Senin, 08 Februari 2010

CERPEN PUTU WIJAYA

cerpen
Putu Wijaya

MALING


Di jalanan yang sudah bertahun-tahun saya lalui ada rumah orang kaya. Depan rumahnya ada sebatang pohon kelapa gading. Buahnya terus berlimpahan seperti mau tumpah. Kalau lewat di situ, saya selalu kagum. Tapi juga tak habis pikir. Mengapa kelapa itu tak pernah dijamah. Mungkin pemiliknya terlalu kaya sehingga sudah tidak doyan lagi minum air kelapa. Padahal kalau saya yang punya, tiap hari tidak akan pernah saya biarkan lewat tanpa rujak kelapa muda.
Perasaan saya sama dengan orang-orang lain. Mereka juga heran. Karena mereka pun tahu, setiap bulan puasa, kelapa muda di mana-mana laris. Hanya dengan gula merah dan jeruk nipis, buah itu mengantar ke surga di saat buka. Ditegak langsung juga sedapnya bukan main. Semua minuman keluaran pabrik yang digondeli seabrek bahan pengawet dan zat warna, lewat. Kelapa memang nomor satu.
Setelah berhasil membeli rumah yang saya kontrak, yang pertama saya lakukan adalah menanam kelapa gading. Tidak perlu diurus, tak peduli bagaimana curah hujan, kemarau kepanjangan sekali pun, kelapa itu terus tumbuh. Dalam waktu 5 tahun mulai berbuah. Lebatnya juga tidak ketulungan.
Tapi aneh. Setelah punya pohon kelapa sendiri yang ngamuk berbuah seperti milik orang kaya itu, selera saya menegak kelapa muda, berhenti. Buah kelapa saya biarkan saja tergantung di pohonnya sampai tua. Baru kalau ada bahaya bisa menjatuhi kepala orang lewat, atau menghajar kap mobil, saya suruh sopir menurunkannya.
Ketika satpam di kompleks dengan malu-malu datang minta satu dua kelapa muda untuk buka puasa, dengan tangan terbuka saya persilakan.
“Silakan-silakan, ambil saja. Sepuluh juga boleh!”
Satpam itu nampak segan..
“Dua saja cukup, Pak,”katanya malu-malu.
Tapi belakangan pembantu saya mengadu.
“Bukan dua, bukan tiga, bukan lima, tapi sepuluh butir kelapa yang dipetik si Rakus itu, Pak!”
Saya sabarkan dia. Saya bilang, pohon kelapa itu justru akan semakin rajin berbuah kalau buahnya dipetik. Pembantu saya tidak berani menjawab. Tapi dia ngedumel terus. Mungkin dia marah karena tidak dibagi. Saya biarkan saja itu jadi urusannya.
Bulan puasa berikutnya, satpam itu tidak minta izin lagi. Dia selalu memetik kelapa kalau mau buka. Kembali pembantu saya marah. Saya hanya ketawa.
“Kalau kamu mau, ambil sendiri dong, jangan marang doang”kata saya .
“Bukan begitu, Pak.”
“Minta tolong sopir biar kamu dipetikin!”
“Terimakasih, Pak. Memangnya saya tupai, saya tidak doyan kelapa!”
Saya ketawa. Kalau pembantu berani ngumpat-umpat di muka majikan seperti itu, bagi saya tanda hubungan kemanusiaan di antara kami masih sehat. Saya tidak pernah menganggap pembantu itu manusia yang lebih rendah dari majikan. Itu soal pembagian tugas dan nasib saja. Itu karena ibu saya sendiri dulu adalah bekas pembantu.
Tapi kemaren, pembantu saya mengetuk pintu kamar. Saya agak marah, karena saya sedang tidur enak.
“Kan sudah aku bilang aku mau tidur, jangan diganggu!”
“Tapi ini gawat Pak.”
“Gawat apa?”
“Memangnya Bapak sudah ngijinin?”
“Ngijinin apa?”
“Itu ada dua orang yang lagi ngambil kelapa, Pak!”
