Selasa, 05 Januari 2010

KALATIDHA DAN TRAGEDI 1965 DI INDONESIA

KALATIDHA DAN TRAGEDI 1965 DI INDONESIA
Pengarang: Asep S. Sambodja
Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007) bercerita tentang peristiwa pembantaian massal terhadap orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terjadi pada 1965. Seno Gumira Ajidarma menggunakan perspektif orang-orang yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Karya ini menjadi penting dianalisis karena minimnya karya sastra yang mengangkat tema yang berkaitan dengan konteks sejarah 1965.
Artikel ini akan mengungkap gagasan Seno Gumira Ajidarma melalui suara-suara tokoh utamanya yang merupakan korban tragedi 1965 dengan pendekatan multikulturalisme. Gagasan pengarang yang mengemuka adalah mengenai kebangsaan; bagaimana penganiayaan dan pembantaian bisa terjadi di antara sesama warga negara Indonesia karena perbedaan ideologi politik.
Bagaimana cara Seno Gumira Ajidarma menceritakan kembali peristiwa bersejarah itu? Apa implikasinya bagi sejarah nasional Indonesia, khususnya sejarah pada 1965-1966 yang masih gelap itu? Dan, yang lebih mendasar lagi, apa fungsi novel Kalatidha bagi masyarakat pembaca Indonesia dalam hidup berbangsa dan bernegara?

Kata kunci: novel sejarah, multikulturalisme, tragedi 1965, pembantaian massal.

Pendahuluan
Katrin Bandel (2009) mengatakan bahwa sastrawan Indonesia yang mengangkat tema berkaitan dengan peristiwa 1965 relatif sedikit. Dari jumlah yang relatif sedikit itu, sebagian besar menggunakan perspektif yang sama dengan perspektif pemerintahan Orde Baru, yang selama masa kekuasaannya (1966-1998) menempatkan PKI sebagai bahaya laten dan lawan politik yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Beberapa contoh di antaranya adalah Pergolakan karya Wildan Yatim (1974), Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam (1975), trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982, 1985, 1986), dan Larung karya Ayu Utami (2001). Sementara sastrawan yang menggunakan perspektif yang berbeda dengan perspektif Orde Baru adalah Jamangilak Tak Pernah Menangis dan Mati Baik-baik, Kawan karya Martin Aleida (2004 dan 2009). Setidaknya ada dua alasan kenapa peristiwa 1965 jarang diangkat sastrawan Indonesia sebagai latar belakang cerita dalam cerpen atau novel mereka. Pertama, peristiwa bersejarah itu sengaja digelapkan oleh rezim Orde Baru, sehingga banyak sastrawan yang tidak tahu secara persis mengenai peristiwa tersebut. Kedua, dengan pengetahuan sejarah 1965 yang sangat terbatas seperti itu, sangat sedikit sastrawan Indonesia yang berani mengangkat cerita dengan latar belakang sejarah 1965.
Seno Gumira Ajidarma adalah salah satu dari sedikit sastrawan Indonesia yang berani mengangkat cerita dengan latar belakang peristiwa 1965. Meskipun Seno Gumira Ajidarma mengakui bahwa Kalatidha merupakan karya pesanan dengan bayaran yang lumayan besar, sebagaimana yang dikatakannya dalam sebuah diskusi di FIB UI pada 8 April 2008, namun setidaknya hal itu tetap memperlihatkan keberanian Seno Gumira Ajidarma untuk mengangkat kasus yang masih sensitif di negeri ini. Orang yang memesan Seno Gumira Ajidarma untuk membuat novel tersebut adalah Nugroho Suksmanto, cerpenis yang telah menerbitkan buku kumpulan cerpen Petualangan Celana Dalam (2006). Setelah membaca kedua buku tersebut, yakni Kalatidha (2007) dan Petualangan Celana Dalam (2006), saya menilai bahwa sebagian besar kerangka cerita Kalatidha bersumber dari Petualangan Celana Dalam. Hanya saja, nama-nama tokoh dan nama tempat disamarkan, sementara inti atau ruh cerita tetap dipertahankan dan diberi sentuhan khas Seno Gumira Ajidarma, di antaranya penggunaan bahasa yang puitis dan teknik kolase.
Kenapa peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) menjadi penting diangkat menjadi tema dalam karya sastra—setidaknya seperti yang tersurat dalam tulisan Katrin Bandel? Pertama, peristiwa 1965 merupakan peristiwa sejarah yang luar biasa kompleksnya dan melibatkan berbagai komponen masyarakat dan berbagai unsur dari dalam maupun luar negeri, sehingga tidak mudah untuk menentukan siapa dalang peristiwa tersebut. Kedua, masyarakat Indonesia yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut sangatlah besar; meskipun sampai sekarang tidak ada seorang sejarawan pun yang berani memastikan jumlah korban tragedi 1965, namun akibat peristiwa itu adalah munculnya sebuah komunitas masyarakat yang merasa trauma dan dendam yang belum surut-surut hingga sekarang. Komunitas itu adalah keluarga para korban dari mereka yang saat itu dibunuh, ditangkap, disiksa, dipenjara, diasingkan, dibatasi hak-hak hidupnya tanpa proses pengadilan. John Roosa (2008) mengatakan bahwa peristiwa 1965 masih menjadi misteri sampai sekarang dan tidak bisa terungkap hanya melalui sebuah buku saja. Asvi Warman Adam (2009) menilai peristiwa 1965 masih kontroversial, karena penulisan sejarah yang bersifat subjektif. Dengan demikian diperlukan suatu historiografi yang ilmiah dan objektif.
Saya menilai naiknya Presiden Soeharto pada 1 Oktober 1965 dan turunnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 selalu diwarnai dengan jatuhnya korban. Pascaperistiwa G 30 S, Pangkostrad Mayjen Soeharto mengambilalih kepemimpinan di tubuh TNI Angkatan Darat. Dan, mulai 1 Oktober 1965 hingga Maret 1966, Soeharto yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat melakukan pembasmian atau pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI .
Sementara turunnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden diwarnai kekerasan dan jatuhnya korban, terutama rakyat kecil yang hangus terbakar di mal-mal dan perempuan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang diperkosa. Dalam konteks 1998 ini, benarkah bangsa Indonesia demikian membenci Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa yang tidak lain adalah saudaranya sendiri—di bawah naungan Bhinneka Tunggal Ika? Salah satu jawabannya bisa kita temukan dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono (2002), bahwa kampanye Sinophobia atau antiTionghoa di Indonesia disponsori oleh pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris.

