Selasa, 05 Januari 2010

PENDIDIKAN SENI.

PENDIDIKAN SENI.
Catatan Rudolf Puspa

Ki Hajar Dewantara yang telah dinobatkan sebagai bapak pendidikan Republik Indonesia di awal kemerdekaan bangsa Indonesia langsung memberikan landasan sikap bagi memulai bidang pendidikan yakni “pendidikan seni adalah landasan bagi pendidikan menyeluruh”.
Maka kegiatan pembelajaran di sekolah sejak tingkat dasar tidak pernah ketinggalan adanya pelajaran kesenian di sekolah. Generasi yang lahir tahun 45 hingga 60 an pasti ingat ketika belajar di sekolah dasar ada pelajaran seni suara, menggambar, mengarang dan juga masih ada pilihan seperti latihan tari, drama. Kesenian yang diajarkan adalah yang ada di daerah masing masing. Bentuk pilihan materi keseniannya juga disesuaikan dengan umur siswa. Maka terasa sekali ada yang dinamakan lagu anak anak, lagu remaja, lagu orang dewasa. Tanpa disadari para pendidik memiliki pandangan yang tepat tentang siapa yang diberi pendidikan seni. Tapi lepas dari semua itu yang pasti pelatihan kesenian memiliki nilai pendidikan yang mencakup mental, karakter, budi pekerti. Para penulis cerita, pengarang lagu, perupa hingga sutradara drama dan koreografer tari selalu memiliki wawasan yang luas dan kuat dalam menciptakan karya karya yang nilai pendidikannya tidak kecil, selain memberi hiburan. Segi hiburan diperhitungkan karena publik datang ke panggung seni adalah butuh hiburan. Namun hiburan sejati adalah yang mengasah otak dan rasa.
Ketika pelajaran di sekolah terasa kurang mencukupi maka para siswa mencari sanggar2 untuk lebih memperdalam kesenian yang digeluti. Kegiatan ini akan terus berlanjut ke jenjang lebih tinggi yakni di SMP dan SMA serta perguruan tinggi. Hingga tahun 1967 kegiatan kesenian di sekolah masih terjaga dan berlanjut dengan baik. Kesenian kesenian klasik, tradisional masih laku keras. Sanggar sanggar kesenian masih menjamur hingga tidak kekurangan peminat mulai tingkat anak anak hingga dewasa. Muncul pekerja kreatif yang menghasilkan karya karya yang besar. Kesenian modernpun bermunculan dan hidup. Tari dan drama modern serta seni rupa kontemporer banyak terhidang dari generasi muda. Buku buku sastra karya penulis Indonesia tidak kalah mendunianya. Pendidikan ini menghasilkan pemuda pemudi yang santun, peka lingkungan, memiliki penghargaan terhadap orang lain, mampu berbeda pendapat tanpa kekerasan, kata besarnya adalah mampu menjadi generasi muda yang pluralis. Perbedaan pandangan politik tetap ada, partai saling mendekat kekuasaan untuk menguasai penguasa tetap ada. Korupsi juga bukan hal aneh. Namun rakyat tetap memiliki kesatuan yang utuh.
Perubahan penguasa ternyata membawa perubahan disegala bidang. Kita tidak lagi mendengar pidato berapi api seorang presiden. Kita tak mendengar lagi ajaran ajaran yang jelas dan pasti yang harus dilakukan. Pemerintahan berganti menjadi pemerintahan yang tenang namun ternyata sangat otoriter. Semua ditentukan pucuk kekuasaan dan semua harus menurut. Yang melawan akan segera hilang secara paksa. 32 tahun lamanya otak dicuci habis habisan secara rutin. Yang ada adalah “menurut petunjuk” yang harus ditaati rakyat. Bahkan kata “rakyat” diganti dengan masyarakat. Barangkali kata “rakyat” terlalu terasa revolusioner maka dijauhkan. Masih untung Dewan perwakilan rakyat tidak diganti perwakilan masyarakat. Ormas pun tidakk menggunakan kata “gerakan” sehingga lambat laun hilang darah pergerakan pada ormas2 yang berubah menjadi kelompok penadah proyek2 sebagai imbalan atas jasa jasanya mendukung kemenangan dalam pemilu serta pemilihan presiden. Kampus pun dilarang