Kamis, 30 Juli 2009

Klinik Bahasa Kita

Di dalam bahasa cakapan kita sering mendengar orang mengucapkan kata suka alih-alih kata sering, seperti pada kalimat berikut.
1. Saya suka/sering lupa waktu kalau lagi asyik bekerja.Pada kalimat itu, baik suka
maupun sering, dapat digunakan bergantian karena dalam bahasa cakapan salah satu
makna kata suka ialah 'sering'.Dalam bahasa resmi, pemakaian kedua kata itu harus
dibedakan dengan cermat sebab makna keduanya memeng berbeda. Pada contoh
berikut suka tidak dapat digantikan oleh sering karena sering berarti 'acapkali' atau
'kerapkali'.
2. a. Dia adalah teman dalam suka dan duka.
b. Saya suka akan tindakannya.
c. Ambillah kalau Anda suka.
d. Jarang sekali ada ibu yang tidak suka akan anaknya.
Pada contoh (2a) itu kata suka bermakna 'girang', 'riang', atau 'senang'; pada (2b) berarti 'senang'; pada (2c) berarti 'mau', 'sudi', atau 'setuju';pada (2d) berarti 'sayang'.
Banyak orang mengatakan, baik para politisi, penyiar, pejabat maupun masyarakat umum menggunakan kata elite di dalam berbagai kesempatan, tetapi pengucapan kata tersebut beragam. Ada yang mengucapkan /elit/ dan ada pula /elite/.Dari kedua cara pengucapan itu, mana yang baku?Kata elite berasal dari bahasa Latin /eligere/ yang berarti 'memilih' dalam bahasa Indonesia kata elite berarti 'orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok' atau 'kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi (kaum bangsawan, cendekiawan, dsb.).Dalam bahasa latin huruf /e/ pada akhir kata mustinya diucapakan.Oleh karena itu, kata elite harus diucapakan /elite/, bukan /elit/.Begitu juga dengan bonafide harus diucapkan /bonafide/, buksn /bonsfid/ atau faksimile harus diucapkan /faksimile/, bukan /faksimil/,/feksimil/ atau /feksemail/.
Kata pirsa jika diberi imbuhan pe- menjadi pemirsa. Kata pirsa (berkategori verba) berasal dari bahasa daerah yang berarti 'tahu' atau 'melihat'.Prefiks pe- (bertalian dengan prefiks verbal me-) di dalam bahasa Indonesia, antara lain, mengandung makna 'orang yang me-' atau 'orang yang melakukan'.Kata pemirsa, berarti 'orang yang melihat atau mengetahui'. Kata itu kemudian digunakan sebagai istilah di dalam media massa elektronik, khusunya televisi, yang secara khusus diberi makna 'orang yang menonton atau melihat siaran televisi atau penonton televisi'.Kata pirsawan sebaiknya dihindari sebab kata itu dibentuk dari kata dasar verba pirsa dan imbuhan -wan, yang merupakan bentukan kata yang tidak lazim.Imbuhan -wan lazim dilekatkan pada kata dasar yang berupa nomina rupa-->rupawan, harta--> hartawan; atau dilekatkan pada adjektiva, seperti setia-->setiawan.
Kata menyolok dan mencolok sama-sama sering digunakan oleh pemakai bahasa Indonesia. Meskipun demikian, di antara keduanyahanya satu bentukan yang sesuai dengan kaidah pembentukan kata bahasa Indonesia.Untuk mengetahui bentukan kata yang benar, kita perlu mengetahui kata dasar dari bentukan itu. Untuk itu, kita dapat memeriksanya di dalam kamus.Dalam kamus bahasa Indonesia, terutama Kamus Besar Bahasa Indonesia, ternyata hanya ada kata dasar colok. Tampaknya, perbedaan bentukan kata itu timbul karena adanya perbedaan pemahaman mengenai proses terjadinya bentukan kata itu.Sesuai dengan kaidah, kata dasar yang berawal dengan fonem /c/, jika mendapat imbuhan me-, bentukannya menjadi mencolok, bukan menyolok, karena fonem /c/ pada awal kata dasar tidak luluh.Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia bentuk kata yang baku adalah mencolok bukan menyolok.


Adakah perbedaan makna kata juara dan pemenang? Untuk mengetahui jawaban pertanyaan itu, kita perlu mengetahui makna kedua kata itu.juara(1) 'orang (regu) yang mendapat kemenangan dalam pertandingan terakhir(2) 'ahli; terpandai dalam sesuatu (pelajaran dan sebagainya)'(3) 'pendekar; jagoan'(4) 'pengatur dan pelerai dalam persabungan ayam'(5) 'pemimpin peralatan (pesta dan sebagainya)'.pemenang 'orang (pihak) yang menang'Kata pemenang dapat dipakai untuk orang yang menang bertanding atau berlomba, tetapi tidak dapat dipakai untuk menyatakan orang terpandai di kelas.Misalnya, Didi adalah juara I di kelasnya, tetapi tidak pernah dikatakan Didi adalah pemenang I di kelasnya.Sebaliknya, kata juara dipakai untuk orang atau regu yang menang bertanding atau berlomba ataupun orang terhebat dalam sesuatu (pelajaran dan sebagainya).Namun, kata juara tidak dipakai untuk menyebut orang yang memenangi undian. Misalnya, Dia pemenang I undian berhadiah itu, tetapi tidak pernah dikatakan Dia juara pertama undian berhadiah itu.



Dalam berbahasa, kata anarkis tampaknya lebih banyak digunakan daripada kata anarkistis. Kedua kata itu, sering kali digunakan dalam pengertian yang tertukar. Sebagai contoh, perhatikan kalimat berikut.Para demonstran diharapkan tidak melakukan tindakan yang anarkis.Kata anarkis pada kalimat itu tidak tepat. Untuk mengetahui hal itu, kita perlu memahami pengertian kata anarkis.Kata anarkis anarchist berkelas nomina dan bermakna 'penganjur (penganut) paham anarkis' atau 'orang yang melakukan tindakan anarki'.Dari pengertian tersebut ternyata kata anarkis bermakna 'pelaku', bukan 'sifat anarki'. Padahal, kata yang diperlukan dalam kalimat tersebut adalah kata sifat untuk melambangkan konsep 'bersifat anarki'. Dalam hal ini, kata yang menyatakan 'sifat anarki' adalah anarkistis, bukan anarkis.Kata anarkis sejalan dengan linguis 'ahli bahasa' atau pianis 'pemain piano' sedangkan anarkistis sejalan dengan optimistis 'bersifat optimis' dan pesimistis 'bersifat pesimis'.Dengan demikian, kata anarkis pada kalimat tersebut lebih baik diganti dengan kata anarkistis sehingga kalimatnya menjadi sebagai berikut.Para demonstran diharapkan tidak melakukan tindakan yang anarkistis.Lalu, bagaimanakah penggunaan kata anarkis yang tepat?Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kata anarkis bermakna 'pelaku', yaitu 'orang yang melakukan tindakan anarki'. Oleh karena itu, penggunaannya yang tepat adalah untuk menyatakan 'pelaku' atau 'orang yang melakukan tindakan anarki'.Contohnya dapat disimak pada kalimat berikut.Pemerintah mengingatkan masyarakat agar tidak berlaku sebagai anarkis dalam melakukan unjuk rasa.Perlu pula diketahui kata anarki bermakna (1) hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban';(2)'kekacauan (dalam suatu negara)'.Anarkisme bermakna 'ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara; teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dalam undang-undang'.