Dalam Setiono (2002) disebutkan bahwa pada 1966 sejumlah negara kapitalis Barat, dalam usahanya membendung pengaruh komunis dari utara yang identik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), berusaha melakukan kegiatan antiTionghoa/Tiongkok untuk mengalihkan perhatian rakyat Indonesia dari kegiatan antiimperialisme Amerika-Inggris, dengan mengatakan melalui media massa Barat seperti VOA dan BBC bahwa musuh bangsa dan rakyat Indonesia yang sesungguhnya adalah Cina yang berasal dari utara, yaitu RRT (Setiono, 2002: 951-953).
Setelah Soeharto lengser, cukup banyak buku yang mengungkap kembali peristiwa G 30 S. Untuk menyebut beberapa contoh, di bidang nonfiksi terbit buku Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia karya Asvi Warman Adam (2004), Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia (2008), Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965 karya Haryo Sasongko dan Melani Budianta (2003), dan Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa (2008). Sementara di bidang fiksi terbit buku Lubang Buaya karya Saskia Wieringa (2003) dan Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007).

Representasi Korban Tragedi 1965
Dalam Kalatidha ada tiga tokoh utama yang merepresentasikan korban tragedi 1965. Pertama, tokoh Aku, yang kakak perempuannya melarikan diri karena diberi stigma Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada masa-masa pencidukan. Kedua, tokoh Perempuan yang dianggap gila; seluruh keluarganya, termasuk saudara kembarnya, mati terbakar di dalam rumah karena ayahnya dituduh sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), underbow PKI. Ketiga, Joni Gila, yang tidak lain adalah keponakan si Aku, yang sakit jiwa karena hampir semua keluarganya tewas dibantai pada 1965.

Ada 25 bab dalam novel Kalatidha yang memiliki ketebalan 234 halaman ini. Enam bab di antaranya berisi tentang gambaran peristiwa 1965 pasca G 30 S; pembantaian massal, pencidukan orang-orang PKI, penahanan, pemerkosaan, dan penyiksaan. Seno Gumira Ajidarma menggunakan teknik penceritaan dengan sudut pandang tokoh Aku sebagai pencerita dan memberi porsi yang cukup banyak dalam novel ini kepada tokoh Perempuan yang dianggap gila dan tokoh Joni Gila. Perspektif yang digunakan Seno Gumira Ajidarma ini sangat berbeda dengan perspektif pemerintah Orde Baru, perspektif yang dianggap resmi selama ini. Dalam hal pembantaian massal, misalnya, jika dalam buku-buku sejarah yang resmi digambarkan secara hambar seperti tidak ada kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia , maka Seno Gumira Ajidarma menampilkannya dari perspektif korban yang merasakan langsung pembantaian massal itu. Joni Gila adalah contoh konkret kenapa ia menjadi gila; hampir seluruh keluarganya dibunuh pascaperistiwa G 30 S.

Kenapa Seno Gumira Ajidarma menampilkan tokoh-tokoh gila atau dianggap gila? Hilmar Farid (dalam Sambodja, 2008) mengatakan bahwa penggunaan tokoh Perempuan yang dianggap gila untuk menembus keterbatasan ekspresi dalam mengungkapkan kekerasan dan menembus keterbatasan hukum untuk mengungkap fakta. Sementara Melani Budianta (dalam Sambodja, 2008) menjelaskan bahwa tokoh perempuan kembar itu merupakan representasi dari bangsa Indonesia. Tokoh perempuan yang mati terbunuh menyimbolkan masa lalu yang penuh dengan kekerasan. Sementara perempuan yang masih hidup dan dianggap gila menyimbolkan masa kini yang masih gagap dalam melihat sejarahnya sendiri, karena tak mampu melihat kekerasan yang terjadi.

Saya menilai penggunaan tokoh gila atau dianggap gila oleh Seno Gumira Ajidarma merupakan strategi Seno Gumira Ajidarma untuk menampilkan sebuah peristiwa yang memang tidak mudah ditangkap atau dicerna oleh akal sehat manusia, bahkan oleh para pelaku Gerakan 30 September 1965 sekalipun. Dalam Soebandrio (2006), misalnya, kita bisa mengetahui bagaimana Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief yang merupakan otak dan pelaksana pembunuhan terhadap petinggi Angkatan Darat yang diklaim sebagai Dewan Jenderal merasa yakin bahwa mereka akan diselamatkan oleh Soeharto, meskipun mereka dipenjara dan diadili. Keyakinan mereka didasari pengakuan Kolonel Abdul Latief bahwa rencana pembunuhan terhadap Dewan Jenderal itu sudah diberitahukan kepada Pangkostrad Mayjen Soeharto. Tapi, kenyataannya Letkol Untung pun dihukum mati dan Kolonel Abdul Latief dihukum penjara seumur hidup.

Dalam novel tersebut, tokoh Joni Gila dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) karena dituduh telah membunuh ayahnya sendiri. Dalam tiga bab yang khusus berisi “Catatan Joni Gila” terungkap bahwa ia membunuh ayahnya karena sang ayah telah membunuh ibunya. Selain itu, dalam pengakuan tokoh Aku, terungkap bahwa Joni menjadi gila karena dampak dari peristiwa pembantaian massal yang menimpa keluarganya. “Terus terang Joni sebetulnya keponakanku sendiri, dan yang dibunuhnya masih terhitung kakak sepupuku. Karena tidak ada lagi keluarganya yang masih hidup semenjak gelombang pencidukan pada tahun 1965-1966” (Ajidarma, 2007: 206).

Sementara nasib tokoh Perempuan yang dianggap gila cukup tragis. Ketika masih berumur 10 tahun, perempuan itu melihat dengan mata kepalanya sendiri rumahnya yang dibakar massa. Di dalam rumah itu terdapat ayah, ibu, dan saudara kembarnya yang masih sakit. Rumahnya dibakar massa karena ayahnya adalah anggota Lekra yang mengajarkan lagu “Genjer-genjer”, lagu rakyat dari Banyuwangi yang dipopulerkan oleh Bing Slamet. Tentu saja sang anak yang masih kecil itu tidak bisa menerima peristiwa itu dengan akal sehatnya. Hingga menginjak usia remaja, ia sering mondar-mandir di depan rumahnya yang telah hangus terbakar—yang kemudian diperbaiki dan ditempati secara tidak sah oleh keluarga tentara. Karena sering mondar-mandir di depan rumah itu dengan pakaian dan tingkah laku yang itu-itu juga, maka perempuan itu akhirnya ditangkap dan dibawa ke RSJ.
Di RSJ itu, ia dimandikan dan ternyata menjadi perempuan yang molek. Para dokter jaga hingga dokter kepala di RSJ itu kemudian memperkosanya secara bergiliran dan terus-menerus. Seno Gumira Ajidarma tidak berhenti sampai di situ saja, sebagaimana pengakuan perempuan-perempuan korban tragedi 1965 yang terhimpun dalam Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia. Seno Gumira Ajidarma membuka ruang refleksi yang baru, bahwa perempuan korban kekerasan itu tidak bisa menerima perkosaan yang dilakukan oleh para dokter di RSJ itu. Dalam hatinya masih ada rasa dendam yang luar biasa.

Seno Gumira Ajidarma menggambarkan aksi balas dendam itu dengan memasukkan ruh perempuan yang sudah mati terbakar ke dalam tubuh perempuan yang dianggap gila itu. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia membunuh satu per satu dokter yang ada di RSJ, hingga semuanya mati, kecuali petugas bagian dapur RSJ. Selain itu, perempuan yang dianggap gila itu juga membunuh orang-orang yang dulu membakar rumahnya. Dari 257 orang yang terlibat, tidak ada satu pun yang diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. Semuanya dibunuh, kecuali satu orang yang ditunda pembunuhannya karena belum mau mengakui kesalahan yang pernah dilakukannya pada 1965 dulu. Aparat hukum yang memeriksa kasus pembunuhan berantai itu pun merasa kesulitan menangkap pelakunya, namun pada akhirnya mereka bisa memaklumi pembunuhan berantai itu setelah mengetahui latar belakang para korban.

Kemudian terhubung-hubungkan juga bahwa sejumlah korban sama-sama pernah memimpin pencidukan dari rumah ke rumah antara tahun 1965 sampai 1969. Mereka bukan politikus, bukan aktivis, bahkan juga bukan simpatisan lawan-lawan PKI melainkan sekadar orang-orang yang hanya bisa mendapatkan kesenangan dalam penderitaan orang lain. Seandainya situasi politik berlangsung sebaliknya, mereka juga akan berada di baris terdepan perusakan, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Manusia-manusia yang jika dilahirkan kembali akan jadi kecoa, kelabang, atau tikus-tikus got.
“Biarlah mereka menerima karmapala mereka,” kata para penyidik pembunuhan berantai ini, “toh mereka, seperti korban-korban yang diciduk, juga tidak akan pernah ditangkap dan diadili.”
(Kalatidha, 129-130)

Upaya Seno Gumira Ajidarma menghadirkan “luka masa lalu” berupa ruh perempuan yang mati terbakar ke masa kini, yang merasuki perempuan yang dianggap gila, memperlihatkan kegeniusan Seno Gumira Ajidarma dalam mengangkat cerita yang berlatar belakang sejarah 1965. Pembantaian massal yang merenggut nyawa antara 500.000 hingga 3.000.000 manusia itu—sampai saat ini belum ada angka pasti—tentu saja masih meninggalkan trauma dan rasa dendam. Sudah pasti rasa dendam itu masih ada pada anak cucunya yang masih hidup. Namun, dendam ini disalurkan kemana dan kepada siapa? Soeharto? Sarwo Edhie Wibowo? RPKAD? CIA? Amerika Serikat? NU? Yang pasti, belum ada usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah Indonesia untuk mengungkap peristiwa bersejarah yang masih berkabut ini. Dalam Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma secara tersirat mengungkapkan dendam yang belum berakhir.

Selain Joni Gila dan Perempuan yang dianggap gila, Seno Gumira Ajidarma juga menghadirkan cerita empat tahanan politik yang ditahan selama 14 tahun tanpa proses pengadilan. Dan, setelah mereka dibebaskan, tidak ada permintaan maaf sedikit pun dari pemerintahan Rezim Orde Baru, apalagi merehabilitasi nama baik mereka dan pemberian kompensasi. Kalau kita membaca pengakuan para perempuan yang ditahan dan disiksa dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia, maka siapa pun yang memiliki hati nurani akan berempati atau minimal simpati kepada mereka. Kita pun akan bertanya-tanya, apa salahnya menjadi anggota Lekra? Apa salahnya menjadi anggota Gerwani? Bahkan, apa salahnya menjadi anggota PKI? Bukankah setiap warga negara berhak menentukan komunitas politiknya? Parekh (2008) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memilih komunitas politiknya sendiri. Dalam konteks 1965, yang melakukan pembunuhan Dewan Jenderal di lubang buaya adalah Paspampres Cakrabirawa, namun kenapa yang menjadi korban adalah rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu, hanya gara-gara mereka berafiliasi pada PKI? Kenapa Rezim Orde Baru menggeneralisasikan semua anggota PKI sebagai penculik dan pembunuh para jenderal pada dini hari 1 Oktober 1965 (Gestok)?

Dalam Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma mengungkap kisah tragis keempat tahanan politik tersebut, termasuk seorang Paspampres Cakrabirawa yang tidak terlibat dalam penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat, namun mengalami siksaan hanya lantaran ia kenal Letkol Untung . Logikanya, bagaimana mungkin seorang anggota Paspampres Cakrabirawa tidak mengenal Letkol Untung yang saat itu menjabat sebagai Komandan Batalyon Cakrabirawa? Namun, hal itu sepertinya sangat wajar mengingat rakyat kecil yang jauh dari pusat kekuasaan saja mengalami pembantaian, apalagi orang-orang yang berada di ring satu.

Hegemoni Politik Orde Baru
Asvi Warman Adam (2009) mengatakan bahwa titik awal lahirnya pemerintahan Orde Baru adalah pada 1 Oktober 1965, karena sejak saat itulah Pangkostrad Mayjen Soeharto mengambilalih kepemimpinan Angkatan Darat dan melakukan penumpasan terhadap pelaku Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Cakrabirawa Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief—keduanya anak buah Soeharto di Kodam Diponegoro.
John Roosa (2008) mengutip pidato Presiden Soekarno dalam buku Revolusi Belum Selesai yang dihimpun Setiyono dan Triyana (2003) bahwa kejadian lubang buaya itu dinilai Presiden Soekarno sebagai rimpel in degeweldige oceaan (riak di samudera luas) dalam proses revolusioner di Indonesia. Namun, bagi Soeharto, peristiwa lubang buaya menjadi simulacrum (citra khayali) yang dikeramatkan. John Roosa (2008), juga mengutip Ariel Heryanto, bahwa rezim Soeharto mempertahankan “bahaya laten komunisme“, sehingga komunisme tidak pernah mati di era Soeharto, karena ia menempatkan dirinya dalam hubungan dialektis dengan komunisme, atau lebih tepatnya dengan citra khayali komunisme.
Sehari setelah mendapatkan Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno, Soeharto langsung mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan PKI sebagai Organisasi Terlarang. Surat bernomor 1/3/1966 itu ditandatangani Letjen Soeharto atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi pada 12 Maret 1966 (Samsudin, 2005: 261). Kemudian pada 5 Juli 1966, Ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution mengeluarkan TAP MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan, Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme (Samsudin, 2005: 265). Kedua aturan itu digunakan Soeharto sebagai “dasar hukum“ untuk melakukan pembasmian terhadap orang-orang PKI.
Kenapa Soeharto membubarkan PKI tanpa persetujuan Presiden Soekarno? Kenapa Soeharto melakukan pembantaian terhadap orang-orang PKI yang korbannya diperkirakan mencapai satu juta orang? Saya menduga inilah cara Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno. Sebagai partai politik terbesar keempat hasil Pemilu 1955, PKI menjadi salah satu partai yang sangat diperhitungkan. PKI pula yang menunjukkan kesetiaannya pada kebijakan “Nasakom” Soekarno. Dengan mengamputasi PKI, maka salah satu pondasi dan pijakan Soekarno—yakni Komunisme—menjadi hancur. Tampaknya, kehancuran PKI di Indonesia juga menjadi keinginan Amerika Serikat (Roosa, 2008: 17).