untuk menjadi tempat kegiatan politik, sehingga ormas kepemudaan yang ada afiliasinya dengan partai harus keluar dari kampus, demikian pula di tingkat sekolah SMA. Departemen pendidikan dan kebudayaan menggunakan slogan yang juga diambil dari ajaran Ki Hajar Dewantara yakni “Tut wuri handayani”. Mestinya ini slogan yang hebat namun kenyataannya justru terbalik. Justru harus mengikuti yang dibelakangnya. Pendidikan dari top down. Guru hanya memberi perintah perintah dan murid melaksanakan saja. Maka yang terdengar adalah apa kata guru, bukan apa kata “saya”. Makin lama makin diciptakan jurusan sekolah SMA bagian IPA adalah tempatnya anak anak pandai. Orang tua terpengaruh sehingga malu kalau anaknya tidak masuk IPA. Saya masih ingat banyak sekolah yang menutup jurusan bahasa karena tidak ada peminat. Seolah olah jurusan bahasa adalah jurusannya anak anak bodoh. Gengsinya rendah. Ini membawa akibat bidang seni pun jadi mundur karena seni adanya di jurusan bahasa ini. Dan karena jurusan bahasa kebanyakan wanita siswanya maka ada anggapan jika laki laki main drama maka akan jadi banci. Ini pengakuan dari siswa yang aku tanya selama ini. Akibatnya peserta ekskul teater yang laki laki sangat minim. Di satu sekolah ada yang hanya satu atau dua pria saja. Ada juga yang lebih banyak tapi jarang. Dari segi bangunan sekolah pun berubah. Jika zaman Bung Karno sekolah sekolah masih memiliki aula bahkan panggung untuk kegiatan latihan serta pertunjukkan seni panggung maka berangsur angsur hilang. Belasan tahun hilang sehingga untuk latihan kesenian jadi sulit ditambah lambat laun pelatihnya berkurang karena tak ada budget sekolah untuk itu dan akibatnya hilanglah kegiatan kesenian di sekolah. Akibat besarnya adalah muncul generasi suka tawuran, suka kekerasan.
Didikan 32 tahun orde baru mau tidak mau, suka tidak suka, sadar atau tidak terbawa oleh para anak didik yang kini telah menjadi orang tua. Orang tua yang ternyata mewarisi sikap orde baru yakni suka memaksakan kehendak. Kapitalistik dalam mendidik anak. Maka semua pergerakan anak adalah atas persetujuan atau arahan orang tua. Kepedulian terhadap orang lain sangat tipis. Semakin mahal sekolah dan bertaraf internasional pasti akan laku keras. Seolah olah dengan menyekolahkan anaknya disana maka gengsi keluarga akan terangkat pula. Namun yang namanya cinta tanah air justru menghilang. Tanyakan kepada anak didik kita senadainya negeri ini diserbu pemberontak baik drai dalam atau luar apa yang akan mereka lakukan? Maka jawabnya adalah lari keluar negeri. Yang namanya bela tanah air memang tidak ada. Barangkali juga tak ada kepedulian lagi negeri ini darimana dan untuk siapa. Sekolahpun kalau banyak duit sejak sma pun sudah keluar negeri. Maka tidak salah jika rakyat dalam setiap pemilu tidak mampu memilih. Mereka akan memilih siapa yang memberi duit. Pernah saya bilang terima duitnya tapi pilihan tetap seperti hati kita. Eh dijawab :”Ya nggak enak pak sama yang memberi duit” Inilah kebaikan rakyat kecil kita. Dan kelemahan moral inilah yang dimanfaatkan. Ini kenyataan busuk namun sukar dihapuskan. Jangan heran jika petinggi atau elit politik pasti akan mencari duit sebanyak banyaknya selama lima tahun untuk menghadapi pemilu. Tidak peduli cara atau darimana dapatnya. Menghalalkan cara sudah dan tetap masih dipelihara. Bagaimana menjawabnya sebuah partai tiba tiba punya uang milyardan untuk pasang iklan di TV misalnya? Pokoknya aroma money politik mudah tercium tapi seperti kentut sukar mencari buktinya. Apalagi kentut yang tak bersuara, baunya menyengat namun sukar menemukan siapa orangnya.
Apa yang telah diletakkan sebagai dasar pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara kini sudah hilang. Pendidikan kesenian hanya tampak diluar sekolah dan tidak banyak sehingga kurang terdengar gaungnya. Sementara itu budaya pop dari Amerika merajai kegiatan seni Indonesia. Celakanya setelah mendapat arahan di zaman orde baru maka kesenian pop juga hanya hidup di kegiatan yang lebih mengutamakan kenikmatan jasmani. Film cinta, kekerasan mendominasi gedung gedung bioskop. Karya karya musik, lagu lagu pop berkisar soal cinta. Dan setelah 32 tahun lamanya hal itu terdidik maka kini terasa sekali hasilnya. Bagi pencipta karya musik kelasik, lagu lagu yang menggebrak, penuh kritik seperti halnya seni teater dan tari akan kehilangan penonton. Sulit sekali jalannya. Walaupun kini sudah bebas dari zaman otoriter namun rakyat sudah terbiasa untuk menikmati kesenian yang pop dalam arti yang hanya untuk bisa goyang secara lahiriah. Padahal raja raja pop dunia sebenarnya memiliki misi kemanusiaan, misi pendidikan manusia yang luar biasa seperti misalnya Michael Jackson. Di dalam negeri sebenarnya juga banyak pencipta lagu untuk membangkitkan kesadaran bangsa terhadap keadaan nyata, namun jumlah mereka minim dan mudah terpinggirkan. Di zaman orde baru kak Seto getol menciptakan lagu untuk anak anak dan digemari; tapi kini setelah di komnas anak anak justru tak terdengar karya karyanya, sementara banyak sekali menyampaikan kelemahan kelemahan dalam pendidikan anak. Acara televisi bagi anak anak kini musik dan lagu justru menyanyikan lagu lagu pop remaja sehingga gaya nyanyipun sudah meniru yang dewasa. Para juri dan presenternya mendukung olah polah nyanyi anak anak ini sehingga semakin jauh dari umurnya. Produser hanya berpikir bagaimana membuat acara yang mendatangkan duit besar. Soal pendidikan rasanya kok jauh dari pertimbangan.
Pembicaraan dengan guru kutemukan bahwa memang hampir punah yang namanya kesadaran mendidik, kesadaran memotivasi siswa untuk tumbuh kembang daya kreatifitasnya, daya inovasinya, daya abstraksinya, daya ciptanya. Kini banyak sekolah sudah melakukan apa yang sering disebut moving klas. Namun kuperhatikan ya sebatas hanya pindah kelas saja. Semua yang dilakukan sama saja dengan ketika guru yang pindah kelas. Cara mengajar juga tak berubah. Ada yang salah dari peniruan dari luar tentang kelas bergerak ini. Apalagi ujian akhir sekolah justru tidak memperhatikan kemampuan siswa. Maka tidak salah kalau setiap sekolah pada kelas akhir hanya diajar menjawab pertanyaan ujian dari tahun ke tahun. Lalu ketika lulus maka yang ada bukan anak muda yang telah sanggup mendengar dan melihat kehidupan sekeliling walau kita memang tidak berharap besar akan pasti mampu. Ini adalah akibat dari tidak berhasilnya pendidikan daya kreatifitas. Kesenian lah salah satu jawabannya. Ki hajar dewantara benar adanya. Pendidikan seni adalah landasan bagi pendidikan menyeluruh. Benar benar memprihatinkan dalam hal yang satu ini. Memang ada kesenian yang pasti jalan di hampir setiap sekolah tingkat SMA misalnya tari saman, dance grup. Kenapa? Karena tari ini sangat dinamis sehingga memberi kesempatan siswa bergerak sebebasbebasnya namun punya aturan. Festival tari ini selalu ada tiap tahun. Sekolah selalu member perhatian besar terhadap dua tarian ini. Tapi kesenian lain? Tarian kelasik, sastra, drama? Memprihatinkan.
Adalah kewajiban sekolah, guru gurunya dibawah kendali kepala sekolahnya untuk mampu memberikan gambaran atau motivasi sehingga kesenian serius bisa diterima. Tak benar bila sekolah hanya berhenti pada jawaban karena siswa tidak suka. Selanjutnya pelatih kesenian memang harus membuktikan kepada siswa bahwa seni yang diajarkan memang baik dan bermanfaat bagi pendidikan mereka. Barangkali dengan dipisahkannya pendidikan dan kebudayaan sehingga menteri pendidikan merasa tidak ada kaitannya dengan pendidikan kesenian. Menyedihkan jika buku sastra sehebat Pramudya justru di Malaysia dijadikan buku bacaan wajib anak setingkat SMA, tapi di negeri sendiri tak ada yang kenal, apalagi membaca. Jangan jangan guru nya juga tak pernah tau bahwa negerinya memiliki sastrawan besar yang mendunia. Jika dari kalangan pendidik saja tidak kenal sastra kita bagaimana anak anak didiknya akan kenal apa itu sastra Indonesia? Dan menteri kebudayaan tentu saja tak punya kekuasaan untuk masuk sekolah karena bukan wilayahnya. Sebagai ilustrasi, saya membawakan karya karya Arifin C Noer pada tahun 1974-1985 masuk kesekolah sekolah dari SD hingga perguruan tinggi di seluruh Indonesia sungguh mendebarkan dan membanggakan karena waktu itu pelajar dan mahasiswa mampu mencerna bahasa sastra Arifin C Noer yang puitis dan penuh sindiran terhadap kehidupan sosial. Tetapi ketika tahun 1999 hingga sekarang saya kembali mengelilingkan karya tersebut, rata rata 90 persen siswa dan mahasiswa mengatakan terlalu tinggi sastranya, sukar dimengerti. Yang menyedihkan bukan hanya murid tapi gurunya mengatakan hal yang sama. Mereka tidak mampu menjawab pertanyaan para siswanya; lalu ikut mengatakan dramanya terlalu berat hingga nggak cocok dengan siswa sekarang. Maunya yang ringan saja seperti cerita cinta cinta remaja saja dan lucu. Saya bersama teman2 teater keliling hanya melongo tak habis pikir. Inilah hasil pendidikan yang telah dibelenggu 32 tahun lamanya dan sepanjang 10 tahun reformasi masih saja berjalan ditempat. Belum ada menteri yang mampu melihat pendidikan di dunia untuk kemudian melihat bangsa ini dan mengambil langkah terbaik bagi pendidikan bangsa Indonesia. Bajunya saja yang ganti, jilidnya saja yang ganti, namun perjalanannya masih sama. Percuma tiap akhir tahun mengadakan pesta meriah, membakar milyardan rupiah, meraung hinga pagi hari, namun tak mengubah apa apa. Esok hari tahun berganti dan pendidikan akan tetap sama. Moving class, UN yang bermasalah tanpa akhir, ekskul kesenian yang tidak serius, anggapan IPA masih lebih hebat dibanding IPS apalagi bahasa. Kesenian tetap tidak menjadi landasan pendidikan menyeluruh. BARANGKALI MENTERJEMAHKAN KALIMAT JENIUS Ki Hajar dewantara inipun masih kesulitan bagi para guru kita termasuk juga barangkali pak menteri.
Saya menulis sebagai catatan kesaksian dari selama 35 tahun berkeliling dengan teater dalam usaha gerilya pendidikan lewat seni. Saya tidak mengeluh atau meminta penghargaan apapun, toh memang tidak akan ada yang tergerak untuk itu. Tapi perkenankan saya menyatakan bahwa saya merasakan pendidikan tetap tidak akan berubah hingga akhir kabinet jilid dua ini., walau katanya menterinya adalah tokoh pendidikan. Tapi selama ini telah terbukti bahwa singa yang garangpun jika masuk kandang ular maka akan mati sendirian. Jika terus melawan akan dibuang dari kandang tanpa kejelasan salah atau tidak. Kita telah menyaksikan sendiri betapa Gus Dur yang dipilih seluruh partai toh akhirnya oleh seluruh pemilih itu juga yang menurunkan paksa. Syukur Gus Dur cinta bangsa sehingga menahan pengikutnya yang akan mengamuk ke Jakarta. Dia tak mau ada pertumpahan darah. Sikap yang sama dengan Bung Karno yang memilih menyerahkan kekuasaan kepada Suharto walau jutaan pengikutnya siap berjibaku waktu itu. Negarawan memang belum banyak di negeri ini. Saya hanya sedih dan prihatin dalam hal pendidikan yang seharusnya nomer satu karena inilah fundamen yang paling pokok jika tidak mau digilas negeri negeri luar bahkan oleh tetangga sendiri.
Teman teman sebangsa setanah air, mari kita coba menghilangkan kata kata “semoga”, “harapan” dan sebangsanya dari ucapan kita sehari hari. Mari kita berani berujar : “harus”, “mulai sekarang” Jika hanya semoga semoga melulu ya akhirnya tak ada yang mulai bergerak. Semoga tahun depan lebih baik. Semoga rejeki lebih baik dan semoga semoga yang lain….. adalah membunuh kemampuan diri kita untuk melihat kenyataan. Apa benar hari ini kita sudah baik? Sudah makmur? Sudah sejahtera? Sudah adil? Korupsi sudah habis? Mari kita jawab dengan tindakan nyata melalui profesi kita masing masing. Saya bekerja melalui gerilya teater di kalangan siswa.

Wasalam.

Jakarta 3 Januari 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar