Senin, 08 Februari 2010

CERPEN PUTU WIJAYA

cerpen
Putu Wijaya

MALING


Di jalanan yang sudah bertahun-tahun saya lalui ada rumah orang kaya. Depan rumahnya ada sebatang pohon kelapa gading. Buahnya terus berlimpahan seperti mau tumpah. Kalau lewat di situ, saya selalu kagum. Tapi juga tak habis pikir. Mengapa kelapa itu tak pernah dijamah. Mungkin pemiliknya terlalu kaya sehingga sudah tidak doyan lagi minum air kelapa. Padahal kalau saya yang punya, tiap hari tidak akan pernah saya biarkan lewat tanpa rujak kelapa muda.
Perasaan saya sama dengan orang-orang lain. Mereka juga heran. Karena mereka pun tahu, setiap bulan puasa, kelapa muda di mana-mana laris. Hanya dengan gula merah dan jeruk nipis, buah itu mengantar ke surga di saat buka. Ditegak langsung juga sedapnya bukan main. Semua minuman keluaran pabrik yang digondeli seabrek bahan pengawet dan zat warna, lewat. Kelapa memang nomor satu.
Setelah berhasil membeli rumah yang saya kontrak, yang pertama saya lakukan adalah menanam kelapa gading. Tidak perlu diurus, tak peduli bagaimana curah hujan, kemarau kepanjangan sekali pun, kelapa itu terus tumbuh. Dalam waktu 5 tahun mulai berbuah. Lebatnya juga tidak ketulungan.
Tapi aneh. Setelah punya pohon kelapa sendiri yang ngamuk berbuah seperti milik orang kaya itu, selera saya menegak kelapa muda, berhenti. Buah kelapa saya biarkan saja tergantung di pohonnya sampai tua. Baru kalau ada bahaya bisa menjatuhi kepala orang lewat, atau menghajar kap mobil, saya suruh sopir menurunkannya.
Ketika satpam di kompleks dengan malu-malu datang minta satu dua kelapa muda untuk buka puasa, dengan tangan terbuka saya persilakan.
“Silakan-silakan, ambil saja. Sepuluh juga boleh!”
Satpam itu nampak segan..
“Dua saja cukup, Pak,”katanya malu-malu.
Tapi belakangan pembantu saya mengadu.
“Bukan dua, bukan tiga, bukan lima, tapi sepuluh butir kelapa yang dipetik si Rakus itu, Pak!”
Saya sabarkan dia. Saya bilang, pohon kelapa itu justru akan semakin rajin berbuah kalau buahnya dipetik. Pembantu saya tidak berani menjawab. Tapi dia ngedumel terus. Mungkin dia marah karena tidak dibagi. Saya biarkan saja itu jadi urusannya.
Bulan puasa berikutnya, satpam itu tidak minta izin lagi. Dia selalu memetik kelapa kalau mau buka. Kembali pembantu saya marah. Saya hanya ketawa.
“Kalau kamu mau, ambil sendiri dong, jangan marang doang”kata saya .
“Bukan begitu, Pak.”
“Minta tolong sopir biar kamu dipetikin!”
“Terimakasih, Pak. Memangnya saya tupai, saya tidak doyan kelapa!”
Saya ketawa. Kalau pembantu berani ngumpat-umpat di muka majikan seperti itu, bagi saya tanda hubungan kemanusiaan di antara kami masih sehat. Saya tidak pernah menganggap pembantu itu manusia yang lebih rendah dari majikan. Itu soal pembagian tugas dan nasib saja. Itu karena ibu saya sendiri dulu adalah bekas pembantu.
Tapi kemaren, pembantu saya mengetuk pintu kamar. Saya agak marah, karena saya sedang tidur enak.
“Kan sudah aku bilang aku mau tidur, jangan diganggu!”
“Tapi ini gawat Pak.”
“Gawat apa?”
“Memangnya Bapak sudah ngijinin?”
“Ngijinin apa?”
“Itu ada dua orang yang lagi ngambil kelapa, Pak!”
“Biarin aja. Apa salahnya satpam buka dengan air kelapa muda? Satpam juga manusia. Kamu saja terlalu sensitif!”
“Tapi itu bukan si Rakus itu, Pak!”
“Bukan?”
“Bukan sekali!”
“Siapa?”
“Coba Bapak lihat sendiri. Nyebelin sekali, Pak. Sudah tidak pakai permisi, main ambil tangga aja, apa dia pikir itu punya moyangnya, pakai golok di dapur segala , nyuruh bikin kopi lagi, Pak!”
Saya tertegun. Sambil membetulkan resluiting celana, saya keluar rumah.
Di atas pohon kelapa nampak seorang lelaki sedang mengebul-ngebulkan asap rokok. Ada tali yang terentang ke bawah dari dahan kelapa, untuk mengirim kelapa yang tangkainya sudah di kapak. Di dekat bak sampah, temannya sedang memasukkan kelapa yang sudah dipetik ke dalam karung. Saya hitung sudah dua karung. Rupanya kelapa saya mau disikat habis.
“Heee, lagi ngapain!”teriak saya terkejut.
Lelaki yang di bawah menoleh. Dia tersenyum sopan.
“Selamat sore Pak.”
“Kamu lagi ngapain?”
“Lagi metikin kelapa, Pak.”
“Lho ini kan kelapa saya?”
“Betul, Pak.”
“Kenapa dipetik?”
“Nanti ketuaan, Pak?”
“Lho apa urusan kamu? Ini kan pohon kelapa saya?”
Orang itu berteriak kepada temannya yang di atas.
“Jo, Bapaknya nanyain ini!”
Orang yang di atas menoleh ke bawah ke arah saya.
“Kenapa Pak?”
“Emang kamu mau ngabisin kelapa saya?”
“Ya sekalian, Pak. Besok saya mudik.”
“Terserah. Tapi ini kelapa saya!”
“Ya, Pak!”
“Ya apa?! Kenapa kamu ambilin kelapa saya?”
Orang itu tertegun heran.
“Emang kenapa Pak?”
Saya mulai marah.
“Jangan ngomong dari atas. Ayo turun kamu!”
“Tinggal dikit lagi, Pak. Nanggung.”
Saya tambah keki.
“Turunnn!”
Suara saya menggelegar. Saya sendiri terkejut. Tetangga depan rumah sampai melonggokkan kepalanya di jendela. Lelaki di atas pohon itu tiba-tiba menjatuhkan kapak dari atas pohon. Menancap ke atas rumput depan pagar. Darah saya tersirap, seakan kapak mengiris leher saya. Terus-terang saya ngeper. Meskipun kelapa itu milik saya, saya tidak mau mati konyol hanya karena soal kelapa.
“Kenapa Pak?” tanya lelaki itu setelah dengan sigapnya turun.
“Saya cuma mau tanya. Kenapa kalian memetik kelapa saya?”
“Tapi kan saya sudah saya bayar, Pak.”
“Apa?”
“Sudah saya bayar, Pak.”
“Bayar apa?”
“Harganya. Kan sudah saya naikkan seperti yang diminta.”
“Harga apa?”
“Harga kelapanya semua, Pak.”
“Kamu beli kelapa saya?”
“Ya Pak.”
“Tapi ini kelapa saya, tahu!”
“Betul Pak!”
“Kelapa ini tidak dijual!”
Lelaki itu bingung. Dia menoleh temannya. Lalu temannya menghampiri. Dia berusaha menjadi penengah. Dengan suara yang sejuk, dia menyapa.
“Kami sudah bayar lunas, Pak.”
“Bayar lunas apa?”
“Kelapanya. Semua. Kami borong, Pak.”
“Aku tidak jual kelapa!”
Ganti orang itu nampak heran. Dia balik menoleh temannya. Lalu temannya mengambil kapak. Dada saya berdetak. Semangat saya amblas. Saya betul-betul tidak ingin berkelahi soal kelapa. Itu terlalu sembrono.
“Begini, Pak, “kata lelaki yang membawa kapak itu,”Memang belum lunas semua, tapi seperempatnya lagi akan dibayar setelah kami rampung .”
Lelaki itu lalu merogoh saku mengeluarkan dompet.
“Mana duitnya?!”
Temannya ikut merogoh saku dan mengeluarkan amplop.
“Nih lunasi sekarang!”
Lelaki itu memasukkan isi dompetnya ke dalam amplop.
“Sana kasih sekarang!”
“Tapi itu kelapanya masih ada?”
“Udah cukup. Bapak ini kali mau minta yang kecil-kecil itu jangan diambil dulu,”katanya sambil menoleh saya dengan tersenyum, “Ya kami juga tidak akan ngambil itu, Pak. Ini saja sudah cukup. Cepetan sana bayar!”
Orang yang membawa amplop itu, bergerak pergi menuju ke pos satpam.
“Begitu, Pak. Kami tidak pernah nakal.”
“Jadi kamu beli kelapa saya?”
“Ya Pak.”
“Beli dari siapa?”
“Pak satpam, Pak.”
Saya terhenyak. Marah saya meledak lagi. Tapi kapak di tangan lelaki itu terlalu menakutkan. Saya terpaksa menelan perasaan saya. Lelaki itu tidak bicara lagi. Ia mem asukkan semua kelapa yang dia anggap sudah dibelinya ke dalam karung. Waktu itu tetangga saya keluar dari rumah dan menyapa.
“Dijual berapa?”
Saya hanya menggeleng. Tapi lelaki yang membawa kapak itu menyahut.
“Seratus ribu, Pak.”
“Wah lumayan! Boleh juga!”
Saya tak menjawab. Sayup-sayup saya dengar suara satpam di pos. Entah apa yang mereka bicarakan.
Tak sanggup melihat buah yang selalu saya pandangi sebagai keindahan itu, sekarang berserakan di jalan, diam-diam saya masuk ke rumah. Korden jendela saya tutup. Saya tidak mau atau katakan saja takut melihat kenyataan itu
Di luar saya dengar suara entakan sepatu satpam datang. Saya tak percaya dia akan masuk, lalu menyerahkan hasil penjualannya. Itu hanya harapan saya.. Dan saya jadi benci sekali karena semuanya itu tetap hanya harapan.
Semalaman saya tak bisa tidur. Istri saya menyarankan agar menegur satpam yang kurangajar itu. Tapi saya punya rencana yang lain. Orang itu tidak cukup ditegur. Dia harus diberikan pelajaran biar tahu rasa
Pagi-pagi, saya berunding dengan sopir yang antar-jemput saya ke kantor.
“Kamu kamu berbuat baik, Jon?”
“Apa itu, Pak, boleh.”
“Kamu tahu tukang sayur yang selalu lewat dengan gerobaknya pagi-pagi itu?”
“Tahu, Pak.”
“Cantik kan?”
“Ah Bapak, sudah peot begitu, masak cantik.”
“Jangan begitu. Dulu dia cantik. Sekarang karena kurang terurus dan kerja keras, anaknya juga sudah dua, jadi layu begitu.”
“Ya Pak. Dia suka mengeluh, suaminya mau kawin lagi. Tidak pernah ngurus anak bininya sekarang. Pulang juga jarang.”
“Coba hibur dia.”
“Hibur bagaimana, Pak?”
“Kembalikan kepercayaan dirinya!”
“Bagaimana itu Pak?”
“Kamu katakan kepada dia, dia itu sebenarnya cantik, asal mau mengurus badannya lagi.”
Sopir ketawa.
“Ah Bapak bisa aja!”
“Lho ya nggak? Jujur saja! Kalau dia mau ngurus badan lagi, dengan gampang dia bisa dapat suami baru. Ya tidak?!”
Sopir saya ketawa. Dia melirik saya dengan mata curiga.
“Aku serius!”
Sopir itu tak menjawab. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Di kantor saya intip dia bisik-bisik dengan sopir lain. Pasti sedang menebar gossip. Saya pura-pura tidak tahu. Tetapi kemudian apa yang saya rencanakan terjadi.
Sehari kemudian, sore menjelang saat buka, terjadi kegegeran. Satpam sudah menunggu saya di teras. Mukanya nampak terlipat oleh kemarahan.
“Kenapa Min ?”
“Ada masalah, Pak!”
“Masalah apa lagi? Ada bom?”
“Bukan ini pribadi, Pak!”
“O, kamu mau kawin lagi?”
“Ah itu gossip, Pak!”
“Atau sudah kawin?”
“Sumpah, Pak, mana mungkin saya kawin lagi.. Yang satu saja tidak sanggup saya urus, sampai dia terpaksa jualan sayur dengan gerobak.”
“Ya, kamu kok sampai hati membiarkan istri kamu dorong gerobok, padahal dia asma kan?”
“Itulah, Pak!”
“Makanya jangan kawin melulu!”
“Sumpah, Pak, tidak. Malah saya yang kena batunya sekarang!”
“Kena batunya gimana?”
“Istri saya ada yang godain, Pak!”
“O ya?”
“Betul, Pak! Istri saya digoda!”
“Digoda bagaimana?”
“Masak istri saya dibilang cantik, Pak!”
“Lho istri kamu kan memang dulu cantik? Kalau tidak, mana mau kamu!”
“Memang. Tapi itu kan dulu, Pak. Sekarang anaknya sudah dua, asma lagi, mana ada cantiknya. Ngga ada orang yang akan melirik dia, kecuali kalau ada niat jahat.”
“Maksudmu apa?”
Satpam itu pindah kursi, mendekatg, lalu bicara dengan berbisik.
“Ini menyangkut sopir Bapak.”
“Si Jon?”
“Betul, Pak.”
“Kenapa dia?”
“Masak dia merayu istri saya, Pak!”
“Merayu bagaimana?”
“Katanya, istri saya itu sebenarnya cantik, asal saja mau dandan lagi. Kalau sudah dandan dia nanti gampang cari suami baru! Begitu Pak!”
“Terus?”
“Ya kalau si Jon itu tidak ada maksud apa-apa, dia tidak akan bilang begitu. Saya tahu persis apa maunya kalau laki-laki sudah ngomong memuji-muji begitu. Perempuan kan lemah hatinya, Pak. Kalau sudah dipuji, apa saja dia kasih.”
“O ya?”
“Betul, Pak.”
“Jadi sekarang maksudmu apa?”
“Ya Bapak tolong kasih tahu, janganlah si Jon itu coba-coba dengan istri saya!”
“Tapi kamu kan sudah tidak memperhatikan istri kamu lagi.”
“Bukan tidak memperhatikan, Pak.”
“Terus apa?”
“Nggak punya duit saja, Pak. Bagaimana saya memperhatikan kalau tidak ada duit yang bisa saya kasihkan?”
“Memperhatikan itu tidak harus dengan duit. Istri kamu kan sudah kerja sendiri. Katanya malah kamu yang sering minta duit dari dia? Betul?”
“Betul, Pak.”
“Kenapa?”
“Kan dia itu istri saya!”
“Jadi meskipun tidak kamu perhatikan, dia itu tetap istri kamu kan?!!”
“Betul, Pak. Makanya saya marah. Hanya karena saya ini satpam, saya jadi serba salah. Saya tidak berani melakukan kekerasan, masak satpam yang harusnya menjaga keamanan melakukan kekerasan. Tidak betul kan, Pak!”
“Jadi maksud kamu apa?”
“Saya minta Bapak ngasih tahu si Jon, janganlah ganggu istri saya. Meskipun tidak saya perhatikan, tapi dia tetap istri saya. Orang tidak boleh mengganggu perempuan yang masih berstatus istri orang lain. Ya kan Pak?!”
Di situ saya tertegun. Jadi dia bukan tidak mengerti. Dia tahu. Meski pun tidak ditunjuk-tunjukkan, hak itu tetap hak. Kenapa dia sangat mengerti dan menuntut haknya agar dihormati sebagai suami oleh orang lain, tapi pada saat yang sama dia dengan seenaknya saja melangkahi hak saya terhadap pohon kelapa. Apa karena tidak saya petik, berarti kelapa itu boleh dia jual?
Lamunan saya terganggu, karena tiba-tiba istri satpam, tukang sayur itu, muncul.
“Jangan didengar omongannya, Pak!” katanya dengan berani. “Dia ngaku-ngaku saya istrinya lagi, karena ada maunya! Baru dengar saya dapat warisan dari nenek saya di kampung, langsung dia ngaku bapaknya anak-anak lagi. Tapi kemaren-kemaren apaan, anak-anaknya sendiri digebukin, kepala saya dikencingin!”
Saya takjub. Satpam itu kelihatan pucat. Tapi tiba-tiba dia membentak.
“Ngapain lhu ikut-ikutan kemari? Pulang!”
Istrinya sama sekali tidak takut. Ia balas menggertak.
“Lhu kagak usah nyuruh-nyuruh gua pulang, gua memang mau balik kampung sekarang. Gua cuma mau pamitan sama Bapak! Pak, saya pamit pulang, Pak. Maapin kalau saya ada salah.”
Perempuan itu mengulurkan tangan minta bersalaman. Saya terpaksa menyambutnya. Ia mencium tangan saya sambil menangis.
“Maapin kesalahan-kesalahan saya, Pak, saya terpaksa pulang. Saya tidak kuat lagi di sini.”
Satpam mula-mula hanya memandang, tetapi kemudian berdiri, lalu menarik istrinya untuk dibawa pulang. Yang ditarik melawan. Saya terpukau menonton. Untung istri saya muncul dan menarik istri satpam itu, langsung diselamatkan masuk.
Satpam tidak berani bertindak lebih jauh. Seperti orang tolol dia berdiri di depan saya. Saya siap mencegah, kalau dia mencoba mau menyusul masuk. Tapi itu tidak terjadi. Malah kemudian dia menangis.
Saya tunggu saja sampai tangisnya reda. Rasanya agak aneh melihat satpam mewek seperti itu.
“Saya memang salah, Pak.”katanya kemudian , “saya baru ingat istri, kalau sudah ada yang menggoda. Hari-hari saya sia-siakan. Anak tidak pernah saya urusin. Giliran mereka mau pulang kampung, baru saya sadar. Untung dia bilang, jadi saya bisa nyegah. Untung dia mau pulang, kalau tidak, saya pasti terus lupa saya sudah punya istri, punya dua anak. Saya sudah lupa daratan, Pak Saya menyesal, Pak.”
Saya tidak menjawab. Saya menunggu dia bergerak satu langkah lagi. Minta maaf sebab dia sudah dengan seenak perutnya menjual kelapa saya tanpa persetujuan. Tapi penantian itu nampaknya akan sia-sia. Satpam itu lebih sibuk memikirkan istrinya yang baru dapat warisan itu tapi akan meninggalkannya. Saya jadi geram. Akhirnya saya terpaksa ngomong juga.
“Jadi sekarang kamu sadar! Memang kita baru ingat milik kita kalau sudah diambil orang. Itu biasa. Semua orang juga begitu! Tapi meskipun maling itu ada gunanya, tetap saja namanya maling!! Kudu dihukum!”
Satpam terkejut. Mukanya merah padam. Tiba-tiba ia berhenti menangis lalu berkata geram.
“Kurangajar! Pasti si Jon tahu istri saya dapat warisan! Malingggg!” teriaknya ganas sambil mencabut pisau lalu kabur ke garasi tempat sopir saya membersihkan mobil.
“Malingggg!”
Saya jatuh bangun mengejar. Tapi terlambat. Dia sudah membacok tengkuk sopir saya.
Untung si Jon seorang pendekar. Dengan refleknya yang luar biasa dia menepiskan serangan satpam itu. Pisau satpam terlempar ke tembok. Lalu tangan si Jon terangkat. Tangan yang bisa membelah tumpukan bata itu akan meretakkan muka satpam. Saya berteriak.
“Jangan!!!!!”
Sekarang saya menyesal.
“Mengapa Bapak teriak jangan? Maling apa pun alasannya, perlu mendapat pelajaran, biar kapok!”kata istri saya mencak-mencak, sesudah peristiwa itu berlalu.
Sebenarnya saya tidak bermaksud mencegah. Hanya sopir saya tidak mengerti, dengan berteriak “jangan” maksud saya “hajar”. Masak saya harus bilang pukul. Nanti saya disalahkan menzalimi orang lemah. Saya kan Ketua RT.


Jakarta, 4 September 09
(setelah berita tentang pulau Jemur)

ORANG BESAR

Putu Wijaya
ORANG BESAR

Amat memilih makan malam yang sangat-sangat-sangat, bahkan menurut Bu Amat “terlalu amat sangat sederhana sekali”. Hanya nasi putih putih dan sayur bening.

“Ini baru namanya makanan sehat,”kata Amat.

Bu Amat mengangguk.

“Ayo cepat makan, nanti maag.”

Amat mulai menyantap. Satu suap, lama sekali. Bu Amat menatap.

“Enak?”

Amat mengangguk.

“Bukan hanya makanan yang perlu sehat, cara makan pun ada aturannya. Setiap suap harus dikunyah 32 kali baru ditelan, untuk mengurangi pekerjaan perut besar.”

“Ya silakan, kunyah saja. Tapi enak tidak?”

“Kalau perut lapar, semua makanan enak.”

“Hanya nasi dan sayur bening tok, sudah enak?”

“Makan itu untuk hidup, bukan hidup itu untuk makan. Makan bukan untuk kesenangan tapi kesehatan. Yang penting bukan enaknya, tapi makanannya sehat atau tidak?!”

“Jadi Bapak mau terus makan nasi dan sayur bening tiap hari?”

Amat berhenti mengunyah.

“Lho ini kan hanya latihan. Berlatih merasakan bagaimana tidak enaknya kalau makanan sudah dibatasi, akibat kena penyakit. Jadi kita akan selalu berusaha mengendalikan nafsu makan enak yang menimbun penyakit itu, agar tetap sehat. Kalau kita sehat, kita bisa makan apa saja, tidak terpaksa makan nasi putih dan sayur bening tok seperti ini!”

Bu Amat tersenyum

“Ya sudah, kalau begitu jangan ngobrol terus, cepat habiskan.”

Amat menurunkan sendoknya yang tadi sudah diangkat.

“Kalau tekanan darah dan gula naik, ya makanannya nanti akan terus begini, “kata Amat menunjuk ke piring. “ memang sehat, tapi dimakannya susah, karena tidak ada aromanya, rasanya tawar. Jadi susah makannya!”

“Katanya demi kesehatan.”

“Memang., tapi … .”

“Tapi pa?”

“Ternyata sehat saja tidak cukup. Orang hidup perlu kebahagiaan. Kebahagiaan itu ya kesenangan. Kalau tidak senang, tidak bahagia, untuk apa hidup?”

Bu Amat tertawa.

“Jadi?”

Amat meletakkan sendok, lalu menegak air putih banyak-banyak. Ia menyandarkan badannya ke sandaran kursi seperti habis melakukan sesuatu yang berat.

“Kok berhenti makannya?”

“Kan susah cukup.”

“Itu masih banyak.”

“Ya ini kan hanya latihan.”

“Jadi sudah selesai?”

“Sudah!”

Bu Amat tersenyum. Ia membereskan meja. Mengangkat semuanya ke dapur. Lalu bersiap-siap hendak nonton televisi. Amat cepat mengingatkan.

“Lho sop buntutnya mana?”

Bu Amat menghidupkan tv seakan-akan tidak mendengar. Amat menghampiri dan mencolek istrinya.

“Sop buntutnya mana?”

Bu Amat tercengang.

“Lho, kan sudah selesai makan?”

Amat ketawa.

“Latihan hidup sehat sudah cukup. Sekarang waktunya makan yang bener. Tumben perut rasanya lapar sekali.”

“Jadi yang tadi tidak makan bener?”

“Lho itu kan latihan!”

Bu Amat menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi ia bangkit juga dan pergi ke dapur. Menghidangkan sop buntut dan segala makanan yang enak-enak kegemaran Amat yang doyan makan itu.

“Nah ini baru makanan,”kata Amat tak sabar meraih piring untuk mengganyang semuanya.

“Ini bedanya orang besar dan orang kecil,”bisik Bu Amat sambil menuangkan sop buntut yang berminyak ke dalam mangkuk.

Amat terhenyak.

“Maksudnya?”

“Orang besar itu satu perbuatan dengan kata. Orang kecil, lain yang dikatakan lain yang diperbuat.”

Amat tertawa.

“Kalau begitu aku ini termasuk orang kecil.”

“Memang!”

Amat mengangkat sendok ke mulutnya sambil tertawa.

“Enakan jadi orang kecil. Bisa ngomong seenaknya dan berbuat seenaknya. Tidak usah satu perbuatan dengan kata. Orang besar sudah dibelengu oleh bandrol besar sehingga kelakuannya terbatas. Sedikit salah ngomong massa langsung demo!”

“Jadi Bapak memang dari dulu memang cita-citanya hanya mau jadi orang kecil?”

Amat tak jadi memasukkan sendok itu ke mulutnya.

“Tidak. Dulu aku aku ingin jadi orang besar.”

“Terus kenapa kemudian memilih jadi orang kecil?”

Amat termenung. Ketika kemudian bicara suaranya kedengaran sedih.

“Orang-orang besar itu sering lupa mereka beda dengan orang kecil.”

“Masak?”

“Ya. Mereka selalu bilang, sabar, tenang, tahan, prihatin, mawas diri, jangan emosional, tidak boleh keburu nafsu, jangan pendek pikiran, lihat ke depan ke arah tujuan yang lebih jauh, jangan egois, rasional, professional, tidak boleh iri hati, harus tetap menjaga keutuhan, kebersamaan dan sebagainya dan sebagainya”

“Itu bagus kan?”

“Memang bagus. Tapi itu kan pekerjaan berat yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang besar. Karena mereka memang besar, kuat. Mereka punya banyak kesempatan. Dagingnya lebih tebal. Tidak makan 3 hari juga masih tetap besar. Orang kecil hanya punya satu kesempatan. Itu pun kadang-kadang rebutan sama orang lain. Untung-untungan kalau dapat. Kalau tidak kebagian, memang sudah nasibnya. Jangankan berbuat besar, berbuat kecil saja, orang kecil belum tentu mampu. Bukan karena tidak mau, jangan salah. Akhirnya mereka orang-orang kecil itu, yang tidak berdaya itu, merekalah yang dituding bersalah. Maling besar bisa ongkang-ongkangan ke luar negeri, di penjara kamarnya pakai ac, maling kecil baru mau ngambil mangga yang menjurai lewat pagar, sudah dikepruk sampai mati. Orang kecil kalau membela diri dari tudingan bersalah bisa tambah salah.”

Amat meletakkan sendok. Di televisi nampak bentrokan massa dengan petugas dalam demo depan istana. Selera makan Amat hilang. Bu Amat menegur.

“Bapak tidak jadi makan?”

Amat menggeleng.

“Lihat, memang enakan juga jadi orang kecil, tidak perlu pusing menghadapi masalah-masalah besar!”

Bu Amat membereskan kembali meja sambil menggerutu.

“Tak ada masalah besar dan masalah kecil, Pak. Yang ada adalah masalah-masalah besar dan orang-orang yang berhati kecil. Itu yang sudah memicu terjadinya masalah. Sekarang kita perlu: orang berjiwa besar.”


Jakarta, 29 Juan 10

GUS DUR

GUS DUR

karya Putu Wijaya

Jalan menuju Ciganjur, petang itu bangkit. Warga berdiri di pinggir jalan menunggu jenazah almarhum Gus Dur diantarkan ke rumah oleh mobil duka. Wajah-wajah mereka nampak tegang dan sedih. Hatinya tercabut, bagai ayam yang kehilangan induk.

Seorang empu telah meninggal. Dan empu adalah raja tak bermahkota, yang bertahtah bukan di atas singasana, tetapi di dalam hati warga. Indonesia tidak hanya berkabung sepekan tapi bertahun-tahun, karena almarhum tak tergantikan.

Saya terhenyak di depan televisi. Terlalu banyak urusan dengan buaya dan cicak serta kasus Bank Century menyebabkan saya lupa mengikuti perkembangan kesehatan mantan presiden RI yang ke-4 yang memang mulai menurun belakangan ini. Pikiran saya kacau. Untung ada SMS mencegah pergi ke RSCM tempat almarhum dirawat, agar langsung ke kediamannya di Ciganjur. Tak banyak cing-cong lagi saya berangkat.

Tergopoh-gopoh saya menembus kemacatatan yang membuat lalu-lintas merayap. Saya temukan santri-santri mengenakan baju koko putih. Para polisi sibuk mengatur aliran lalu-lintas dengan muka ikhlas. Tak ada lagi kesan mau menjebak para pengendara kendaraan.

Di sekitar masjid, madrasah dan kediaman almarhum yang malam itu menjadi sempit, ada prajurit-prajurit bersenjata. Bersiap mengamankan dan menyiapkan upacara kenegaraan bagi putra bangsa mantan RI Satu. Jalanan bagai sungai musim hujan, penuh. Mobil-mobil pemancar televisi sudah menumpuk. Beberapa wartawati muda yang gesit menyelusup menyusun strategi.

Siapa bilang kita sudah kehilangan semangat kesatuan? Siapa bilang kita sudah kehilangan spontanitas dan kesigapan? Lihat, semuanya bergerak cepat, serentak dan tidak peduli lagi perbedaan, sebagaimana yang dipelopori oleh Bapak Pluralisme itu! Kita tetap memiliki semangat gotong-royong dengan tenggang rasa tinggi, asal tepat memijit knopnya. Rasa kebangsaan tidak pernah hilang. Itu hanya keselimpet dan hanya pemimpin yang mampu mengangkatnya kembali.
Jelas sekarang Gus Dur adalah pemimpin!

Orang-orang paling penting di negeri ini, dari Presiden SBY dan mentri-mentrinya, Ketua MPR, mantan Presiden RI, Megawati, para cedekiawan dan rakyat biasa yang ingin menunjukkan solidaritasnya, kumpul bersama-sama. Hanya untuk mengucapkan selamat jalan. Luar biasa.

Akhir riwayat, adalah catatan yang paling akurat tetang siapa sebenarnya seseorang. Tanpa dikomando atau digalak-galakkan, bila orang tumpah datang, berarti almarhum begitu dicintai. Dicintai adalah syarat utama untuk membuat orang menjadi pemimpin.

Jadi bukan semata kepintarannya, otaknya, kekuatannya, kegalakannya, apalagi akal-akalannya, bahkan juga bukan karena dukungan suara politik yang membuat orang menjadi pemimpin, tetapi budi dan karismanya! Itulah pemimpin sejati. Itulah yang selalu kita inginkan! Itulah yang sekarang meninggalkan kita.

Tak salah kalau almarhum diangkat sebagai Pahlawan Nasional! Dan pahlawan tak memerlukan sebuah taman, karena dia sendiri adalah taman itu. Tempat orang memandang, untuk berpegang. Tempat orang mencari kedamaian dan kenyamanan hati!

Tak cukup hanya mengibarkan bendera setengah tiang, saya juga mengenakan pakaian hitam-hitam, berpuasa makan daging. Mengekang emosi dan merenung selama masa berkabung. Saya berupaya selalu tenang, bijak dan menyenangkan lingkungan. Pantang mengeluh-ngeluh lagi. Tidak sambat tentang kesehatan dan keinginan-keinginan saya yang tak terkabul. Tidak merengut, sama sekali tidak melarang-larang. Saya mencoba menjadi seperti empu.

“Bapak berubah, setelah Gus Dur tak ada,”kata anak saya.

Istri saya setuju.

“Itu bagian dari kebesaran seorang pemimpin. Ia tidak hanya mempengaruhi kita ketika masih ada, ketika sudah berpulang pun ia terus membimbing, bahkan semakin memimpin kita. Seorang pemimpin, memang tidak boleh kurang dari seorang empu di balik keperkasaan dan kepintaranya. Ia tidak memerintah, tetapi ia membuat kita memerintah diri kita sendiri untuk berbuat kebajikan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh negara.”

“Itu yang aku tidak setujui!”

Istri saya terkejut.

“Tak setujui apa?”

“Mengapa pemimpin harus meninggal dulu, sebelum semua ajaran-ajarannya tentang kebersamaan, kesetaraan, kecintaan pada sesama. Mengapa ide tentang kesatuan, tentang demokrasi, pluralisme, keberagaman beragama dan sebagainya dan sebagainya, baru bangkit, berkobar dan diyakini oleh rakyat, setelah pemimpin meninggal?”

Istri saya mengurut dada.

“Sabar, Nak, sabar! Itu sama saja dengan ketika kamu menggugat, mengapa kita baru membagi rezeki kita kepada orang lain, baru sesudah ada tsunami, gempa Yogya, setelah ada lumpur Lapindo dan gempa Padang!”

“Persis!”

“Memang semuanya begitu, Nak! Itulah kehidupan!”

“Tidak! Siapa bilang harus begitu! Kenapa?! Kita tidak bisa menerima semuanya harus begitu, harus begitu melulu! Capek! Kita harus berani menerima bahwa itu berarti: ada yang kurang.!

Istri saya menatap anak saya dengan tajam.

“Apa yang kurang?”

Anak saya mengeluh dalam.

“Aku tak berani mengatakannya. Maksudku, aku tidak sampai hati mengatakan. Aku tidak boleh mengatakannya. Aku tidak berani mengatakannya.”

Ia menarik nafas lebih dalam lagi seperti menelan dirinya sendiri, tapi kemudian berbisik lirih.
“Bahwa pemimpin-pemimpin yang kita miliki, belum cukup kalibernya, sehingga kepemimpinannya baru terasa, baru benar-benar memimpin kita, setelah mereka tak ada.”
Tiba-tiba air mata anak saya menetes. Ia menutup mukanya dan menekan rasa haru.

Istri saya lalu menghampiri saya.

“Kecil-kecilan, kamu sebenarnya juga seorang pemimpin, Pak, meskipun hanya sebatas rumah. Coba bicara dengan anakmu itu. Cuci otaknya sedikit. Masak dia bilang pemimpin-pemimpin kita kurang kaliber? Kalau didengar orang kita bisa diadukan menghina!”

Saya langsung pasang omong dengan anak itu.

“Kamu keliru Taksu. Kenapa mesti menangis. Bapak senang kamu jadi berpikir mendalam setelah Gus Dur tak ada. Bukan hanya kamu, seluruh rakyat Indonesia, bahkan juga mungkin dunia, dunia jadi berpikir, karena begitulah biasanya bila seorang besar meninggal. Kepergian semua orang besar menyebabkan kita merenung. Itu bagian dari kebesarannya. Kalau pemimpin biasa meninggal, ya kita hanya ikut berbela sungkawa, tapi kita tidak ditariknya berpikir. Pemimpin biasa itu seperti makanan siap saji, disantap dan dibuang. Pemimpin sejati beda, beliau membuat kita terus berpikir. Setuju?”

“Setuju!”

“Tetapi berpikir dan berpikir itu berbeda. Pemimpin besar dan pemimpin besar itu juga berbeda. Ada yang membuat kita berpikir pendek dan ada yang membuat kita berpikir panjang. Pemimpin yang membuat kita berpikir pendek, hanya sampai pada mengobarkan emosi kita. Pemimpin yang membuat kita berpikir panjang, membuat bangsa dan negara menjadi dewasa. Setuju?”

“Setuju!”

“Oke. Kalau begitu, menurut kamu, Gus Dur ini pemimpin yang mana?”

“Yang mengajak kita berpikir panjang.”

Saya tercengang.

“Tapi kenapa kamu mengatakan kepada Ibu kamu, kalibernya kurang?”

“Karena kaliber seorang pemimpin, tidak hanya ditentukan oleh kalibernya, tapi kualitas orang yang dipimpinnya. Itulah sebabnya, baru sesudah beliau meninggal kita ngeh apa yang diamalkannya. Sesudah beliau tak ada, kita baru sadar kalibernya.”

Saya terhenyak..

“Itu yang membuat aku menangis. Kenapa kita selalu terlambat?”


Jakarta, 5 Januari 2010

(roadshow monolog GUS DUR)

KEARIFAN LOKAL

Putu Wijaya

KEARIFAN LOKAL

(Kuliah umum di hari Penghargaan Akademi Jakarta, 21-12-2009)


(Saudara-saudara, hadirin sekalian yang saya mulyakan. Saya berdiri di depan Anda semuanya, tidak untuk memberi kuliah umum. Saya hanya bakul jamu, seorang pemulung yang mengorek-orek sampah, memanipulasi yang terbuang agar menjadi penting. Usaha saya coba memutar balik segalanya dengan berbagai akrobatik, sikap dan propaganda yang berlebihan. Karena saya percaya, dengan provokasi yang terus-menerus, keras, licik, tapi tidak kelihatan, alhasil jalan subversive, suara saya akan Anda dengarkan, di tengah kebisingan iklim yang sedang tergila-gila memprimadonakan politik dan ekonomi ini.

Saya seorang teroris mental. Harap herhati-hati.

Saya punya sasaran (baca: judul atau target), tapi saya tidak akan menyebutkannya. Lebih baik Anda sendiri yang nanti memberikannya nama yang lebih tepat. Karena saya rasa, sebagaimana orang menonton pertunjukan teater, setiap posisi Anda, latar belakang, bagasi pikiran dan keyakinan, akan menangkap nuansa yang berbeda-beda. Kalau pun ada yang sama, itu bonus. Namun saya tetap percaya dalam kesamaan itu tetap mungkin gradasinya berbeda. Maka kesimpulan masing-masing setelah pertemuan ini, akhirnya bisa berbelok bertentangan bahkan bermusuhan. Itu bagian dari, dalam kutip: kekurangan teater yang selalu saya syukuiri.

Karena itu saya akan mulai dengan teater. Kemudian saya akan menampilkan berbagai contoh dari masa lalu dan latar belakang saya. Dengan target, semoga itu tidak diartikan sebagai kampanye parawisata untuk memulihkan pesona Bali yang makin lama makin terdikte oleh selera turis. Saya justru ingin menggapai semua tradisi yang berserak di seluruh Nusantara tercinta ini, yang saya anggap sebagai kekayaan yang lebih membanggakan dari sumber-daya-alam kita yang selalu dipuji-puji tetapi kini sudah semakin tergerus habis.

Saya mulai dari ancaman bahwa kearifan/kebijakan lokal dalam tradisi sudah diabaikan. Yang tinggal adalah selongsongnya yang berupa tabu, larangan dan perintah-perintah yang membuat generasi baru kikuk dan tertekan. Mata harapan kita sudah dibelokkan dari esensi hingga terpateri pada yang kasat mata. Dulu kita percaya sumber daya alam, minyak dan gas bumi, akan menjamin masa depan, sekarang TKW dikibarkan dan dipaksa menjadi pahlawan pengumpul devisa, sementara Nirmala Bonar, Ceriati, Sitti Hajar dibiarkan berdarah.

Saya sengaja menampilkannya dengan dramatik. Seorang teman pernah mengatakan bahwa, sebuah statemen harus diungkapkan dengan tajam dan provokatif supaya bisa menggigit. Teman yang satunya meyakinkan saya bahwa kebenaran, baik baru bernama: opini atau tuduhan, walaupun belum bulat-lengkap-tuntas, harus ditembakkan saja, karena kalau tidak begitu, upaya kritis itu akan tersedot atau terbunuh oleh sensor diri sendiri sebelum sempat berdialog dengan masyarakat)



Ketika kata drama diberikan padan kata dalam bahasa Indonesia dengan “sandiwara”, banyak orang menduga bahwa itulah cara terbaik dalam mengadopsi drama agar dapat diterima oleh masyarakat luas. Tetapi dengan kata sandiwara (sandi = rahasia, wara = kabar, kabar rahasia) ada 2 hal besar telah tertanam yang membawa dampak panjang dan dalam. Sebuah kesalahan besar sudah terjadi yang nyaris merupakan sebuah kejahatan yang tidak disadari.

Pertama, drama disahkan sebagai barang impor yang berasal dari Barat. Maka sebagai konsekuensinya, Barat kemudian menjadi nara sumber, kiblat yang mendikte perkembangan sandiwara. Dengan tunduk pada estetika Barat, maka harmoni di dalam teater tradisi yang sudah mengakar dan hidup, terasa salah, kuno, kampungan atau kedaluwarsa. Ini semacam kolonialisme baru, yang menyebabkan, arti “kemerdekaan” menjadi mentah.



(Drama dipetakan oleh dramaturgi Barat sebagai kelahiran Yunani Kuno, ketika dilaksanakan upacara pemujaan pada Dyonesos, dewa anggur dan kesenangan, Jadi pada awalnya drama adalah upacara, “monolog” dari pendeta yang menjadi penyambung lidah masyarakat. Kemudian lahir “dialog”. Disusul dengan pengkotakan yang jelas antara tragedi (situasi perih yang sering berakhir dengan kematian ) dan komedi yang penuh suka-ria dan canda. Keduanya bagai kutub utara dan kutub selatan yang haram bertemu.

Drama yang kerap disebut teatar, dalam perkembangan selanjutnya di blantika Barat. kehilangan unsur upacara lalu menjadi hanya pertunjukan dan barang komoditi. Dia dikemas, didandani, dibuatkan sangkar (baca gedung pertunjukan) dengan asesoris prosenium, layar, tata lampu, tata artistik dan ruang khusus penonton yang menjadi saksi. Drama menjadi tiruan/bayangan dari kehidupan nyata. Disepakatilah “empati” sebagai tolok ukur yang termulya.

Drama yang tidak memberikan empati, dianggap kelas dua.

Dramaturgi teater Timur tak pernah benar-benar dilacak, seakan tak punya sejarah. Wayang dikaitkan dengan pelajaran etnologi, sebagai upacara pemanggilan nenek-moyang. Kathakali (India) , opera China (Cina) , Noh (Jepang), sebagai gelontongan esensi raksasa yang menjadi ibu, bumi, yang memantulkan filosofi kehadiran “upacara” spiritual itu dalam kehidupan, hanya menjadi penari latar dalam sejarah dramaturgi. Teater tradisi lebih dekat pada industri pariwisata dan antropologi budaya.

Merembuk drama, jadi sama sekali tak ada kaitannya dengan teater tradisi. Kedua hal itu walau jalan seiring dalam jalur yang menuju ke sasaran yang sesungguhnya sama: yakni pengalaman batin - tetapi lajur yang berseberangan membuatnya menjadi tak ada urusan. sama sekali.

Teater modern dan teater tradisi jadi bertentangan. Drama dan teater tradisi dijadikan bermusuhan.

Komedi dan tragedi dalam teater Timur tak pernah berpisah, tapi datang serentak dalam satu paket. Sebagaiman yang dicatat oleh kearifan lokal Bali: “ana tan ana”. Ada itu tak ada dan sebaliknya tak ada itu ada. Kosong itu berisi, berisi itu kosong. Demikianlah komedi dan tragedi tidak membelah tapi saling isi mengisi di dalam kehidupan yang silih-berganti. Orang Bali menyebutnya: “desa-kala-patra”.

Yang dimaksudkan dengan “upacara” adalah peristiwa yang dibangun dengan khidmat bersama-sama.. Tak ada penonton, tak ada pelaku. Semuanya peserta. Kendati teater tradisi dapat menjadi tontonan yang menghibur (dan karenanya kemudian bisa dijadikan komoditi) tetapi unsur peristiwa bersama untuk menciptakan pengalaman batin tetap menjadi benang merah yang makin lama makin membedakan dengan sandiwara yang makin lama makin menjadi komoditi.

Tontonan dalam teater tradisi erat hubungannya dengan ritual agama. Memiliki nilai sakral. Bahwa teater memiliki potensi menghibur tak menjadikan teater hanya semata hiburan. Dalam tradisi, teatar memiliki fungsi penting di dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagai terapi sosial. Sebagai pelaras harmoni. Sebagai juru bicara. Sebagai pendidikan moral. Dan sebagai ilmu. Teater bukan hanya tempat bermain, tetapi juga padepokan atau tempat bertapa.

Menyaksikan pertunjukan drama adalah menghibur diri sambil mencari makanan batin. Mengikuti tontonan tradisi adalah terlibat dalam upacara yang tak mungkin tanpa kesertaan batin yang aspek hiburannya seringkali tak ada, walau pun dapat diupayakan.

Teater tradisi, memberikan pengalaman batin baik kepada penonton dan pelakunya. Benda-benda yang dipakai, bukan hanya barang tetapi juga adalah pelaku yang memiliki jiwa dan kehendak. Diajak berdialog, diperlakukan dengan hormat, diberikan undangan sebelum dibawa ke panggung. Seniman-seniman Bali tradisional sembahyang sebelum melakukan pergelaran.

Pandangan rasional sering menuduh teater tradisi masih kena infeksi animisme atau dinamisme. Tetapi dengan tafsir yang lain: perlakuan sebagai mahluk hidup terhadap barang-barang mati dalam teater tradisi (baca: upacara) , tak bedanya dengan komando dari seorang pemimpin dalam sebuah barisan untuk mengajak pasukannya “siap” sebelum melangkah. Sebuah pernyataan dari tradisi bahwa teater adalah “upacara” (baca: kerja kolektip) yang memerlukan partisipasi total dan serentak dari seluruh pesertanya, termasuk benda-benda (property, kostum bahkan juga tempat) yang dipakai.

Maka dengan mengobel-obel kata sadiwara sebagai padan kata drama, muncul satu fakta yang tak menyenangkan. Ketika bangsa kita memproklamirkan kemerdekaan dan menyatakan tak lagi menjadi bangsa jajahan, ternyata ada yang tidak tertuntaskan. Pembebasan itu hanya sebatas kasat mata. Wilayah Indonesia memang sudah diproklamirkan tidak lagi menjadi koloni penjajah. Imdonesia bebas mengibarkan bendera sang saka sebagai tanda kemerdekaan. Tetapi itu hanya formalitas. Di dalam jiwa, Indonesia masih terikat oleh berbagai tambang-tambang kolonial yang menyebabkan kita tak pernah benar-benar terbang bebas sebagai bangsa yang merdeka.

Dari sebuah kata :”sandiwara” dapat dilacak, bahwa secara budaya kita masih menjadi perpanjangan paradigma kolonial. Penjajah nampak pergi, tetapi sesudah meletakkan fondasi penjajahan bentuk baru. Tanpa menyadarinya, kita sudah ikut membina penjajahan budaya itu dengan sebuah kata: sandiwara. Tanpa kita sadarai kita semua sudah memainkan peran penjahat

Kemerdekaan dengan demikian tak berarti pembebasan. Hanya perpisahan badan. Kebangkitan, baru berhasil mengangkat sebatas tubuh kita. Jiwa kita masih terbelengu sampai sekarang. Bahkan dalam posisi yang lebih rentan. Kita memang memiliki sandang pangan yang lebih baik. Anak-anak kita tidak lagi “nyeker” ke sekolah, mereka bahkan diantar jemput mobil dan sudah semuanya makan pakai garpu dan pisau di restoran tetapi tanpa celana dalam.

Pada hari pertama Festival Teater Jakarta ke-37, ketika semua “kecap” di atas saya lontarkan dalam sebuah diskusi, seorang anak muda bertanya. Ketika dunia sudah memasuki era global, konsep jarak menyempit dan orang menari Jawa di mana-amana di seluruh dunia, apa masih ada perlunya bicara tentrang tradisi? Bukankah semua orang sudah menjadi manusia dunia di alam global?

Saya langsung teringat ketika ada rembugan tentang Cetak Biru Pendidikan. Saat itu dilahirkan slogan pendikan nasional sebagai: “mendidik manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif”. Rumusan itu menjelaskan bahwa era globalisasi sudah mendikte target pendidikan Indonesia adalah untuk bersiap bersaing dengan mengadu kecerdasan. Dalam rumusan kecerdasan, kebijakan belum tentu terbawa. Padahal kebijakan/kearifan adalah senjata konta kita yang sebenarnya. Kita sudah terkecoh, terpancing untuk bertempur di areal kekuatan utama orang lain. Kita sudah disihir sehingga mengabaikan potensi kita.. Pasti kalah. Masih untung kalau masih hidup.

Kita perlahan-lahan dicukur plontos, sehingga kehilangan karakter. Tetapi tidak dibiarkan mati. Karena budak sangat diperlukan dalam pembangunan dunia maju. Lalu kita dicuci otak agar percaya bahwa era globalisasi membuat kita menjadi bangsa urban yang harus bangga menjadi penduduk dunia. Kita telah direkayasa untuk memulyakan pembunuh identitas sebagai sebuah gerakan moral menyongsong era baru dunia. Ini benar-benar sandiwara – sebuah tipu-daya yang kejam tapi sukses.

Dalam kesempatan yang lain, di sebuah seminar yang diselenggralan ISI Padangpanjang sebelumnya, saya juga dikritik habis oleh seorang dosen muda. Beliau dengan sengit dan marah mempertanyakan, mengapa hari gini masih mempersoalkan antara tradisi dan modern. Bagi dia persoalan itu sudah selesai dan lapuk. Saya tak menjawab, karena saya berharap dia akan mati pelan-pelan oleh pernyataannya sendiri. Sombong dan PD adalah sebuah kenyataan baru khususnya mewabah setelah era reformasi yang memberikan fatwa bahwa suara orang lain hanya bising knalpot).



Yang kedua, drama adalah pertunjukan yang didominasi oleh tutur dengan cerita/kabar yang menjadi unsur pokoknya. Dengan memproklamirkan sebagai seni tutur, unsur tari dan (seni) suara tertendang hanya sebagai unsur sampingan yang tidak penting. Cerita (wara) menjadi primadona, sehingga kebaruan cerita menjadi dimulyakan. Sementara di dalam teater tradisi, cerita hanya menjadi salah satu syarat berkumpul. Karena sudah sama-sama diketahui, cerita menjadi jembatan penghubung. Bagaimana cerita itu disampaikan (oleh dalang dalam wayang, misalnya), itulah yang menjadi bagian penting dari setiap pergelaran.


(Tutur atau cerita di dalam teater tradisi hanya jembatan penghubung. Mengajak semua pemirsa untuk berpegang kepada satu titik yang sudah mereka ketahui di luar kepala semuanya. Bukan unsur kebaruannya yang menjadi penting, tetapi justru pengulangannya. Ulangan itu memaksa hal-hal yang bersifat phisikal menjadi tindak penting, karena ketika sesuatu diulang dengan kecepatan yang kadangkala sama sekali dengan sebelumnya, terjadilah pengendapan, pendalaman yang mengeluarkan secara fantastis hal-hal yang sebelumnya tidak kasat mata.

Seorang nenek menuturkan kepada cucunya cerita yang sama berulang-ulang dan selalu menenggelamkan cucunya ke tidur yang dalam. Cerita tentang moral, yang memamerkan karma-pala disampaikan sebagai sesuatu yang sama, tetapi akibatnya berbeda-beda, karena semakin diresapi, setiap batin menggali dirinya sendiri, menemukan pertanyaan dan jawaban yang dibutuhkan oleh masing-masing, sehingga hasilnya bisa sangat berbeda padahal dari sesuatu yang sama.

Teater dalam tradisi adalah sebuah upacara. Sebuah pengulangan, seperti siklus, tetapi setiap pengulangan selalu punya sisi batin yang lain karena desa-kala-patra berbeda.

Tidak ada penonton dan tidak ada pelaku, semuanya adalah peserta yang dengan seluruh jiwa raganya menggulirkan prosesi itu sampai tuntas. Bukan dengan ukuran estetika tetapi kebutuhan jiwa. Moralitas yang disampaikan pun tidak hitam-putih, tetapi hitdam sekaligus putih. Di dalam teater Bali, pertempuran antara hitam dan putih dalam teater Calon Arang, tak selalu hanya dimenangkan oleh putih. Putih dan hitam nenang silih berganti, sesuai dengan desa-kala-patra.

Desa (tempat), kala (waktu), patra (situasi, suasana) adalah satu kesatuan yang mem bentuk setiap realita. Ini segitiga yang terus mengalir dalam satu gebrakan, sehingga nilai –nilai yang baku dalam satu masa, tak pernah bisa selamanya dijadikan pegangan. Nilai itu sendiri mengandung converter untuk melakukan harmonisasi bahkan setiap deti. Dia tumbuh, berkembang, berubah, berproses.

Tradisi lewat teater mengajarkan bahwa nilai itu bukan benda mati tapi hidup. Nilai tidak berhenti pada satu moralitas yang tak pernah terbunuh, tidak beku di satu tempat, waktu dan situasi, tetapi terus mengalir dan melaraskankan dirinya. Kita menyebutnya harmoni – sebuah paradigma yang menunjuk karakter Timur yang berbeda dengan alam pikiran Barat.

Dengan menundukkan diri pada pakem sandiwara, secara tak sengaja, kita sudah menyunat berbagai kearifan lokal yang tersimpan dalam tradisi. Lewat sandiwara referensi Barat telah menjadi senjata rahasia menaklukkan Timur. Maka kita memiliki kewajiban moral untuk menyeretnya kembali ke wilayah nol. Itulah yang saya sedang usahakan sekarang dengan berbagai jalan yang genit atau nyeleneh.)



Kedua tonggak yang ditancapkan sandiwara itu, meyebabkan sandiwara terpisah habitatnya dengan teater tradisi. Sandiwara hanya hidup di lingkungan terpelajar dan perkotaan.

Pembagian wilayah itu kemudian memberikan status sosial. Seni drama adalah tontonan kaum terpelajar/menengah ke atas. Di situ Barat tidak hanya sekedar referensi, menjadi kiblat. Estetika Barat menjadi hukum dan dogma yang bahkan kemudian menyebabkan sandiwara bermusuhan dengan kehidupan teater tradisi yang berkiblat pada kearifan lokal.

Sandiwara atau drama yang kemudian dikenal dengan sebutan teater modern, mempergunakan bahasa Indonesia. Pertunjukannya yang memulyakan realisme, penuh kesadaran terhadap kehadiran penonton yang terpisah dari tontonan. Sementara teater tradisi berada di sebaliknya.

Teater tradisi memakai bahasa daerah, erat hubungannya dengan upacara dan merupakan peristiwa bersama yang seringkali bernuansa spiritual. Dalam kegiatan teater tradisi tak ada batas antara seni tutur dengan seni tari dan seni suara. Teater tradisi adalah tontonan dengan segala unsur yang memungkinkan untuk berekspresi. Tak ada batas antara tontonan dan penonton.

Bertahun-tahun terjadi pemisahan dan permusuhan diam-diam antara teater modern dan teater tradisi. Tak kurang dari akademi-akademi teater sendiri, mengartikan mempelajari teater adalah mempelajari teater Barat. Teater tradisi dipenjarakan delam label “kesenian daerah”. Para pengadi teater sama sekali tidak peduli, bahwa di dalam teater tradisi begitu banyak ilmu. Kearifan yang bahkan membuat maestro pelopor teater modern di mancanegara seperti Antonin Artoud, Bertold Brecht dan Peter Brook belajar dan menyusun paradigma teaternya yang kemudian menentukan perjalanan teater Barat sendiri.

Perbedan kedua jenis teater itu (teater modern dan teater tradisi) mulai terhenti ketika Taman ismail Marzuki berdiri pada tahun 1968. Berbagai interaksi intensif yang terjadi di TIM selama 10 tahun, antara kedua jenis teater itu, melahirkan satu kesepakatan baru. Saya menamakannta “tradisi baru”. Tradisi baru adalah upaya untuk melepaskan Barat sebagai kiblat dan menganggapnya hanya salah satu referensi saja.

Puncak-puncak pencapaian pertunjukan teater pada era 70-an (Bengkel Teater, Teater Populer, Teater Kecil, STB, berbagai kelompok tetar dari beberapa kota antara lain: Medan, makasar, Surabaya, Yogya dll) menjadi referensi baru. Tradisi Baru menjadi tempat kehidupan teater modern Indonesia berkiblat pada akar Indoneisa dalam perkembangan selanjutnya.

Sejak adanya tradisi baru, teater modern Indonesia tidak lagi terpisah dengan teater tradisi. Keduanya membangun kerjasama dan melahirkan teater modern Indonesia yang Indonesia. Berbagai idiom teater tradisi yang berasal dari kearifan lokal memperkaya dan sekaligus membuat kehidupan teater modern di Indonesia menjadi berakar kepada tradisi.

Interaksi tak hanya terbatas pada bentuk, tetapi lebih dari itu, justru interaksi di dalam semangat, jiwa dan roh yang membuat perjalanan teater modern Indonesia berubah. Kini teater Indonesia bukan lagi hanya sekedar “sandiwara”, tetapi ekspresi manusia Indonesia dalam wujud tontonan.

Dan tontonan bukan lagi hanya sekedar pertunjukan yang menjadi penghibur bagi penonton yang terhormat karena sudah membeli karcis, tetapi peristiwa bersama. Sebuah upacara bersama untuk mendapatkan pengalaman batin yang dapat memperkaya baik yang menonton maupun yang menontonkan.

Bila Barat memulai dramaturginya dari masa Yunani Kuno, kita perlu mencatat, agar kemudian mengetahui betapa panjang proses yang sudah ditempah teater Barat, sebelum sampai pada Shakespearre, Molierre, Stanilavsy. Bolelavsky , Antonin Artoud. Brecht, Grotowsky, Ionesco, Beckett dan sebagainya.

Tetapi bila teater Indonesia kontemporer hendak disimak, tak cukup hanya berkaca pada dramaturgi Barat, karena wayang, ludruk, ketoprak, makyong, debus, jatilan dan sebagainya sudah ikut ambil bagian. Memahami pertunjukan-pertunjukan Indonesia dari hanya kaca-mata Barat, adalah sebuah kesalahan besar, yang seharusnya tidak dilakukan lagi.

Perjalanan teater modern Indonesia yang bahu membahu dengan teater tradisi sejak masa tradisi baru sempat melahirkan naskah-naskah baru. Idiom-idiom baru. Para pekerja teater yang baru. Kesemuanya itu memberikan harapan terhadap masa depan teater modern Indonesia yang akan sangat berperan di blantika internasional. Teater Indonesia, sebagaimana juga teater India, Jepang dan Cina, memiliki latar belakang yang kaya dan kuat untuk tampil sebagai salah satu pilar teater dunia.

Tetapi belakangan ini, karena miskinnya dokumentasi, seluruh proses kreatif “tradisi baru” itu mulai kematian angin. Sejalan dengan merosotnya kembali perkembangan teater modern Indonesia yang diakibatkan oleh bangkitnya industri dalam kehidupan kesenian Indonesia, temuan-temuan berharga mulai tercecer. Dan ketika gas teater mulai ditancap lagi, di dalam Festival Teater Jakarta, misalnya, nampak rada terlambat. Arus balik untuk kembali berkiblat kepada Barat sudah mulai santer kembali.

Itulah pentingnya untuk membongkar kembali, dokumen-dokumen dari gudang teater kita yang tidak terpelihara. Betapa berharganya sudah temuan-temuan yang kita hasilkan. Bagaimana menjaga agar tradisi baru itu terus menjadi kendaraan, untuk menyalakan tungku kearifan lokal dalam tradisi ke dalam ke kehidupan teater modern Indonesia. Tak hanya bentuk, tetapi terutama jiwanya.

Belum lama, saya dan Teater Mandiri menyelenggarakan roadshow ke 13 kota dalam rangka mempeingati 100 hari kepergian Rendta. Di Mojokerto kami menemukan sound system, lighting yang kurang memadai untuk bisa menampilkan pertunjukan di Gelanggang Olahraga yang besar itu. Beberapa kesalahan teknis terjadi. Untuk menutupinya, sambil main saya berkomunikasi langsung dengan para awak pentas, pura-pura marah dan memberikan arahan. Penonton yang semula sangat pasif kemudian jadi encer dan tertawa, ketika batas tontonan ditembus seperti itu. Sejak saat itu pertunjukan menjadi komunikatif dan meriah.

Tapi apa kata seorang wartawan yang menulis di Radar Mojokerto. Dia mengeritik saya dengan mengatakan bahwa aksi saya terganggu karena saya jadi sempat marah-marah pada awak pentas yang sebenarnya adalah anak buah yang sudah saya latih sendiri. Dalam contoh itu jelas, penulis resensi tidak paham, bahwa kemarahan itu disengaja untuk mengatasi keadaan, sehingga jurang antara penonton dan tontonan tertutupi, sebagaimana yang sangat biasa dilakukan dalam pertunjukan tradisi.

Apa yang terjadi pada teater (baca: kesenian) tidak hanya urusan orang teater tok. Saya lihat penjajahan baru ini juga melanda kehidupan politik, sosial dan ekonomi bahkan seluruh cakupan kehidupan budaya kita sekarang.

Paradigma tentang demokrasi, keadilan, kepatutan, hukum, bahkan moral dan sebagainya, kini kembali “dikadali” oleh alam pikiran “kolonial”, dengan mengatasnamakan era global. Maka para pemimpin kita pun bertengkar sementara rakyat tersaruk-saruk mengatasi jalannya sendiri di berbagai wilayah. Gerakan moral membangkitkan kembali kearifan lokal, agar lepas dari cengekeraman “kolonialisme budaya”, adalah peluang yang dahsyat.

Mengingatkan betapa hebatnya kekayaan dalam teater tradisi; betapa saktinya kearifan lokal di dalam jiwa tradisi dan karenanya betapa salahnya kalau memusuhi tradisi; betapa salahnya kalau keliru di dalam menangkap esensi (baca: kearifan/kebijakan lokal) tradiisi memang sesuatu yang sudah klise. Tetapi terpaksa harus kita genjot lagi sekarang, karena adanya arus balik untuk kembali mencampakkan “tradisi” (baca: kearifan lokal) dan terbius oleh hasrat berkiblat ke Barat.

Tak kurang dari mereka yang berkepentingan menarik keuntungan dari kematian kita, sudah mengkampanyekan secara sistimastis, secara besar-besaran bahwa tradisi atau identitas (sekali lagi baca: kearifan lokal) itu adalah tanda jiwa yang sudah mati dibekuk oleh alam mimpi, romamantika zaman baheula yang sudah tinggal mumminya.

Kolonialisme budaya memang isyu yang sudah klise, tetapi harus kita lawan sebelum benar-benar menelan kita habis. Yang paling terancam adalah masyarakat perkotaan dan para urban yang sudah berjarak dengan akar budayanya. Tetapi kebangkitan kembali justru akan berkobar di dalam kota, karena manusia-manusia kotalah yang paling pertama merasa dirinya sunyi, gamang karena kehilangan identitas.


Selamat berjuang.


Jakarta 21 Desember 09