Soebandrio menyimpulkan, rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap. Tahap pertama, menyingkirkan saingannya di Angkatan Darat seperti Ahmad Yani dan lain-lain. Tahap kedua, membubarkan PKI yang merupakan rival terberat tentara sampai saat itu. Tahap ketiga, melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 menteri yang Soekarnois, termasuk Soebandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno.
(Adam, 2009: 147)

Kalatidha memang tidak membicarakan perebutan kekuasaan dari Soekarno oleh Soeharto, melainkan lebih banyak mengangkat suara-suara orang-orang kecil yang sama sekali tidak pernah terdengar atau terbaca dalam buku sejarah nasional Indonesia. Buku sejarah seringkali melupakan suara-suara orang-orang kecil seperti itu, padahal merekalah yang merasakan dampak langsung dari diberlakukannya suatu aturan yang dikeluarkan oleh elite politik. Peraturan yang diproduksi MPRS RI berupa Tap MPRS/XXV/1966 mengakibatkan darah orang-orang kecil mengalir. “Siapakah yang akan mengira betapa Pulau Jawa suatu ketika dalam sejarahnya tiada lebih dan tiada kurang menjadi ladang pembantaian terkejam dalam sejarah peradaban?” (Ajidarma, 2007: 66).
Dalam novel Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma menggunakan teknik kolase, yang menggunakan guntingan-guntingan berita koran atau kliping sebagai bagian dari cerita . Kliping koran itu dimaksudkan untuk menjadi setting waktu untuk memperkuat ide cerita. Jadi, guntingan-guntingan koran itu dihadirkan bukan tanpa fungsi sama-sekali. Dengan membaca kliping koran tersebut, dimana yang dominan adalah harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha—dua surat kabar milik militer yang tetap diperbolehkan terbit ketika peristiwa G 30 S itu terjadi, sementara koran-koran lainnya baru diperbolehkan terbit pada 6 Oktober 1965. Apa yang terjadi kemudian? Cukup banyak cerita fiktif yang termuat di surat kabar milik militer itu yang kemudian menjadi rujukan media lain dan buku-buku sejarah. Di antara cerita fiktif itu adalah adanya tarian telanjang yang dilakukan anggota Gerwani sebelum jenderal-jenderal itu dibunuh; kemudian adanya cerita bahwa penis para jenderal itu diiris-iris dan matanya dicongkel sebelum dibunuh. Tidak hanya itu, cerita fiktif yang muncul itu kemudian memprovokasi masyarakat untuk membenci—bahkan sangat membenci—PKI dan ormas-ormasnya. Visum et repertum dokter yang memeriksa jenazah para jenderal yang diungkap Ben Anderson (lihat Adam, 2009: 169) membongkar dan membalik 180 derajat cerita-cerita fiktif yang telanjur beredar di masyarakat luas itu. “Berapa lama kami semua mendapatkan pelajaran sejarah yang ternyata kini hanya bisa dibaca sebagai pelajaran cara berbohong?” (Ajidarma, 2007: 159).
Selain Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, Seno Gumira Ajidarma juga memuat guntingan berita dari Kompas dan Bintang Timur. Melalui tokoh si Aku, Seno Gumira Ajidarma menilai bahwa koran-koran yang terbit pada masa itu memang menggambarkan semangat zamannya. Masing-masing media memberitakan suatu peristiwa berdasarkan visi atau ideologi yang berada di balik masing-masing media. Sebagai contoh, harian Angkatan Bersenjata mengangkat berita-berita yang sangat anti-PKI, sementara Bintang Timur mengangkat berita-berita yang pro-Soekarno. Seno Gumira Ajidarma tampaknya sengaja menampilkan guntingan-guntingan koran yang menggunakan bahasa yang buruk, provokatif, yang selalu mengajak rakyatnya untuk berperang (hlm. 155). Hal ini bisa dimaknai bahwa surat kabar yang menggunakan bahasa yang buruk, yang isinya penuh dengan hasutan-hasutan, secara tidak langsung berdampak pada sikap barbar masyarakat pembacanya. Fakta-fakta yang ditampilkan Seno Gumira Ajidarma dalam Kalatidha secara tidak langsung memberi konteks bagi ide cerita yang hendak ditampilkan. Apalagi dalam novel itu tersurat setting peristiwa 1965.
Terlepas dari tipisnya perbedaan antara fakta dan fiksi, secara konvensional kita bisa dengan tegas mengatakan bahwa novel Lubang Buaya karya Saskia Wieringa dan Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma merupakan fiksi, meskipun keduanya berisi atau berdasarkan fakta yang pernah terjadi pada 1965. Yang jelas, karya sastra semacam itu memperlihatkan bahwa sastra bisa menjadi strategi bagi sastrawan untuk mengungkap kabut politik 1965 yang masih pekat. Dari perspektif penulisnya, yakni Saskia Wieringa dan Seno Gumira Ajidarma, keduanya telah memberikan suara yang baru dan unik terkait peristiwa 1965, yakni suara para korban tragedi 1965. Ada yang hendak disuarakan Seno Gumira Ajidarma melalui Kalatidha ini, yakni menyuarakan orang-orang yang termarginalkan, orang-orang kecil, orang-orang yang dibungkam dan ditindas; orang-orang yang tidak pernah didengar suaranya. Saya melihat, kecenderungan Seno Gumira Ajidarma dalam karya-karyanya memang sebagian besar seperti itu (Sambodja, 2007).
Dari perspektif pembaca, apalagi yang membaca kedua novel itu adalah para korban tragedi 1965, maka novel tersebut bisa dianggap sebagai sebuah media katarsis untuk mendapatkan kesempatan menjalani hidup dengan lebih baik lagi, karena trauma atau pengalaman buruk yang pernah dialaminya telah tersuarakan. Dengan demikian, diharapkan sumbangan sastrawan seperti ini dapat memberi rasa lega, karena selama ini mereka diposisikan sebagai orang-orang yang bersalah tanpa proses pengadilan dan dilarang bersuara selama Orde Baru berkuasa. Bagi pembaca lainnya, novel Kalatidha memang memaparkan luka-luka masa lalu, namun sangat jelas terbaca pesan Seno Gumira Ajidarma bahwa sejarah masa lalu harus terus dipelajari agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

Penutup
Dari uraian di atas, terbaca bahwa sastra memiliki fungsi yang sangat strategis bagi masyarakat pembacanya. Dalam rumusannya yang sederhana, Horatius pernah mengemukakan bahwa fungsi karya sastra adalah dulce et utile, menghibur dan memberi kegunaan. Novel Kalatidha diciptakan Seno Gumira Ajidarma bukan semata-mata untuk menghibur pembacanya, malah terasa bahwa Kalatidha sama sekali tidak menghibur pembacanya, melainkan ada suatu pesan yang ingin disampaikan Seno Gumira Ajidarma, meskipun pembuatan Kalatidha itu berawal dari pesanan seseorang, yakni Nugroho Suksmanto.
Fungsi strategis yang saya maksudkan adalah bahwa karya sastra bisa digunakan atau dimanfaatkan sebagai media untuk mengungkap fakta. Dalam hal ini, fakta yang ingin diungkap Seno Gumira Ajidarma adalah fakta yang berkaitan dengan peristiwa 1965. Hanya saja, fakta yang ditampilkan bukanlah elite-elite politik yang hampir setiap hari mengisi halaman surat kabar, melainkan orang-orang kecil, wong cilik, yang merasakan dampak langsung diberlakukannya suatu aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau penguasa, namun sering tidak tercatat dalam buku-buku sejarah.
Fakta-fakta yang berkaitan dengan elite-elite politik tetap ditampilkan Seno Gumira Ajidarma melalui guntingan-guntingan berita yang disatukan dengan alur cerita. Sementara suara-suara korban tragedi 1965 itu mendapat porsi yang lebih besar dibandingkan cerita mengenai para politikus dan tentara. Terkadang terbaca dalam bab-bab novel Kalatidha ada yang hanya berupa gerutu yang mirip prosa liris, yang berisi kegundahan hati tokoh-tokohnya. Saya menangkapnya sebagai ruang yang diberikan Seno Gumira Ajidarma bagi pembaca untuk melakukan refleksi. Atau, bisa juga ditafsirkan bahwa suara-suara liris itu merupakan hasil perenungan Seno Gumira Ajidarma sendiri.
Kalatidha mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali peristiwa 1965, terutama dari perspektif korban tragedi tersebut. Kalau menggunakan perspektif penguasa, maka yang terbaca adalah pernyataan-pernyataan yang hambar dan terasa kering, seperti tidak adanya nurani dalam teks-teks resmi seperti yang saya kutip dalam catatan akhir. Kalau kita menggunakan perspektif yang disarankan Seno Gumira Ajidarma melalui Kalatidha, maka kita selalu diajak untuk senantiasa bersikap arif dalam menyikapi sesuatu.
Kebenaran yang selalu diteriakkan rezim Orde Baru rontok dengan sendirinya bersamaan dengan diungkapkannya bukti-bukti baru yang dibeberkan setelah Jenderal Besar Soeharto lengser dari kursi kekuasaannya. Tangannya yang berdarah-darah tampak bersih karena buku sejarah yang boleh dibaca di sekolah-sekolah sama sekali tidak ada adegan kekerasan. Setelah Soeharto lengser dan setelah para korban memberikan pengakuan, maka kebenaran baru pun terkuak. Siapa yang bisa menyembuhkan luka bangsa Indonesia pada 1965? Di sinilah saya menilai arti penting hadirnya novel Kalatidha dan novel-novel yang mengangkat peristiwa-peristiwa penting semacam ini. Jika buku sejarah menampilkan fakta-fakta belaka, maka karya sastra bisa menyempurnakannya dengan memberikannya ruh; dimana perasaan dan pikiran korban atau pelaku peristiwa tersebut bisa dimunculkan—meskipun kemunculannya direkayasa karena tidak bisa menghadirkan perasaan dan pikiran masa lalu secara pasti. Buku ini, sekali lagi, memberi pesan kepada pembacanya tentang luka dan kesalahan yang terjadi di masa lalu, agar kita yang hidup di masa kini tidak mengulangi kesalahan itu.

Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas.
Ajidarma, Seno Gumira. 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta; Bentang.
_____. 2007. Kalatidha. Jakarta: Gramedia.
_____. 2008. “Catatan Kaki atas Pelajaran Sejarah (1993)” dalam Budi Susanto (ed.). Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Bandel, Katrin. 2009. “Martin Aleida dan Sejarah”, dalam Boemipoetra, Edisi Maret-April.
Cribb, Robert. 2005. “Tragedi 1965-1966 di Indonesia,” dalam Christine Clark et.al. Di Ujung Kelopak Daunnya Tetap Ada Airmata. Yogyakarta: Buku Baik.
Foucault, Michel. 1997. Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan. Terj. Rahayu S. Hidayat. Jakarta: Gramedia.
Nadia, Ita F. 2008. Suara Perempuan Korban Tragedi 65. Yogyakarta: Galang Press.
Notosusanto, Nugroho dan Ismail Saleh. 2008. Cet. IV. Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia. Jakarta: Intermasa.
Parekh, Bhikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Terj. Bambang Kukuh Adi. Yogyakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Terj. Hersri Setiawan. Jakarta: Hasta Mitra.
Sambodja, Asep. 2007. “Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong, dan Keindonesiaan Kita”, dalam Amin Sweeney et.al. Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra. Jakarta: HISKI dan Desantara.
_____. 2008. “Peta Politik Sastra Indonesia (1908-2008)”, dalam Anwar Efendi (ed.). Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: UNY dan Tiara Wacana.
Samsudin. 2005. Mengapa G 30 S/PKI Gagal? Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.
Soebandrio. 2006. Yang Saya Alami Peristiwa G30S. Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera.
Suksmanto, Nugroho. 2006. Petualangan Celana Dalam. Jakarta: Gramedia.
Wieringa, Saskia. 2003. Lubang Buaya. Terj. Tatiana Utomo. Jakarta: Metafor Publishing.

Catatan Akhir

Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007) merupakan novel yang mengangkat peristiwa pembantaian yang terjadi pasca G 30 S 1965. Dalam diskusi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) pada Selasa, 8 April 2008, Seno Gumira Ajidarma mengakui bahwa novel Kalatidha yang ditulisnya merupakan novel pesanan, yakni pesanan dari seorang sastrawan bernama Nugroho Suksmanto, yang menulis kumpulan cerpen Petualangan Celana Dalam yang terbit pada 2006.
Saya mencoba menelusuri pengakuan Seno Gumira Ajidarma tersebut dan berusaha mencari tahu siapa Nugroho Suksmanto itu dan mencoba membaca cerpen-cerpennya dalam Petualangan Celana Dalam. Yang saya temukan ternyata cukup mencengangkan: tokoh-tokoh penting yang di dalam Kalatidha tidak diberi nama oleh Seno Gumira Ajidarma ternyata memiliki nama dalam Petualangan Celana Dalam karya Nugroho Suksmanto. Jadi, tidak heran, bila ada kesamaan antara sebagian cerita dalam Kalatidha dengan cerpen-cerpen Nugroho Suksmanto. Seno Gumira Ajidarma juga menulis bahwa novel Kalatidha ini berdasarkan ide cerita Nugroho Suksmanto.
Berikut ini saya paparkan tokoh-tokoh yang tidak bernama dalam Kalatidha dengan tokoh-tokoh dalam Petualangan Celana Dalam—yang memiliki kesamaan peran. Dengan demikian, nama-nama yang masih misterius dalam Kalatidha menjadi kian “nyata”.

Tokoh Aku
Aku tidak pernah sampai kepada persoalan seperti ini jika bukan karena peristiwa yang akan kuceritakan seperti berikut—dan bersama itu kuperkenalkan sebagian dari diriku.
Di barat daya kota S terdapatlah daerah P. Nama ini berasal dari kata F, tuan tanah Belanda penguasa wilayah itu di masa lalu. Di seberang P terdapat hamparan ladang pertanian, di antara P dan ladang itu terdapatlah M, wilayah yang dimaksudkan sebagai pembatas nan rapi, tetapi setelah ditinggalkan Belanda menjadi daerah takbertuan. Ke wilayah itulah berdatangan para pendatang dan berubahlah M yang berkelok memanjang itu menjadi pemukiman padat takterkendali.
Semasa kecil aku tinggal di P dan sungai yang memisahkan P dari M menjadi wilayah pengembaraanku. Sebenarnya ada dua sungai di P. Sungai pembatas yang baru saja kusebut dan sungai lain yang lebih sempit tapi jauh lebih jernih airnya. Mula-mula kedua kali itu sejajar, tetapi mulai dari rumah yang kutinggali, kedua kali itu seperti saling menjauh. Kemudian aku sering melihatnya sebagai perlambang, betapa para priyayi P yang merasa derajatnya lebih tinggi memang berusaha menjauhi para pemukim kelas bawah di M.
(Kalatidha, 9-10)

Semasa kanak-kanak aku tinggal di Pendrikan. Pendrikan, berasal dari Fendrijk, nama tuan tanah Belanda, penguasa wilayah barat daya Kota Semarang. Sebelahnya, di wilayah penyangga yang memisahkan keramaian dengan hamparan ladang pertanian, terdapat kawasan permukiman. Arealnya berkelok memanjang. Mereka menyebutnya sebagai Kampung Magersari. Setelah Belanda hengkang dan daerah itu menjadi tak bertuan, lahan-lahannya diserbu pendatang yang semula menggantungkan hidup melayani warga Pendrikan.
Keadaan ekonomi Magersari sangat memprihatinkan. Nama yang sebenarnya berarti pembatas apik, berkembang menjadi daerah padat tidak terkendali. Batas tegas antara Pendrikan dan Magersari berupa sebuah kali. Kali itu mengalir ke laut melewati kawasan setengah persawahan, Ngemplak. Kali yang dipenuhi ikan itu juga menjadi habitat binatang-binatang liar.
Masuk ke wilayah Pendrikan, lewat Cela-Celu, sejajar dan berdekatan dengan kali itu, juga melintas kali yang berair lebih jernih, sedikit lebih sempit tetapi diturap rapi. Berawal dari rumah yang kutinggali, dua kali itu merentang saling menjauh, seolah-olah menggambarkan keengganan kalangan priayi Pendrikan yang merasa berderajat lebih tinggi bergaul dengan masyarakat kelas rendah penghuni Kampung Magersari.
(Petualangan Celana Dalam, 1-2)

Nugroho Suksmanto lahir di Semarang, 12 November 1952 di perbatasan kawasan Pendrikan dan Kampung Magersari.
(Petualangan Celana Dalam, cover belakang)

Tokoh Perempuan yang Dianggap Gila
Pulang sekolah kulihat orang-orang mengepung sebuah rumah yang terbakar. Orang-orang berteriak.
“PKI! Keluar!”
Aku terkesiap. Aku sangat mengenal para penghuni rumah itu, setidaknya dua penghuninya, yakni sepasang gadis kembar seumurku—salah seorang dari mereka diam-diam kucintai.
Mereka tidak bersekolah di tempat yang sama denganku, jadi memang tidak dikatakan kami saling mengenal karena mereka bahkan kukira taktahu namaku. Karena aku menaruh hati kepada salah satu dari mereka, aku menjadi sangat mengenalnya karena selalu mengikuti gerak-gerik mereka.
(Kalatidha, 24-25)

Saat hendak menyeberang Jalan Imam Bonjol, rombongan siswa-siswi SMP Masehi berjalan bergegas. Ternyata mereka dipulangkan lebih awal juga. Satu di antaranya menarik perhatianku. Bocah perempuan seusiaku. Mungil dan cantik. Dia terlihat cemas, berjalan berselempang tas sekolah, berupa kain tebal berwarna merah. Di sudut atasnya ada taburan bintang, kecil-kecil berwarna kuning. Dalam kecemasan, dia terlihat lebih manis. Eh ternyata Menik, temanku sewaktu di TK.
“Kok sendirian Nik, di mana Menuk?” kusapa dia.
“Di rumah, sedang sakit,” dia memberitahukan keberadaan saudara kembarnya. Kubelokkan arah menuju Mangkunegaran, tempat dia tinggal, dan berjalan menemaninya. Walaupun agak memutar, aku merasa lebih ringan melangkah, berdampingan dengan gadis secantik dia.
Sebuah perasaan ingar selalu muncul saat berada di dekatnya. Sejak dulu. Apakah itu tanda cinta? Aku tidak tahu. Yang jelas aku merasa senang dan bergairah saat bersamanya. Tetapi tidak demikian dengan dia yang sedang murung dan cemas. Apalagi saat menatap langit rumahnya. Kecemasannya makin menjadi tatkala asap kecil menyembul dari arah tempat dia tinggal. Karena itu dalam perjalanan tak banyak yang kupercakapkan.
(Petualangan Celana Dalam, 11-12)

Empat Tahanan Politik
Stasiun itu kini sudah sepi. Tinggal empat orang termangu-mangu. Empat manusia yang telah diciduk empat belas tahun lalu. Mereka saling berpandangan. Tidak seorang pun sanak saudara menjemput mereka. Telah mereka saksikan ratap tangis dan peluk cium dari orang-orang yang berbahagia setelah mengalami perpisahan dan penderitaan yang panjang. Namun setelah empatbelas tahun pergulatan—apakah lagi yang membuat mereka lebih menderita?
(Kalatidha, 61)

Pramoedya telah bertemu istrinya. Hasyim Rachman berangkulan dengan anak-anaknya. Mertua perempuanku telah bergandengan tangan dengan kedua kakaknya. Tetapi Syafrudin, Nurdin, Alex, dan Suryadi tidak dijemput siapa-siapa. Artinya mereka harus diamankan lagi di Lembaga Pemasyarakatan karena tidak diperbolehkan berkeliaran tanpa seseorang memberikan tumpangan.
(Petualangan Celana Dalam, 80)

Tanpa bermaksud mendikte dan mempengaruhi pembaca, saya ingin mengatakan bahwa tokoh Aku bisa jadi adalah Nugroho Suksmanto, sang pemesan dibuatnya novel Kalatidha—hanya saja dalam novel ini dibumbui dengan identitas sebagai “tukang kibul”. Sementara tokoh Perempuan yang dianggap gila bernama Menik, dan saudaranya yang mati terbakar bernama Menuk. Lalu, anggota Paspampres Cakrabirawa yang ditangkap dan disiksa bernama Suryadi. Nama-nama desa yang menjadi setting cerita ini adalah Pendrikan dan Magersari, di dekat kota Semarang. Penjelasan nama-nama ini semata-mata untuk mengganti rasa “penasaran” saya ketika membaca Kalatidha. Dan, saya sendiri lebih merasa nikmat kalau tokoh-tokoh dalam Kalatidha itu memiliki nama seperti dalam Petualangan Celana Dalam. Meskipun demikian, secara keseluruhan novel Kalatidha tetap menarik.

Pada bulan Oktober 1965, pembunuhan dimulai. Kekerasan terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan PKI terjadi di seluruh daerah, tetapi pembunuhan massal yang terburuk terjadi di Jawa dan Bali. Konflik di Jawa Timur antara PKI dan NU yang telah dimulai pada 1963 berubah menjadi pembunuhan massal secara menyeluruh yang dimulai dari minggu kedua bulan Oktober 1965. Pada pertengahan bulan Oktober, Soeharto mengirim satuan-satuan prajurit penyerang yang terpercaya ke Jawa Tengah; dia memerintahkan para pasukan yang kurang setia untuk keluar dari Jawa Tengah. Mereka memilih untuk mematuhi perintah tersebut daripada melawan prajurit penyerang. Pembunuhan massal anti-PKI mulai dilakukan di sana, bersama tentara yang membantu para pemuda menemukan para komunis. Di Bali, tanpa keterlibatan kekuatan Islam, tuan tanah PNI yang berkasta tinggi memimpin dalam mendorong pembasmian anggota PKI. Pucuk pimpinan nasional PKI juga ditemukan dan dibunuh. Njoto tertembak kira-kira pada 6 November dan Aidit pada 22 November; Lukman juga segera tewas setelahnya.
(Ricklefs, 2005: 565)

Pembunuhan berakhir pada bulan-bulan pertama 1966, meninggalkan korban kematian yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti. Sebagian besar ahli memperkirakan setidaknya setengah juta orang tewas, tetapi tak ada seorang pun yang benar-benar tahu, karena tak seorang pun menghitungnya. Dalam sejarahnya, Indonesia belum pernah menyaksikan pembunuhan massal yang merenggut korban sebegitu besar. Pembunuhan ini meninggalkan bekas yang begitu dalam dan tak terlupakan bagi banyak rakyat Indonesia. Sebagian merasa bangga bisa membantu membasmi PKI. Namun, sebagian lainnya merasa bahwa pembunuhan massal ini merupakan peristiwa paling memalukan dan tak bisa dimaafkan, sebuah tindakan kegilaan kolektif. Banyak orang ditahan, diinterogasi (sering di bawah siksaan), dan ditahan tanpa pemeriksaan pengadilan. Jumlah orang yang diperlakukan seperti ini juga tidak diketahui pasti. Mungkin, satu dekade setelah kejadian yang mengerikan pada tahun 1965-1966, sebanyak 100.000 orang masih dipenjara tanpa pemeriksaan pengadilan.
(Ricklefs, 2005: 566-567)

Saya ingin memperjelas bagaimana pembantaian massal digambarkan secara “dingin” di dalam buku-buku pelajaran sejarah yang digunakan di sekolah-sekolah.

Gerakan operasi penumpasan G-30-S/PKI di daerah-daerah lain di luar Jakarta dan Jawa Tengah, cukup dilakukan dengan gerakan operasi teritorial yang antara lain mengadakan penangkapan-penangkapan tokoh-tokoh orpol dan ormas PKI, karena di daerah-daerah tersebut pendukung-pendukung G-30-S/PKI tidak sempat mengadakan gerakan perebutan kekuasaan. Hanya di daerah Jawa Timur dan Bali timbul kekacauan culik-menculik dan pembunuhan-pembunuhan, yang dalam waktu yang singkat berhasil ditertibkan kembali.
(Poesponegoro dan Notosusanto, 1984: 403-404)

Ada beberapa sebab mengapa peristiwa-peristiwa yang perlu disesalkan itu sampai terjadi. Sudah lumrah dalam cerita sejarah, bahwa seorang ahli sejarah perlu bersikap selektif dalam mencari sebab/alasan bagi suatu peristiwa tertentu. Namun yang pasti: pertumpahan darah antarwarga di masyarakat itu berkaitan langsung dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau. Di daerah-daerah tempat PKI sangat aktif dengan “tindakan-tindakannya yang sepihak”, seperti di Boyolali, Jawa Tengah, di bagian selatan Jawa Timur, Bali, dan bagian tenggara Sumatera Utara, bentrokan-bentrokan sebagai buntut percobaan kup 1 Oktober 1965, adalah yang paling serius. Ingatan kita kepada peristiwa berdarah Pemberontakan Madiun timbul kembali dengan perasaan marah meluap.
(Notosusanto dan Saleh, 2008: 61)

Aku mendekati mereka, kutawarkan penampungan di rumahku. Di sanalah mereka bercerita.
“Saya tidak tahu apa-apa sebenarnya soal Gestapu. Saya memang anggota Cakrabirawa dan kenal Untung—tapi apa salahnya kalau saya kenal Untung? Hampir setiap hari sebelum diberangkatkan ke Pulau Buru saya disiksa dan disuruh mengaku. Saya tidak tahu harus mengaku apa dan kalaupun tahu kenapa saya harus mengaku? Katanya saya mengetahui rencana penculikan dan pembunuhan para jenderal. Tentu saja saya tidak tahu. Setiap hari punggung saya ditetesi lelehan ban sepeda yang dibakar. Jangan ditanya seperti apa rasanya. Sebagai anggota pasukan pengawal istana, saya bukan tidak dilatih untuk menahan penderitaan, yang saya tidak mengerti bagaimana orang-orang militer ini tahu betul berbagai cara penyiksaan.
“Mereka tidak pernah berhasil membuat saya mengaku ataupun pura-pura mengaku. Dua sampai empat orang setiap hari menyiksa sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Suatu kali masing-masing sepasang tangan dan kaki saya ditindih empat kaki meja, dengan empat orang dewasa duduk ongkang-ongkang di atasnya. Saya tidak bisa mengakui ataupun pura-pura mengaku. Dari saat ke saat saya berjuang mengatasi penderitaan. Usaha bertahan dari rasa sakit menantang kemampuan saya. Dalam kesatuan saya, pasukan pengawal istana, saya termasuk orang pilihan. Sayalah yang harus selalu mempertontonkan kemahiran, bagaimana empat pisau yang ujungnya dijepit lima jari saya menancap pada sasaran dalam sekali lemparan. Tapi tangan itu kini ditindih meja dengan empat serdadu pengecut di atasnya. Saya juga tentara, tapi saya tidak akan pernah menyiksa.
“Karena segala siksaan tak kan bisa membuka mulut saya, mereka gunakan lain cara yang tidak pernah saya bayangkan ada. Saya masih ditindih ketika pengecut lain datang membawa seorang tahanan wanita. Ia sedang hamil dan katanya ia Gerwani. Saya harus melihat bagaimana ia ditelanjangi dan kakinya dibuka paksa, agar sangkur pada bayonet bisa dimasukkan ke kemaluannya. Saya lihat sangkur itu sudah berdarah ketika darah saya naik dan suatu kekuatan luar biasa mendadak merasuki saya, meja itu berhasil saya balik dan menyungkurkan empat pengecut yang sejak tadi ongkang-ongkang sambil tertawa-tawa.
“Saya berdiri dan meninju pemegang bayonet itu sampai pingsan. Wanita malang itu sudah sejak tadi pingsan. Saya kemudian tak tahu apa yang terjadi karena sebuah pentungan dari belakang juga membuat saya pingsan…
“Ketika mata saya terbuka, kepala saya sangat pening dan dunia serasa gelap. Ternyata saya dijebloskan ke dalam sel isolasi. Setelah beberapa saat saya terbiasa dengan kegelapan dan ternyata ada lubang kecil yang bukan hanya akan memberi cahaya. Selama sebulan saya disekap di sel isolasi itu, kadang diberi makan dan kadang tidak, tetapi dari lubang kecil itulah kawan-kawan tahanan menyelundupkan makanan.
“Saya dianggap gembong. Padahal sungguh mati tidak tahu apa-apa. Hanya karena kenal baik dengan Untung. Para interogator tidak pernah mau peduli bahwa kenal Untung itu tidak berarti tahu seluruh rencananya pada malam 30 September 1965 itu. Saya memang seorang komandan, dalam setiap tingkatan saya menjadi komandan, tapi saya ini hanya korban—tanpa seorang pun yang barangkali sungguh-sungguh berniat mengorbankan saya…”
(Kalatidha, 62-64)

Dalam artikel “Catatan Kaki atas Pelajaran Sejarah (1993)” yang dimuat dalam buku Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia yang disunting Budi Susanto (2008), Seno Gumira Ajidarma menganggap perbedaan fakta dengan fiksi sudah tidak penting lagi, karena fakta dan fiksi itu mengacu pada gagasan yang sama. Beberapa cerpen Seno Gumira Ajidarma memang berangkat dari fakta. Selain cerpen “Pelajaran Sejarah” yang mengacu pada Insiden Dili 12 November 1991, suatu peristiwa pembantaian orang-orang tidak bersenjata di Timor Timur oleh militer Indonesia, ia juga menulis cerpen “Clara” yang dibukukan dalam Iblis Tidak Pernah Mati (1999), yang mengacu pada kasus perkosaan terhadap gadis Tionghoa dalam huru-hara 13-14 Mei 1998.
Bagaimana fakta hadir dalam cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma? Sejatinya hadir begitu saja tanpa perubahan yang berarti; malah dapat dikatakan sama persis. Mari kita perhatikan kutipan berita yang berupa fakta di Majalah Jakarta-Jakarta no. 288, 4-10 Januari 1992, halaman 97 dengan kutipan cerpen “Pelajaran Sejarah” yang berupa fiksi.

Fakta:
Saat penembakan mereka dibagi dalam dua barisan. Barisan pertama di depan dan barisan kedua berada di belakang. Komandannya tembak sekali ke atas sambil berteriak, “Depan tidur, belakang tembak!” Pada saat yang belakang menembak, yang depan merangsek masuk ke demonstran dan menusukkan sangkurnya ke semua orang. Dan saya hanya berlari-lari tidak tentu arah, karena di sekitar saya, orang-orang berjatuhan begitu saja kena tembak, seperti di film.

Fiksi:
Guru Alfonso belum lupa peristiwa itu. Bagaimana lupa? Saat penembakan mereka dibagi dalam dua barisan. Barisan pertama di depan dan barisan kedua di belakang. Komandannya menembak sekali ke atas, sambil berteriak, “Depan tidur belakang tembak!” Setelah yang belakang menembak, yang depan merangsek dan menusukkan sangkurnya ke semua orang. Guru Alfonso belum lupa, ia hanya berlari-lari tidak tentu arah, karena orang-orang berjatuhan begitu saja, bergelimpangan….

Nyaris tidak ada perbedaan antara fakta dan fiksi. Jika fakta yang dimuat di majalah Jakarta Jakarta itu dituturkan oleh seorang saksi mata, maka fiksi dalam cerpen “Pelajaran Sejarah” itu merupakan tokoh ciptaan Seno Gumira Ajidarma sendiri, Guru Alfonso. Cara Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen ataupun novel, cara Seno Gumira Ajidarma mengangkat fakta ke dalam fiksi, dan caranya mengemas fakta sehingga tidak verbal dan tetap enak dinikmati sebagai sebuah fiksi, sungguh luar biasa. Fakta dan fiksi tampaknya sudah menyatu dalam diri Seno Gumira Ajidarma.

(Sumber: Makalah KIK HISKI XX 2009, Bandung,5--7 Agustus 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar