani. Saya harus melihat bagaimana ia ditelanjangi dan kakinya dibuka paksa, agar sangkur pada bayonet bisa dimasukkan ke kemaluannya. Saya lihat sangkur itu sudah berdarah ketika darah saya naik dan suatu kekuatan luar biasa mendadak merasuki saya, meja itu berhasil saya balik dan menyungkurkan empat pengecut yang sejak tadi ongkang-ongkang sambil tertawa-tawa.
“Saya berdiri dan meninju pemegang bayonet itu sampai pingsan. Wanita malang itu sudah sejak tadi pingsan. Saya kemudian tak tahu apa yang terjadi karena sebuah pentungan dari belakang juga membuat saya pingsan…
“Ketika mata saya terbuka, kepala saya sangat pening dan dunia serasa gelap. Ternyata saya dijebloskan ke dalam sel isolasi. Setelah beberapa saat saya terbiasa dengan kegelapan dan ternyata ada lubang kecil yang bukan hanya akan memberi cahaya. Selama sebulan saya disekap di sel isolasi itu, kadang diberi makan dan kadang tidak, tetapi dari lubang kecil itulah kawan-kawan tahanan menyelundupkan makanan.
“Saya dianggap gembong. Padahal sungguh mati tidak tahu apa-apa. Hanya karena kenal baik dengan Untung. Para interogator tidak pernah mau peduli bahwa kenal Untung itu tidak berarti tahu seluruh rencananya pada malam 30 September 1965 itu. Saya memang seorang komandan, dalam setiap tingkatan saya menjadi komandan, tapi saya ini hanya korban—tanpa seorang pun yang barangkali sungguh-sungguh berniat mengorbankan saya…”
(Kalatidha, 62-64)

Dalam artikel “Catatan Kaki atas Pelajaran Sejarah (1993)” yang dimuat dalam buku Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia yang disunting Budi Susanto (2008), Seno Gumira Ajidarma menganggap perbedaan fakta dengan fiksi sudah tidak penting lagi, karena fakta dan fiksi itu mengacu pada gagasan yang sama. Beberapa cerpen Seno Gumira Ajidarma memang berangkat dari fakta. Selain cerpen “Pelajaran Sejarah” yang mengacu pada Insiden Dili 12 November 1991, suatu peristiwa pembantaian orang-orang tidak bersenjata di Timor Timur oleh militer Indonesia, ia juga menulis cerpen “Clara” yang dibukukan dalam Iblis Tidak Pernah Mati (1999), yang mengacu pada kasus perkosaan terhadap gadis Tionghoa dalam huru-hara 13-14 Mei 1998.
Bagaimana fakta hadir dalam cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma? Sejatinya hadir begitu saja tanpa perubahan yang berarti; malah dapat dikatakan sama persis. Mari kita perhatikan kutipan berita yang berupa fakta di Majalah Jakarta-Jakarta no. 288, 4-10 Januari 1992, halaman 97 dengan kutipan cerpen “Pelajaran Sejarah” yang berupa fiksi.

Fakta:
Saat penembakan mereka dibagi dalam dua barisan. Barisan pertama di depan dan barisan kedua berada di belakang. Komandannya tembak sekali ke atas sambil berteriak, “Depan tidur, belakang tembak!” Pada saat yang belakang menembak, yang depan merangsek masuk ke demonstran dan menusukkan sangkurnya ke semua orang. Dan saya hanya berlari-lari tidak tentu arah, karena di sekitar saya, orang-orang berjatuhan begitu saja kena tembak, seperti di film.

Fiksi:
Guru Alfonso belum lupa peristiwa itu. Bagaimana lupa? Saat penembakan mereka dibagi dalam dua barisan. Barisan pertama di depan dan barisan kedua di belakang. Komandannya menembak sekali ke atas, sambil berteriak, “Depan tidur belakang tembak!” Setelah yang belakang menembak, yang depan merangsek dan menusukkan sangkurnya ke semua orang. Guru Alfonso belum lupa, ia hanya berlari-lari tidak tentu arah, karena orang-orang berjatuhan begitu saja, bergelimpangan….

Nyaris tidak ada perbedaan antara fakta dan fiksi. Jika fakta yang dimuat di majalah Jakarta Jakarta itu dituturkan oleh seorang saksi mata, maka fiksi dalam cerpen “Pelajaran Sejarah” itu merupakan tokoh ciptaan Seno Gumira Ajidarma sendiri, Guru Alfonso. Cara Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen ataupun novel, cara Seno Gumira Ajidarma mengangkat fakta ke dalam fiksi, dan caranya mengemas fakta sehingga tidak verbal dan tetap enak dinikmati sebagai sebuah fiksi, sungguh luar biasa. Fakta dan fiksi tampaknya sudah menyatu dalam diri Seno Gumira Ajidarma.

(Sumber: Makalah KIK HISKI XX 2009, Bandung,5--7 Agustus 2009)

SASTRA ANAK DALAM KURIKULUM SEKOLAH DASAR: MENEGOSIASIKAN IDENTITAS NASIONAL INDONESIA

SASTRA ANAK DALAM KURIKULUM SEKOLAH DASAR: MENEGOSIASIKAN IDENTITAS NASIONAL INDONESIA
Pengarang: Clara Evi Citraningtyas
ABSTRAKDipilihnya suatu cerita untuk dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, mencerminkan sebuah restu yang diberikan bagi cerita tersebut, untuk bisa mewakili menegosiasikan sebuah identitas bangsa kepada anak bangsa. Sebuah cerita, terutama cerita yang dipilih untuk kurikulum sekolah, tidak pernah murni merupakan penceritaan kembali dari cerita aslinya. Cerita versi buku sekolah adalah subjek dari metanaratif pada kurun waktu tertentu, rezim, dan kekuasaan tertentu yang telah disesuaikan isinya untuk menyuarakan ideologi bangsa. Makalah ini membahas cerita naratif yang terpilih untuk dimasukkan ke dalam buku pegangan Sekolah Dasar di Indonesia. Nilai-nilai bangsa apa yang dinegosiasikan lewat cerita-cerita tersebut? Kata Kunci: Peraturan Pemerintah tentang buku pelajaran, buku pelajaran Bahasa Indonesia, cerita anak, identitas nasional.PendahuluanPantaleo (2001) dan Johnston (2000, 2001) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan medium utama untuk menegosiasikan identitas sebuah bangsa. Oleh karenanya, lewat cerita anak pula identitas nasional dan budaya suatu bangsa dinegosiasikan. Mottier (1999) juga menyebutkan bahwa sejak 150 tahun yang lalu di Swiss, cerita naratif berperan dalam pembentukan kesatuan dan identitas nasional. Bagi anak-anak, ruang kelas adalah tempat dimana negosiasi akan identitas ini dimulai. Dalam History of Ideas Vol. 1 disebutkan bahwa pembentukan identitas Amerika juga dimulai dari kurikulum sekolah. Sebelum dimulainya gerakan ”Amerikanisasi” pada tahun 1915, para pendidik telah mulai memikirkan mengadopsi kurikulum tertentu yang ditujukan untuk meng- ”Amerikanisasi” para imigran. Sepanjang sejarah, identitas dibentuk dan direkonstruksi serta ditransformasikan melalui institusi-institusi semacam sekolah. Berkaitan dengan pemilihan cerita bagi kurikulum sekolah, Apple (1986) menegaskan bahwa budaya dan agenda penguasa atau pemerintah yang menentukan cerita apa yang dianggap penting untuk disampaikan dalam setting sekolah. Pensosialisasian budaya dan agenda tersebut terjadi di sekolah. Sekolah telah menjadi sebuah tempat yang diinstutisionalkan, yang didesain khusus untuk mendidik anak. Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mengajarkan sikap dan pandangan tertentu yang dianggap penting bagi masyarakat, budaya, dan bangsa. Citraningtyas (2004) menemukan sedikitnya tiga perbedaan yang mendasar pada cerita rakyat Malin Kundang yang dikemas untuk buku pegangan Sekolah Dasar kurikulum 1994, bila dibandingkan dengan cerita rakyat yang sama yang beredar di pasaran. Versi Malin Kundang yang digunakan dalam buku Sekolah Dasar diberi judul Malin Kundang Si Anak Durhaka. Modifikasi judul ini mempunyai dampak yang kuat, karena akan mengkatifkan schemata yang berbeda. Dengan didasarkan pada berbagai macam skemata, seseorang bisa melakukan penilaian terhadap seseorang, dalam hal ini si Malin. Namun dengan penambahan ”Si Anak Durhaka”, kebebasan untuk memberi penilaian ini menjadi hilang karena telah diambil alih oleh teks itu sendiri. Siswa tidak lagi mendapat kesempatan lain kecuali untuk mengaktifkan schemata bahwa Malin adalah anak durhaka. Versi Malin Kundang yang dikemas untuk Sekolah Dasar juga melibatkan Tuhan dalam mengutuk Malin. Bahkan ibu Malin tidak menyebutkan bahwa ia mengutuk Malin menjadi batu. Melainkan, sang ibu hanya memohon kepada Tuhan agar menghukum Malin, dan Malin menjadi batu. Hukuman seolah-olah berasal langsung dari Tuhan, dan ini memperkuat fungsi cerita ini dalam mengontrol tingkah laku anak. Selanjutnya, versi Malin Kundang dalam buku Sekolah Dasar menampilkan sang ibu yang tidak berdaya. Sebelum merantau, Malin adalah tulang punggung keluarga yang merawat sang ibu yang selalu sakit-sakitan. Perubahan peran Malin dan sang ibu pada versi ini mencerminkan pengakuan peran gender pada bangsa ini. Meskipun harus tetap dihormati, sang ibu tidak dalam posisi sebagai pencari nafkah utama.Perbedaan mendasar ini menegaskan bahwa cerita yang diberikan di sekolah, berbeda dengan cerita yang tersedia secara bebas di luar sekolah. Cerita versi sekolah digunakan untuk menegosiasikan dan membentuk siswa menjadi warga negara Indonesia sejati. Siswa belajar untuk menerima nilai-nilai tersebut dan kemudian membawa nilai-nilai tersebut ketika mereka menjadi anggota masyarakat. Seperti yang terjadi di banyak negara lain, pemakaian buku pelajaran sekolah di Indonesia juga diatur oleh pemerintah. Dalam hal ini, peraturan terbaru yang mengatur tentang pemakaian dan pengadaan buku pelajaran sekolah adalah Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Pada pasal 1 peraturan tersebut dikatakan:Buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.Dengan adanya peraturan Mendiknas seperti tersebut di atas, jelaslah bahwa buku pelajaran sekolah di Indonesia bukanlah buku yang kebetulan dipilih oleh sekolah maupun guru. Buku pelajaran sekolah adalah buku yang telah dirancang sedemikian rupa sehingga materi, isi, pesan serta formatnya telah memenuhi persyaratan yang dicanangkan oleh pemerintah.Buku apa yang dipergunakan pada pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar di Indonesia, dan cerita apa yang disediakan untuk dibaca oleh anak Indonesia di sekolah mencerminkan nilai-nilai yang direstui oleh bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, pemilihan buku pelajaran dan cerita yang tercantum di dalamnya tidak pernah merupakan suatu kebetulan. Perlu diteliti agenda apa yang dicanangkan pemerintah sehingga menyetujui penggunaan buku-buku dan cerita-cerita tersebut.Makalah ini bertujuan untuk mendata jenis cerita yang direstui oleh negara untuk dimasukkan ke dalam buku acuan pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar dalam kurikulum nasional yang terbaru. Kemudian dilakukan analisis terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam cerita-cerita terpilih tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut dianalisis untuk menentukan kaitannya dalam pembentukan identitas bangsa Indonesia. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar kelas 1 – 6 yang beredar di pasaran. Buku yang dipilih adalah yang sesuai dengan Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran, dan yang isinya sesuai dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan 2006. Buku-buku tersebut ditandai dengan label ”KTSP 2006”, merupakan buku teks, dan bukan buku kumpulan soal. Buku-buku yang dipakai dalam penelitian ini adalah buku-buku terbitan Tiga Serangkai, Yudhistira, Erlangga, Grasindo, dan ESIS.Dari hasil pengamatan peneliti, tercatat ada 505 cerita, puisi dan drama yang terdapat dalam buku pegangan Bahasa Indonesia yang diteliti. Jumlah ini termasuk cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah cerita dalam program kurikulum sebelumnya. Hal ini menggembirakan, karena setidaknya, siswa Sekolah Dasar di Indonesia, mendapat eksposisi yang baik terhadap cerita, puisi dan drama. Namun kita tidak boleh terlalu bergembira sehingga kita terlena olehnya. Meskipun dari segi jumlah, eksposisi terhadap cerita anak sudah cukup menggembirakan, perlakuan terhadap cerita tersebut, masih tidak mendorong anak untuk mencintai sastra. Misalnya saja, siswa kelas 1 SD diminta untuk mengisi titik-titik dalam puisi; dan siswa kelas 5 SD diminta untuk menulis puisi sesuai contoh.Genre Cerita Anak dalam KurikulumSeperti juga karya sastra untuk kaum dewasa, karya sastra untuk anak juga dibagi dalam berbagai genre. Genre sastra anak antara lain adalah: fantasi, cerita tradisional, cerita realisme, fiksi ilmiah (science fiction), cerita non-fiksi, puisi. Cerita-cerita anak yang terdapat dalam buku teks sekolah yang diteliti, dapat dibagi dalam lima genre. Cerita-cerita tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:1. Cerita Tradisional (Fabel dan Cerita Rakyat)2. Cerita Rekaan Anak3. Cerita Real4. Puisi5. DramaJenis cerita tradisional yang terdapat dalam buku teks sekolah dasar yang diteliti adalah jenis Fabel dan Cerita Rakyat. Kedua jenis cerita ini memiliki banyak kemiripan dalam hal penokohan, latar dan tema. Pada uimumnya penokohan dalam fabel dan cerita rakyat bersifat ‘datar (flat)’ atau memiliki satu sifat atau karakteristik yang datar dan tidak berubah sampai akhir cerita. Tokoh yang baik dan tokoh yang jahat sangat mudah diidentifikasi. Dari fabel dan cerita rakyat, kita juga mengenal berbagai stereotipe tokoh. Misalnya, tokoh ibu tiri yang selalu jahat dan buruk rupa, kancil yang senantiasa cerdik, putri raja yang cantik jelita, dan pangeran yang gagah perkasa.Latar cerita rakyat dan fabel merupakan latar ’backdrop’, yang artinya bahwa alur cerita ini tidak akan berubah seandainya latar cerita berubah. Oleh karena itu, suatu cerita berlatar backdrop bersifat fleksibel, luwes, tidak terpaku pada satu masa dan tempat. Baik latar waktu maupun latar tempat dalam fabel dan cerita rakyat biasanya berupa latar backdrop: ”Pada suatu hari.......”, ”Pada suatu masa......”, ”Once upon a time......”. Cerita yang berlatar backdrop seperti ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.Tema dalam fabel dan cerita rakyat, sama-sama bersifat didaktis. Fabel, yang menggunakan tokoh binatang, merupakan cerita yang secara jelas mengajarkan moral. Moral cerita tersebut biasanya dinyatakan secara jelas, seperti misalnya dalam fabel berjudul Bangau yang Serakah, atau Tidak Membalas Budi ditulis ”siapa bersalah harus mendapat hukuman” pada akhir cerita. Pesan moral sangat jelas terbaca dari judul dan akhir cerita. Unsur didaktis ini juga jelas terlihat dalam cerita rakyat, baik secara implisit maupun eksplisit. Apabila pesan moral dalam cerita rakyat tidak secara ekspilisit tertulis, penulis seringkali mencantumkan pesan moral cerita di akhir cerita.Selain cerita tradisional, jenis cerita yang terdapat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar adalah cerita rekaan. Meskipun cerita rekaan seharusnya lebih bervariasi dalam hal penokohan, latar dan tema dibandingkan dalam fabel dan cerita rakyat, namun cerita rekaan yang dimuat dalam buku pegangan siswa Sekolah Dasar di Indonesia, adalah cerita-cerita yang sarat memuat pesan moral. Cerita anak memang sarat dengan pesan moral. Riris K. Sarumpaet (2002) yang mengamati cerita anak yang terbit di Indonesia pada tahun 1998 menemukan bahwa hampir semua buku cerita anak tersebut memuat pesan moral yang mengarah pada pembentukan manusia Pancasilais sesuai yang digariskan dalam P4. Cerita-cerita tersebut sangat kentara memuat tema-tema yang dicanangkan pemerintah seperti tema anti komunisme seperti yang dicanangkan pada Sila Pertama Pancasila; atau pentingnya transmigrasi supaya seluruh daerah di Indonesia mencapai keadilan sosial yang merata seperti yang dinyatakan pada Sila Kelima Pancasila. Contoh-contoh ini membuktikan betapa cerita anak sangat rawan digunakan sebagai kendaraan moral. Maman S. Mahayana (2005) juga mengamati dan mengkhawatirkan kecenderungan sastra yang terbawa hasrat terlalu besar untuk mendidik dan mengabaikan nilai estetika kesastraan. Alison Halliday (1996) menyebutkan hal yang menarik tentang kontrol terhadap anak. ”Anak-anak memang dilahirkan, namun masa kanak-kanak dikonstruksikan.” Peristiwa kelahiran seorang anak memang terjadi secara alamiah, namun masa kanak-kanak selalu merupakan produk dari tuntutan sosial yang kompleks. Biasanya orang tua yang berusaha mengkonstruksikan kembali pengalaman masa lalu mereka sendiri dan menempanya bersama dengan ekspektansi ideal mereka bagi anak-anak, kemudian membentuk konsep ideal mereka tentang masa kanak-kanak. Seorang anak yang baru terlahir ke dunia tanpa daya akan otomatis mendapatkan paket yang disodorkan oleh orang dewasa itu, dan tidak bisa menolaknya.Sebagai kelompok marginal dalam masyarakat kita, anak-anak tidak pernah diletakkan pada posisi sentral. Seringkali, menurut Patricia Holland, anak-anak adalah objek kekuasaan dan kepuasan. Dalam bukunya What is A Child (1992), Holland menulis ”tatapan kita mematrikan anak-anak dalam posisinya, menyesuaikan gambaran mereka untuk memenuhi pola yang diinginkan” (hal. 16). Memang benar bahwa posisi anak-anak selalu ditentukan oleh orang dewasa. Anak-anak dibentuk dan sering didikte untuk menjadi individu sesuai keinginan orang tua. Dengan justifikasi bahwa anak-anak masih membutuhkan bimbingan, berbagai macam kontrol terhadap anak dianggap lumrah. Kontrol terhadap anak ini tercermin pada kentalnya nilai didaktis pada narasi yang disediakan bagi anak Sekolah Dasar di Indonesia, lewat buku pegangan wajib mereka. Nilai didaktis apa saja yang diajarkan melalui cerita yang dimuat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar di Indonesia? Nilai-nilai didaktis umum seperti ajakan untuk menabung, nasihat untuk membantu orang tua, imbauan untuk menghormati sesama, ajaran untuk makan makanan bergizi, dan didikan untuk berbudi pekerti memang terdapat dalam cerita-cerita yang dimuat. Namun makalah ini ingin menyoroti dua tema utama penting yang diajarkan di sana, yakni murka golongan yang kuat dan kebersihan. Murka Golongan yang KuatCerita bertemakan murka seseorang yang kuat banyak terdapat pada cerita yang dikemas dalam buku pegangan Sekolah Dasar. Dalam "Air Mata Kasih Sang Putri" (Ayo Belajar Bahasa Indonesia Kelas 5, hal. 71), diceritakan tentang seorang raja yang mengutuk tujuh anak lelakinya karena tidak mematuhi perintah sang ayah. ”Mereka terlalu banyak bermain dan tidak disiplin”, alasan sang raja. Dalam "Asal Mula Pohon Kelapa" (Bahasa Indonesia kelas 3, hal 106) diceritakan tentang seorang laki-laki yang dikutuk menjadi pohon kelapa oleh petapa sakti karena tidak mematuhi pesan petapa sakti untuk tidak membuka kotak hijau. Cerita-cerita semacam ini berpusat pada persoalan kewajiban dan ketaatan pada figur otoritas. Dalam masyarakat Indonesia, kutukan adalah tindakan disipliner yang sering dilakukan, dan sering dimanifestasikan dalam banyak cerita rakyat asal Indonesia. Kita tentu mengenal cerita Malin Kundang, Tangkuban Perahu, Roro Jonggrang yang berakhir dengan kutukan. Selain kutukan yang banyak terdapat pada cerita wayang, Citraningtyas (2004) juga mencatat ada 12 cerita rakyat Indonesia yang bertema kutukan seperti yang terjadi pada Malin Kundang. Dampak kutukan Malin Kundang ini sangat kuat terasa di Indonesia, sampai-sampai seorang ibu muda pernah menulis dalam kolom Psikologi Kompas bahwa ia telah dikutuk oleh ibunya. Dan sejak itu, hidupnya merana.Kutukan sangat erat berhubungan dengan kekuasaan. Meskipun setiap orang bisa saja mengutuk, namun kekuatan sebuah kutukan ditentukan oleh hirarki superioritas. Hanya mereka yang memiliki kekuatan, baik spiritual, fisik, militer, jurisdikal ataupun parental yang dianggap mampu memberikan kutukan. Oleh karenanya, sosok ayah yang juga raja dan juga sosok petapa sakti dalam kedua cerita di atas, sangat memenuhi syarat sebagai sosok yang bisa mengutuk karena mereka adalah representasi dari figur otoritas.Dalam "Gunung Kelud Meletus" (Aku Cinta Bahasa Indonesia 1B), diceritakan bahwa apabila Gunung Kelud meletus, itu berarti Lembusura sedang murka. Tujuan utama cerita ini juga untuk menekankan kepatuhan pada sosok otoritas. Lembusura adalah representasi dari figur otoritas tersebut, yang tidak boleh dibuat murka agar Gunung Kelud tidak meletus. Diana Mitchell (2003) mengatakan bahwa anak-anak menganggap serius apa yang tertulis dalam buku. Mereka percaya bahwa buku berisikan kebenaran. Apabila mereka membaca tentang anjing dan kucing yang menjadi binatang piaraan, mereka akan menerima kedua binatang tersebut sebagai binatang yang normal dijadikan binatang piaraan. Apabila mereka hanya membaca tentang ibu tiri yang jahat, maka mereka akan percaya bahwa semua ibu tiri adalah jahat. Apabila mereka membaca bahwa hanya orang kulit putih yang menjadi tokoh penting, anak-anak akan menginternalisasi hal tersebut. Oleh karenanya, dari cerita narasi, anak-anak mempelajari tingkah laku dan konsep yang dianggap benar dalam masyarakat. Terutama apabila cerita tersebut diajarkan di sekolah. Cerita tentang murka golongan kuat ini mengajarkan kepada anak-anak Indonesia untuk secara total patuh dan tunduk pada otoritas, apabila tidak ingin mendapat kutukan dan hukuman yang setimpal. Figur otoritas juga perlu dijaga supaya tidak murka agar tidak terjadi bencana besar, bak gunung yang meletus. Anak-anak Indonesia tumbuh dengan pemahaman bahwa sah apabila penguasa dan golongan yang kuat melancarkan kutukan kepada golongan yang lemah.KebersihanDalam cerita yang dimuat pada buku Bahasa Indonesia Sekolah Dasar, tema kebersihan rupanya menjadi perhatian serius. Tema kebersihan juga menjadi tema wajib bagi tiap jenjang kelas.Dalam cerita berjudul Lingkungan Rumah Rima, misalnya, ditulis tentang pentingnya memiliki lingkungan yang bersih Selokan mereka bersihkan. Jalan pun tak lupa mereka bersihkan. Rima senang melihat lingkungan rumahnya. Rima betah tinggal di sana.(Ayo Belajar Berbahasa Indonesia 1B, hal 49).Dalam sebuah cerita rekaan lain, yang berjudul "Ulang Tahun Bu Guru", yang panjangnya hanya tiga paragraf, diselipkan pula pesan moral tentang kebersihan sebagai berikut:Tak berapa lama kemudian, kelas tampak indah dan bersih. Sungguh sedap dipandang mata. Anak-anak merasa puas. (Bahasa Kita Bahasa Indonesia 3A, hal. 124).Masih banyak cerita yang mendidik anak untuk hidup bersih. Dalam buku Bahasa Indonesia Untuk SD dan MI Kelas 2 terbitan Grasindo saja, terdapat sedikitnya delapan cerita yang menekankan pentingnya kebersihan:1. Judul: Rumahku yang Nyaman Pesan Kebersihan: Lingkungan di dalam rumahku yang tertata rapi dan bersih, ….. Aku membersihkannya setiap hari.2. Judul: Hidup yang Bersih Pesan Kebersihan: Keseluruhan tema.3. Judul: Kerja Bakti Pesan Kebersihan: Hari ini seluruh warga membersihkan lingkungan. 4. Judul: Tempat Umum Pesan Kebersihan: Di tempat umum kita juga harus menjaga kebersihan. 5. Judul: Kerja Bakti Pesan Kebersihan: Kami sekeluarga sangat senang melihat rumah dan lingkungan bersih, indah, dan rapi. 6. Judul: Kerja Bakti Pesan Kebersihan: Got di depan rumah dibersihkan agar air mengalir.... Setelah got bersih, mereka membersihkan halaman..... dalam rumah juga dibersihkan. 7. Judul: Pergi Memancing Pesan Kebersihan: Sungai yang sekarang airnya kotor oleh sampah dan limbah yang dibuang di sungai.8. Judul: Makanan yang Menyehatkan Pesan Kebersihan: Minggu pagi yang cerah, Pak Mardi, Bu Sri, Yanto, dan Tita sudah selesai membersihkan rumah dan halamannya. Setelah itu, mereka mencuci kaki dan tangan, lalu mereka makan bersama.Kebersihan tampaknya menjadi fokus penting bagi identitas kita sebagai bangsa. Kita ingin menjadi bangsa yang bersih secara lahiriah, maupun batiniah. Kebersihan lahiriah sering diartikan sebagai pencerminan dari kebersihan batiniah sehingga sangat perlu diusahakan.Konstruksi identitas bangsa melalui diskursus kebersihan bukanlah hal yang asing. Banyak negara juga menerapkan hal serupa. Pada abad 19 Romania, diskursus kebersihan dipakai untuk merekonstruksi identitas wanita Romania. Pada zaman perbudakan, bangsa Amerika juga mengidentifikasikan warganya melalui konsep kebersihan. Warga kulit hitam dengan kekotoran dan kejorokan; ketidakbersihan. Sedangkan warga kulit putih diidentifikasikan dengan segala hal yang bersih dan indah. Di Indonesia, menjadi bangsa yang bersih adalah merupakan cita-cita bersama: bersih dari narkoba; bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme; bersih dari terorisme; bersih dari tindakan-tindakan asusila.Dalam cerita-cerita bertemakan kebersihan dalam buku sekolah dasar ini, ruang privat diletakkan berhadap-hadapan langsung dengan kontrol publik. Hari ini seluruh warga membersihkan lingkungan. Got di depan rumah dibersihkan..... setelah got bersih, mereka membersihkan halaman....... dalam rumah juga dibersihkan.Kerja bakti adalah kegiatan publik bersama. Seluruh warga terlibat di dalamnya. Dalam cerita tersebut di atas, tampak bahwa kegiatan bersama membersihkan ruang publik ini kemudian bergeser ke ruang privat, yakni membersihkan halaman, dan kemudian dalam rumah. Kontrol publik dalam kegiatan kerja bakti ini merambah pula wilayah privat. Hal ini bisa diartikan sebagai restu yang diberikan kepada publik untuk mengontrol wilayah privat warga masyarakat. Publik diperbolehkan, bahkan didorong untuk ikut bersama-sama membersihkan ruang privat warga masyarakat yang dianggap tidak bersih. Sehingga seorang warga yang didapati melakukan tindakan asusila, misalnya, perlu mendapat perhatian dan kontrol dari publik. Akibatnya, pelaku tindak asusila pun bisa mendapat sanksi publik.Sebagai kegiatan publik bersama, kerja bakti sudah mulai ditinggalkan oleh bangsa Indonesia, terutama yang tinggal di kota besar. Dari eksposisi topik Kerja Bakti ini, tampaknya pemerintah ingin menggalakkan kembali kegiatan bekerja bakti. Hal ini tampak pada penekanan topik kerja bakti: dalam buku pelajaran kelas 2 di atas kita catat ada tiga cerita berjudul "Kerja Bakti" dalam satu buku dan tema pembahasan; dalam buku pelajaran kelas 3 tercatat ada dua cerita berjudul Kerja Bakti dalam satu buku. Dengan menggalakkan kembali kegiatan bekerja bakti, terselip imbauan akan kembalinya kontrol dari publik kedalam ruang-ruang privat keluarga Indonesia. KesimpulanPenelitian ini menemukan bahwa cerita-cerita yang disajikan dalam Buku Pegangan Bahasa Indonesia, sarat dengan agenda didaktis. Agenda didaktis yang terlalu mencengkeram ini sangat disayangkan, karena akan menjauhkan generasi muda dari menikmati sastra. Bagi orang dewasa, sastra adalah untuk dinikmati. Kita tidak akan melanjutkan membaca sebuah karya apabila kita tidak bisa menikmatinya. Namun mengapa kita abaikan perasaan ini ketika menyuruh anak membaca sastra? Padahal, Hancock (2000) mendefinisikan sastra anak sebagai karya sastra yang ”appeals to the interests, needs, reading preferences of children, and that captures children as its major audience” (hal. 5). Mengapa kita rampas hak ini dari anak? Beberapa agenda didaktis yang penting adalah topik murka golongan yang kuat dan topik tentang kebersihan menjadi topik penting yang dimanifestasikan lewat cerita-cerita sekolah. Topik murka golongan yang kuat seolah hendak mewariskan nilai bahwa murka dan kutuk adalah hak bagi golongan yang kuat. Bahwa golongan lemah, yang diwakili oleh anak-anak, perlu mematuhi segala perintah golongan yang kuat untuk menghindarkan diri dari kutukan tersebut. Bahwa golongan lemah perlu menjaga sikap sedemikian rupa, sehingga golongan yang kuat tidak murka dan mengakibatkan bencana. Topik kebersihan seolah hendak menghimbau kembali untuk menggalakkan kerja bakti, yang memberikan kemungkinan bagi publik untuk mengontrol ruang privat warga negara.Pertanyaannya untuk kita adalah, benarkah kita sependapat bahwa kedua topik tersebut masih tepat untuk diwariskan kepada generasi muda bangsa ini? Menurut Mitchell (2003), cerita memvalidasi anak-anak bahwa hidup mereka normal dan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat dan budaya mereka. Melalui sastra, anak-anak diajarkan pada nilai-nilai luhur budaya mereka. Inikah nilai-nilai luhur yang ingin kita wariskan? Daftar Pustaka Apple, M. 1986. Teachers and Texts: A Political Economy of Class and Gender Relations in Education. New York: Routledge & Kegan Paul.Bottingheimer, R., ed. 1987. Grimm’s Bad Girls and Bold Boys: The Moral and Social Vision of the Tales. New Haven: Yale University Press.Butts, D. (ed). 1992. Stories and Society: Children’s Literature in ITs Social Context. London: Macmillan.Citraningtyas, C. E. 2004 Breaking a Curse Silence: Malin Kundang and Transactional Approaches to Reading in Indonesian Classrooms – an Empirical Study. Unpublished thesis. Sydney: Macquarie University. Sydney.Hancock, M. R. 2000. A Celebration of Literature and Response: Children, Books, and Teachers in K-8 Classrooms. New Jersey: Prentice Hall, Inc.Halliday, A. 1996. “Parallel Ideologies: An Exploration of the Ideologies of Childhood and Poetry”, Papers: Explorations into Children’s Literature. . 6,1, 20-30.Holland, P. 1992. What is a Child? London: Virago.Johnston, I. 2000. “Literature and School Studies: Exploring the Hyphenated Spaces of Canadian Identity.” Canadian Social Studies 35.1.Mahayana, Maman. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Bening Publishing, Jakarta.Meek, M. ed. 2001. Children’s Literature and National Identity. Stoke on Trent. Trentham Books.Mitchell, D. 2003. Children’s Literature: An Invitation to the World. Boston: Pearson Education.Pantaleo, S. 2001. “Exploring Canadian Identity through Canadian Children’s Literature”. Reading Online 5.2.Sarumpaet, R.K. 2002. “Sastra dan anak: Penjajah dan Taklukannya.” Bahasastra: Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. 17.1 : 47 – 62.