Kata afiliasi sering digunakan, seperti pada SMU Afiliasi atau perguruan tinggi afiliasi. Afiliasi adalah 'gabungan sebagai anggota atau cabang'.Setiap anggota atau cabang itu mempunyai hubungan berjenjang naik dengan pusat yang digabunginya.Misalnya, sebuah universitas yang belum lama didirikan dan masih belum maju serta belum berprestasi tinggi di bidang akademis berafiliasi dengan universitas yang maju, modern, dan berprestasi tinggi.Universitas yang masih muda dan belum maju itu merupakan afiliasi, anggota, atau cabang dari universitas yang sudah maju dan modern.Asosiasi (association) adalah 'organisasi atau kumpulan orang yang memiliki satu tujuan yang sama (biasanya) yang bertujuan positif'.Kata asosiasi biasanya digunakan untuk menyatakan hubungan bagi organisasi yang berbadan hukum.

Ada sementara orang yang mempertanyakan arti kata termohon. Mereka beranggapan bahwa kata tersebut berarti 'tidak sengaja dimohon'.Awalan ter- memang memiliki arti, (1) 'tidak sengaja' seperti pada kata tertidur atau terbawa dan (2) 'paling' seperti pada kata terpandai atau terjauh.Itulah sebabnya, kata termohon sering diartikan 'tidak sengaja dimohon'. Padahal, arti awalan ter- tidak hanya itu. Arti awalan ter- yang lain adalah 'dapat di-' atau 'dalam keadaan di-' seperti dalam kalimat berikut.Masalah itu teratasi saat petugas keamanan datang di lokasi kejadian.Kata teratasi pada kalimat diatas berarti 'dapat diatasi'Bagaimana dengan kata termohon? Awalan ter- pada kata termohon sama artinya dengan awalan di-. Jadi, termohon berarti 'orang yang dimohoni'. atau 'orang yang dimintai permohonan'Dalam bidang hukum yang dimohon itu ialah 'pemulihan nama baik'.Istilah termohon digunakan, misalnya, dalam kasus praperadilan. Seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil oleh lembaga, misalnya kepolisian, dapat mempraperadilkan lembaga tersebut.Dalam hubungan itu, pihak kepolisian disebut sebagai pihak termohon, sedangkan pihak yang mempraperadilkan disebut pemohon.Dalam kasus perkara pidana pihak ap[arat penegak hukum, termasuk kepolisian, biasa menjadi pihak yang bertindak aktif untuk mengumpulkan bukti yang diperlukan.Namun, dalam hubungannya dengan istilah termohon, pihak aparat hukum, dalam hal ini kepolisian menjadi pihak yang tidak aktif bertindak atau tidak proaktif.Hal itu terjadi karena yang berinisiatif adalah pihak pemohon, bukan termohon. Dalam hal itu, kjata pemohon berarti 'pihak/orang yang memohon'
Kandungan makna kata hanya dan saja tidak sama atau berbeda. Oleh karena itu, kedua kata tersebut, yaitu hanya dan saja, tidak dapat saling menggantikan posisi dan makna yang sama di dalam sebuah kalimat.Fungsi kata itu masing-masing di dalam kalimat berbeda. Kata hanya menerangkan kata atau kelompok kata yang mengiringinya, sedangkan kata saja menerangkan kata atau kelompok kata yang mendahuluinya.Contoh pemakaian kata hanya dan saja yang tepat menurut kaidah bahasa Indonesia(1) Saya hanya memiliki dua orang anak.(2) Saya memiliki dua orang anak saja.(3) Orang itu hanya memikirkan diri sendiri.(4) Orang itu memikirkan diri sendiri saja.

Kata rakyat dan masyarakat mempunyai makna yang mirip. Kata rakyat berkaitan dengan sebuah negara, sedangkan kata masyarakat berkenaan dengan kelompok sosial yang tinggal di suatu wilayah negara.Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata rakyat berarti 'segenap penduduk suatu negara, sedangkan masyarakat berarti 'sejumlah manusia yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama'.Di dalam bahasa Inggris kata rakyat maknanya sama dengan kata people dan di dalam bahasa Belanda disamakan maknanya dengan kata volksPadanan kata masyarakat di dalam bahasa Inggris adalah communityMakna kata itu berkaitan dengan adat-istiadat dan budaya yang sama, seperti dalam ungkapan masyarakat desa, yaitu kelompok sosial yang terikat oleh kesamaan tatanan dan tradisi serta pola hidup yang berlaku di lingkungan pedesaan.
Komunikasi di bidang ekonomi atau perbankan tidak jarang menggunakan istilah debet, misalnya pada lajur debet dan lajur kredit. Frekuensi penggunaan istilah lajur debet cukup tinggi, tetapi bentuk istilah yang benar adalah lajur debit, kata debit diserap secara utuh dari kata Inggris debitBentuk istilah itu merupakan gabungan dua kata, yaitu lajur dan debit yang membentuk istilah baru lajur debit. Dari bentuk istilah debit dapat dibentuk paradigma istilah yang bersistem debitor.Istilah debit juga digunakan dengan pengertian 'jumlah air yang di pindahkan dalam suatu satuan waktu tertentu pada titik tertentu di sungai terusan, atau saluran air' (seperti dalam debit air)Kenyataan adanya bentuk polisemi--sebuah bentuk kata yang maknanya lebih dari satu--itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengganti istilah debit menjadi debet.Dalam bidang ekonomi badan perbankan pun debit memiliki makna lebih dari satu:(1) 'uang yang harus ditagih dari orang lain; piutang';(2) 'catatan pada pos pembukuan yang menambah nilai aktiva atau mengurangi jumlah kewajiban; jumlah yang mengurangi deposito pemegang rekening pada banknya'.
Dalam berbagai wawancara kita sering mendengar orang mengatakan mengkritisi, seperti dalam kalimat Kita harus tetap mau mengkritisi pemerintah agar kinerja bertambah baik. Betulkah pemakaian kata mengkritisi itu? Kritik (nomina) dan critics (Inggris) dapat diturunkan menjadi verba mengkritik, yang berarti ‘melakukan kritik’ atau ‘memberikan kritik’ (Inggris: to criticize atau to give critical opinion). Mengkritisi merupakan bentuk yang salah karena seharusnya mengkritik, yang berasal dari meng- + kritik, seperti juga meng- + gunting dan men- + cangkul. Walaupun kritik, gunting, dan cangkul berkelas nomina, menggunting, mengkritik, dan mencangkul berkelas verba. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditemukan kata kritisi dan kritikus, tetapi nomina itu tidak dibentuk menjadi verba. Jadi, bentuk yang benar adalah meng + kritik mengkritik. Bukankah kita juga tidak mengatakan mempolitisi,à(pangkal verba) mengakademisi, dan memusisi, tetapi mempolitik (kan), mengakademikan, dan memusik (kan). Dalam berbagai wawancara kita sering mendengar orang mengatakan mengkritisi, seperti dalam kalimat Kita harus tetap mau mengkritisi pemerintah agar kinerja bertambah baik. Betulkah pemakaian kata mengkritisi itu? Kritik (nomina) dan critics (Inggris) dapat diturunkan menjadi verba mengkritik, yang berarti ‘melakukan kritik’ atau ‘memberikan kritik’ (Inggris: to criticize atau to give critical opinion). Mengkritisi merupakan bentuk yang salah karena seharusnya mengkritik, yang berasal dari meng- + kritik, seperti juga meng- + gunting dan men- + cangkul. Walaupun kritik, gunting, dan cangkul berkelas nomina, menggunting, mengkritik, dan mencangkul berkelas verba. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditemukan kata kritisi dan kritikus, tetapi nomina itu tidak dibentuk menjadi verba. Jadi, bentuk yang benar adalah meng + kritik mengkritik. Bukankah kita juga tidak mengatakan mempolitisi,à(pangkal verba) mengakademisi, dan memusisi, tetapi mempolitik (kan), mengakademikan, dan memusik (kan).


Dalam komunikasi sehari-hari, baik lisan maupun tulis, kita sering menemukan penggunaan bentuk kata standarisasi di samping kata standar. Penggunaan bentuk tersebut terjadi karena sebagian orang menganggap bahwa dalam bahasa Indonesia ada kata standar yang dapat dibentuk menjadi standarisasi setelah ditambah akhiran –isasi. Anggapan seperti itu menimbulkan pertanyaan apakah dalam bahasa Indonesia ada akhiran –isasi. Jawabannya adalah tidak ada. Akhiran –isasi, dari bahasa Inggris –ization, masuk ke dalam bahasa Indonesia bersama dengan kata dasarnya. Perhatikan contoh penyerapan berikut ini. Organization menjadi organisasi Mobilization menjadi mobilisasi Jadi, kata organisasi berasal dari bahasa Inggris organization, bukan dari kata dasar organ ditambah akhiran –isasi dan kata mobilisasi berasal dari mobilization, bukan dari kata dasar mobil ditambah akhiran –isasi meskipun kita tahu kata organ dan mobil ada dalam khazanah kata bahasa kita. Dari kedua contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk standarisasi tidak benar. Bentuk yang benar adalah standardisasi karena bentuk tersebut diserap dari bahasa Inggris standardization. Sementara itu, kata standard diserap menjadi standar. Jadi, kedua bentuk itu, standar dan standardisasi sama-sama diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Bentuk aktivitas dan aktifitas tidak akan tampak perbedaannya bila dilafalkan. Namun, bila kedua bentuk tersebut terdapat dalam tulisan , kita akan dapat melihat perbedaannya. Bentuk aktivitas ditulis dengan menggunakan huruf , sedangkan aktifitas menggunakan huruf . Sebagai penutur bahasa yang cermat, tentu saja kita akan bertanya manakah di antara kedua bentuk tersebut yang benar. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus mengingat kembali kaidah tentang penyerapan kata asing. Dalam bahasa Indonesia kata asing diserap dalam bentuk kata dasar ataupun kata berimbuhan. Imbuhan asing, seperti akhiran –ization dan –ity, tidak diserap secara lepas dari kata dasarnya. Dengan kata lain, imbuhan asing diserap bersama kata dasarnya. Berikut ini contohnya. Kata active diserap menjadi aktif, sedangkan kata berimbuhan activity diserap menjadi aktivitas. Sesuai dengan kaidah, kata yang berakhiran –ity diserap menjadi –itas, seperti university dan reality menjadi universitas dan realitas. Mengapa timbul bentuk aktifitas? Bentuk ini timbul karena sebagian orang beranggapan bahwa kata aktifitas berasal dari kata dasar aktif diberi akhiran –itas. Padahal, akhiran –itas tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Jadi, bentuk yang benar adalah aktivitas. Tipe yang sama dapat kita jumpai pada kata efektif dan efektivitas.

Kata kurban dan korban berasal dari kata yang sama dari bahasa Arab, yaitu qurban ( ). Dalam perkembangannya, kata qurban diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan penyesuaian ejaan dan dengan perkembangan makna, yaitu sebagai berikut: Kurban [ kurban] berarti ‘persembahan kepada Tuhan (seperti kambing, sapi, dan unta yang disembelih pada Lebaran Haji)’ atau ‘pemberian untuk menyatakan kesetiaan atau kebaktian’. Korban [korban] berarti orang atau binatang yang menderita atau mati akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya. Contoh penggunaan dalam kalimat: 1) Menjelang Lebaran Haji harga ternak kurban naik. 2) Sebagian korban kecelakaan itu dapat diselamatkan.
Bahasa prokem adalah bahasa sandi, yang dipakai dan digemari oleh kalangan remaja tertentu. Bahasa ini konon berasal dari kalangan preman. Bahasa prokem itu digunakan sebagai sarana komunikasi di antara remaja sekelompoknya selama kurun tertentu. Sarana komunikasi diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok usia lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya. Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. Hal itu merupakan perilaku kebahasaan dan bersifat universal.
Kosakata bahasa prokem di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya. Bahasa prokem berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan menggunakan bahasa prokem, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.
Kehadiran bahasa prokem itu dapat dianggap wajar karena sesuai dengan tuntutan perkembangan nurani anak usia remaja. Masa hidupnya terbatas sesuai dengan perkembangan usia remaja. Selain itu, pemakainnya pun terbatas pula di kalangan remaja kelompok usia tertentu dan bersifat tidak resmi. Jika berada di luar lingkungan kelompoknya, bahasa yang digunakannya beralih ke bahasa lain yang berlaku secara umum di lingkungan masyarakat tempat mereka berada. Jadi, kehadirannya di dalam pertumbuhan bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah tidak perlu dirisaukan karena bahasa itu masing-masing akan tumbuh dan berkembang sendiri sesuai dengan fungsi dan keperluannya masing-masing.
Berikut ini beberapa contoh kata bahasa prokem:
bokap ‘bapak’
bonyok ‘bapak dan ibu’
cacing ‘petugas keamanan’
cuek ‘tidak acuh’
doi ‘dia’
doku ‘uang’
hebring ‘sangat hebat’
nglinting ‘mengisap ganja’
nyokap ‘ibu’


Sejalan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1987, wilayah waktu di Indonesia dibagi menjadi tiga yang masing-masing dikenal oleh masyarakat dengan singkatan WIB, Wita dan WIT. Bentuk kepanjangannya masing-masing adalah Waktu Indonesia Barat, Waktu Indonesia Tengah, dan Waktu Indonesia Timur. Pada ungkapan itu kata barat, tengah, dan timur menerangkan kelompok kata waktu Indonesia dan bukan hanya menerangkan kata Indonesia. Dengan demikian, harus ditafsirkan bahwa yang dibagi adalah wilayah waktu, bukan wilayah (pemerintahan) Indonesia menjadi Indonesia Barat, Indonesia Tengah, ataupun Indonesia Timur.
Dalam penggunaannya di masyarakat muncul singkatan BBWI, alih-alih WIB. Ada yang menyebutkan kepanjangannya (a) Bagian Barat Wilayah Indonesia dan ada pula yang menyebutkan (b) Bagian Barat Waktu Indonesia. Kepanjangan (a) tidak mengacu ke wilayah waktu. Selain itu, Bagian Barat Wilayah Indonesia dapat ditafsirkan ‘daerah yang terletak di sebelah barat di luar wilayah Indonesia’ karena dalam urutan kata seperti itu kelompok kata bagian barat diterangkan oleh kelompok kata wilayah Indonesia. Kepanjangan (b) lebih kacau lagi tafsirannya karena kelompok kata bagian barat yang diterangkan oleh kelompok kata waktu Indonesia sulit dipahami maknanya. Dalam hal itu terjadi pembalikan urutan diterangkan-menerangkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pusat Bahasa menganjurkan agar masyarakat pemakai bahasa Indonesia untuk tetap menggunakan ungkapan yang lazim dan benar menurut kaidah bahasa Indonesia. Dengan demikian, di dalam hal pembagian (wilayah) waktu di Indonesia, penggunaan singkatan yang benar adalah WIB (bukan BBWI).

Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.


Dalam bahasa Indonesia ada jenis kata yang diserap dari bahasa Sanskerta. Salah satu di antaranya ialah kata bilangan, seperti eka, dwi, catur, panca, sapta, dan dasa, yang bermakna ‘satu’, ‘dua’, ‘tiga’, ‘empat’, ‘lima’, ‘tujuh’, dan ‘sepuluh’. Kata bilangan yang diserap dari bahasa Sansekerta dalam bahasa Indonesia merupakan unsur terikat, yaitu unsur yang hanya dapat digabung dengan unsur lain. Sebagai unsur terikat, penulisan kata bilangan yang berasal dari bahasa Sansekerta diserangkaikan dengan unsur yang menyertainya. Dengan demikian, sapta- dituliskan serangkai dengan unsur yang menyertainya, misalnya pesona, sehingga menjadi saptapesona, bukan ditulis terpisah sapta pesona. Contoh lain adalah ekabahasa, dwiwungsi, caturdarma, pancakrida, saptamarga, dan dasasila, bukan eka bahasa, dwi wungsi, catur darma, panca krida, sapta marga, dan dasa sila. Selain itu, beberapa unsur lain yang berasal dari bahasa Sansekerta, seperti adi-, manca-, swa-, dan nara-, dalan bahasa Indonesia juga merupakan unsur terikat. Sebagai unsur terikat, penulisannya juga diserangkaikan dengan unsur lain yang menyertainya. Misalnya, adikuasa, mancanegara, swasembada, dan narasumber, bukan adi kuasa, manca negara, swa sembada, dan nara sumber.

Penggunaan kata jadwal yang dituliskan menjadi jadual, seperti jadual penerbangan dan jadual pelajaran, tidaklah benar. Kata jadual dengan (u) hendaknya dituliskan dengan jadwal (w) karena di dalam bahasa asalnya, bahasa Arab, kata itu dituliskan dengan . Huruf pada kata itu diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi w, bukan u. Dengan demikian, penulisan yang benar jadwal, bukan jadual. Begitu pula, gabungan kata yang penulisannya benar adalah jadwal penerbangan dan jadwal pelajaran, bukan jadual penerbangan dan jadual pelajaran. Contoh lain, takwa dan fatwa, bukan takua dan fatua. Penulisan kata jadual dengan (u) tampaknya beranalogi pada kata kualitas. Penulisaan kata kualitas memang sudah tepat karena huruf /u/ pada kata itu memang berasal dari bahasa asalnya, Inggris, quality. Jika ada penulisan kwalitas, penulisan itu justru tidak benar. Contoh lain adalah kuantitas, bukan kwantitas.

Bentuk mal- dalam bahasa Inggris mula-mula berarti ‘buruk’, kemudian bermakna juga ‘tidak normal, salah, mencelakakan, jahat’. Dalam bahasa Jawa Kuna terdapat bentuk mala- yang diserap oleh bahasa Melayu karena memang sesuai dengan bentuk mal- Inggris dan maknanya ‘noda, cacat, membawa rugi, celaka, sengsara.’ Dalam bahasa Indonesia, mala- merupakan unsur terikat yang tidak dapat berdiri sendiri berfungsi sebagai sebuah kata dengan arti tertentu. Oleh karena itu, urutan unsurnya pun tetap. Dengan demikian, padanan istilah Inggris malpractice adalah malapraktik, bukan malpraktik, praktik mala atau praktik mala. Berikut contoh yang lain:malabsorption--> malaserap; maladaption, maladjustment --> malasuai maldistribution --> maladistribusi; malfunction --> malafungsi; malnutrition --> malagizi; malposition --> malasikap

Kata Indonesia pertama dilontarkan oleh George Samuel Earl, bangsa Inggris, untuk menamai gugusan pulau di Lautan Hindia. Namun, para ilmuwan Eropa menyebutnya dengan Melayunesia. J.R. Logan, bangsa Inggris, dalam majalah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (Volume IV, 1850:24) menyebut gagasan pulau di Lutan Hindia dengan Indonesian. Kemudian, Adolf Bastian , bangsa Jerman, dalam bukunya Indonesian Order die Inseen des Malaysichien Archipel menggunakan kata Indonesia untuk menyebut nama kepulauan yang bertebaran di lautan Hindia tersebut. Kata Indonesia itu, kemudian dalam perjalanana sejarahnya menjadi nama sebuah negara dan banhgsa di Kepulauan Nusantara yang terletak di kawasan Asia Tenggara

1 komentar:

  1. kata "memeng" pada butir 1 kalimat ketiga, bukankah seharusnya "memang". Mohon direvisi kembali

    BalasHapus