“Biarin aja. Apa salahnya satpam buka dengan air kelapa muda? Satpam juga manusia. Kamu saja terlalu sensitif!”
“Tapi itu bukan si Rakus itu, Pak!”
“Bukan?”
“Bukan sekali!”
“Siapa?”
“Coba Bapak lihat sendiri. Nyebelin sekali, Pak. Sudah tidak pakai permisi, main ambil tangga aja, apa dia pikir itu punya moyangnya, pakai golok di dapur segala , nyuruh bikin kopi lagi, Pak!”
Saya tertegun. Sambil membetulkan resluiting celana, saya keluar rumah.
Di atas pohon kelapa nampak seorang lelaki sedang mengebul-ngebulkan asap rokok. Ada tali yang terentang ke bawah dari dahan kelapa, untuk mengirim kelapa yang tangkainya sudah di kapak. Di dekat bak sampah, temannya sedang memasukkan kelapa yang sudah dipetik ke dalam karung. Saya hitung sudah dua karung. Rupanya kelapa saya mau disikat habis.
“Heee, lagi ngapain!”teriak saya terkejut.
Lelaki yang di bawah menoleh. Dia tersenyum sopan.
“Selamat sore Pak.”
“Kamu lagi ngapain?”
“Lagi metikin kelapa, Pak.”
“Lho ini kan kelapa saya?”
“Betul, Pak.”
“Kenapa dipetik?”
“Nanti ketuaan, Pak?”
“Lho apa urusan kamu? Ini kan pohon kelapa saya?”
Orang itu berteriak kepada temannya yang di atas.
“Jo, Bapaknya nanyain ini!”
Orang yang di atas menoleh ke bawah ke arah saya.
“Kenapa Pak?”
“Emang kamu mau ngabisin kelapa saya?”
“Ya sekalian, Pak. Besok saya mudik.”
“Terserah. Tapi ini kelapa saya!”
“Ya, Pak!”
“Ya apa?! Kenapa kamu ambilin kelapa saya?”
Orang itu tertegun heran.
“Emang kenapa Pak?”
Saya mulai marah.
“Jangan ngomong dari atas. Ayo turun kamu!”
“Tinggal dikit lagi, Pak. Nanggung.”
Saya tambah keki.
“Turunnn!”
Suara saya menggelegar. Saya sendiri terkejut. Tetangga depan rumah sampai melonggokkan kepalanya di jendela. Lelaki di atas pohon itu tiba-tiba menjatuhkan kapak dari atas pohon. Menancap ke atas rumput depan pagar. Darah saya tersirap, seakan kapak mengiris leher saya. Terus-terang saya ngeper. Meskipun kelapa itu milik saya, saya tidak mau mati konyol hanya karena soal kelapa.
“Kenapa Pak?” tanya lelaki itu setelah dengan sigapnya turun.
“Saya cuma mau tanya. Kenapa kalian memetik kelapa saya?”
“Tapi kan saya sudah saya bayar, Pak.”
“Apa?”
“Sudah saya bayar, Pak.”
“Bayar apa?”
“Harganya. Kan sudah saya naikkan seperti yang diminta.”
“Harga apa?”
“Harga kelapanya semua, Pak.”
“Kamu beli kelapa saya?”
“Ya Pak.”
“Tapi ini kelapa saya, tahu!”
“Betul Pak!”
“Kelapa ini tidak dijual!”
Lelaki itu bingung. Dia menoleh temannya. Lalu temannya menghampiri. Dia berusaha menjadi penengah. Dengan suara yang sejuk, dia menyapa.
“Kami sudah bayar lunas, Pak.”
“Bayar lunas apa?”
“Kelapanya. Semua. Kami borong, Pak.”
“Aku tidak jual kelapa!”
Ganti orang itu nampak heran. Dia balik menoleh temannya. Lalu temannya mengambil kapak. Dada saya berdetak. Semangat saya amblas. Saya betul-betul tidak ingin berkelahi soal kelapa. Itu terlalu sembrono.
“Begini, Pak, “kata lelaki yang membawa kapak itu,”Memang belum lunas semua, tapi seperempatnya lagi akan dibayar setelah kami rampung .”
Lelaki itu lalu merogoh saku mengeluarkan dompet.
“Mana duitnya?!”
Temannya ikut merogoh saku dan mengeluarkan amplop.
“Nih lunasi sekarang!”
Lelaki itu memasukkan isi dompetnya ke dalam amplop.
“Sana kasih sekarang!”
“Tapi itu kelapanya masih ada?”
“Udah cukup. Bapak ini kali mau minta yang kecil-kecil itu jangan diambil dulu,”katanya sambil menoleh saya dengan tersenyum, “Ya kami juga tidak akan ngambil itu, Pak. Ini saja sudah cukup. Cepetan sana bayar!”
Orang yang membawa amplop itu, bergerak pergi menuju ke pos satpam.
“Begitu, Pak. Kami tidak pernah nakal.”
“Jadi kamu beli kelapa saya?”
“Ya Pak.”
“Beli dari siapa?”
“Pak satpam, Pak.”
Saya terhenyak. Marah saya meledak lagi. Tapi kapak di tangan lelaki itu terlalu menakutkan. Saya terpaksa menelan perasaan saya. Lelaki itu tidak bicara lagi. Ia mem asukkan semua kelapa yang dia anggap sudah dibelinya ke dalam karung. Waktu itu tetangga saya keluar dari rumah dan menyapa.
“Dijual berapa?”
Saya hanya menggeleng. Tapi lelaki yang membawa kapak itu menyahut.
“Seratus ribu, Pak.”
“Wah lumayan! Boleh juga!”
Saya tak menjawab. Sayup-sayup saya dengar suara satpam di pos. Entah apa yang mereka bicarakan.
Tak sanggup melihat buah yang selalu saya pandangi sebagai keindahan itu, sekarang berserakan di jalan, diam-diam saya masuk ke rumah. Korden jendela saya tutup. Saya tidak mau atau katakan saja takut melihat kenyataan itu
Di luar saya dengar suara entakan sepatu satpam datang. Saya tak percaya dia akan masuk, lalu menyerahkan hasil penjualannya. Itu hanya harapan saya.. Dan saya jadi benci sekali karena semuanya itu tetap hanya harapan.
Semalaman saya tak bisa tidur. Istri saya menyarankan agar menegur satpam yang kurangajar itu. Tapi saya punya rencana yang lain. Orang itu tidak cukup ditegur. Dia harus diberikan pelajaran biar tahu rasa
Pagi-pagi, saya berunding dengan sopir yang antar-jemput saya ke kantor.
“Kamu kamu berbuat baik, Jon?”
“Apa itu, Pak, boleh.”
“Kamu tahu tukang sayur yang selalu lewat dengan gerobaknya pagi-pagi itu?”
“Tahu, Pak.”
“Cantik kan?”
“Ah Bapak, sudah peot begitu, masak cantik.”
“Jangan begitu. Dulu dia cantik. Sekarang karena kurang terurus dan kerja keras, anaknya juga sudah dua, jadi layu begitu.”
“Ya Pak. Dia suka mengeluh, suaminya mau kawin lagi. Tidak pernah ngurus anak bininya sekarang. Pulang juga jarang.”
“Coba hibur dia.”
“Hibur bagaimana, Pak?”
“Kembalikan kepercayaan dirinya!”
“Bagaimana itu Pak?”
“Kamu katakan kepada dia, dia itu sebenarnya cantik, asal mau mengurus badannya lagi.”
Sopir ketawa.
“Ah Bapak bisa aja!”
“Lho ya nggak? Jujur saja! Kalau dia mau ngurus badan lagi, dengan gampang dia bisa dapat suami baru. Ya tidak?!”
Sopir saya ketawa. Dia melirik saya dengan mata curiga.
“Aku serius!”
Sopir itu tak menjawab. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Di kantor saya intip dia bisik-bisik dengan sopir lain. Pasti sedang menebar gossip. Saya pura-pura tidak tahu. Tetapi kemudian apa yang saya rencanakan terjadi.
Sehari kemudian, sore menjelang saat buka, terjadi kegegeran. Satpam sudah menunggu saya di teras. Mukanya nampak terlipat oleh kemarahan.
“Kenapa Min ?”
“Ada masalah, Pak!”
“Masalah apa lagi? Ada bom?”
“Bukan ini pribadi, Pak!”
“O, kamu mau kawin lagi?”
“Ah itu gossip, Pak!”
“Atau sudah kawin?”
“Sumpah, Pak, mana mungkin saya kawin lagi.. Yang satu saja tidak sanggup saya urus, sampai dia terpaksa jualan sayur dengan gerobak.”
“Ya, kamu kok sampai hati membiarkan istri kamu dorong gerobok, padahal dia asma kan?”
“Itulah, Pak!”
“Makanya jangan kawin melulu!”
“Sumpah, Pak, tidak. Malah saya yang kena batunya sekarang!”
“Kena batunya gimana?”
“Istri saya ada yang godain, Pak!”
“O ya?”
“Betul, Pak! Istri saya digoda!”
“Digoda bagaimana?”
“Masak istri saya dibilang cantik, Pak!”
“Lho istri kamu kan memang dulu cantik? Kalau tidak, mana mau kamu!”
“Memang. Tapi itu kan dulu, Pak. Sekarang anaknya sudah dua, asma lagi, mana ada cantiknya. Ngga ada orang yang akan melirik dia, kecuali kalau ada niat jahat.”
“Maksudmu apa?”
Satpam itu pindah kursi, mendekatg, lalu bicara dengan berbisik.
“Ini menyangkut sopir Bapak.”
“Si Jon?”
“Betul, Pak.”
“Kenapa dia?”
“Masak dia merayu istri saya, Pak!”
“Merayu bagaimana?”
“Katanya, istri saya itu sebenarnya cantik, asal saja mau dandan lagi. Kalau sudah dandan dia nanti gampang cari suami baru! Begitu Pak!”
“Terus?”
“Ya kalau si Jon itu tidak ada maksud apa-apa, dia tidak akan bilang begitu. Saya tahu persis apa maunya kalau laki-laki sudah ngomong memuji-muji begitu. Perempuan kan lemah hatinya, Pak. Kalau sudah dipuji, apa saja dia kasih.”
“O ya?”
“Betul, Pak.”
“Jadi sekarang maksudmu apa?”
“Ya Bapak tolong kasih tahu, janganlah si Jon itu coba-coba dengan istri saya!”
“Tapi kamu kan sudah tidak memperhatikan istri kamu lagi.”
“Bukan tidak memperhatikan, Pak.”
“Terus apa?”
“Nggak punya duit saja, Pak. Bagaimana saya memperhatikan kalau tidak ada duit yang bisa saya kasihkan?”
“Memperhatikan itu tidak harus dengan duit. Istri kamu kan sudah kerja sendiri. Katanya malah kamu yang sering minta duit dari dia? Betul?”
“Betul, Pak.”
“Kenapa?”
“Kan dia itu istri saya!”
“Jadi meskipun tidak kamu perhatikan, dia itu tetap istri kamu kan?!!”
“Betul, Pak. Makanya saya marah. Hanya karena saya ini satpam, saya jadi serba salah. Saya tidak berani melakukan kekerasan, masak satpam yang harusnya menjaga keamanan melakukan kekerasan. Tidak betul kan, Pak!”
“Jadi maksud kamu apa?”
“Saya minta Bapak ngasih tahu si Jon, janganlah ganggu istri saya. Meskipun tidak saya perhatikan, tapi dia tetap istri saya. Orang tidak boleh mengganggu perempuan yang masih berstatus istri orang lain. Ya kan Pak?!”
Di situ saya tertegun. Jadi dia bukan tidak mengerti. Dia tahu. Meski pun tidak ditunjuk-tunjukkan, hak itu tetap hak. Kenapa dia sangat mengerti dan menuntut haknya agar dihormati sebagai suami oleh orang lain, tapi pada saat yang sama dia dengan seenaknya saja melangkahi hak saya terhadap pohon kelapa. Apa karena tidak saya petik, berarti kelapa itu boleh dia jual?
Lamunan saya terganggu, karena tiba-tiba istri satpam, tukang sayur itu, muncul.
“Jangan didengar omongannya, Pak!” katanya dengan berani. “Dia ngaku-ngaku saya istrinya lagi, karena ada maunya! Baru dengar saya dapat warisan dari nenek saya di kampung, langsung dia ngaku bapaknya anak-anak lagi. Tapi kemaren-kemaren apaan, anak-anaknya sendiri digebukin, kepala saya dikencingin!”
Saya takjub. Satpam itu kelihatan pucat. Tapi tiba-tiba dia membentak.
“Ngapain lhu ikut-ikutan kemari? Pulang!”
Istrinya sama sekali tidak takut. Ia balas menggertak.
“Lhu kagak usah nyuruh-nyuruh gua pulang, gua memang mau balik kampung sekarang. Gua cuma mau pamitan sama Bapak! Pak, saya pamit pulang, Pak. Maapin kalau saya ada salah.”
Perempuan itu mengulurkan tangan minta bersalaman. Saya terpaksa menyambutnya. Ia mencium tangan saya sambil menangis.
“Maapin kesalahan-kesalahan saya, Pak, saya terpaksa pulang. Saya tidak kuat lagi di sini.”
Satpam mula-mula hanya memandang, tetapi kemudian berdiri, lalu menarik istrinya untuk dibawa pulang. Yang ditarik melawan. Saya terpukau menonton. Untung istri saya muncul dan menarik istri satpam itu, langsung diselamatkan masuk.
Satpam tidak berani bertindak lebih jauh. Seperti orang tolol dia berdiri di depan saya. Saya siap mencegah, kalau dia mencoba mau menyusul masuk. Tapi itu tidak terjadi. Malah kemudian dia menangis.
Saya tunggu saja sampai tangisnya reda. Rasanya agak aneh melihat satpam mewek seperti itu.
“Saya memang salah, Pak.”katanya kemudian , “saya baru ingat istri, kalau sudah ada yang menggoda. Hari-hari saya sia-siakan. Anak tidak pernah saya urusin. Giliran mereka mau pulang kampung, baru saya sadar. Untung dia bilang, jadi saya bisa nyegah. Untung dia mau pulang, kalau tidak, saya pasti terus lupa saya sudah punya istri, punya dua anak. Saya sudah lupa daratan, Pak Saya menyesal, Pak.”
Saya tidak menjawab. Saya menunggu dia bergerak satu langkah lagi. Minta maaf sebab dia sudah dengan seenak perutnya menjual kelapa saya tanpa persetujuan. Tapi penantian itu nampaknya akan sia-sia. Satpam itu lebih sibuk memikirkan istrinya yang baru dapat warisan itu tapi akan meninggalkannya. Saya jadi geram. Akhirnya saya terpaksa ngomong juga.
“Jadi sekarang kamu sadar! Memang kita baru ingat milik kita kalau sudah diambil orang. Itu biasa. Semua orang juga begitu! Tapi meskipun maling itu ada gunanya, tetap saja namanya maling!! Kudu dihukum!”
Satpam terkejut. Mukanya merah padam. Tiba-tiba ia berhenti menangis lalu berkata geram.
“Kurangajar! Pasti si Jon tahu istri saya dapat warisan! Malingggg!” teriaknya ganas sambil mencabut pisau lalu kabur ke garasi tempat sopir saya membersihkan mobil.
“Malingggg!”
Saya jatuh bangun mengejar. Tapi terlambat. Dia sudah membacok tengkuk sopir saya.
Untung si Jon seorang pendekar. Dengan refleknya yang luar biasa dia menepiskan serangan satpam itu. Pisau satpam terlempar ke tembok. Lalu tangan si Jon terangkat. Tangan yang bisa membelah tumpukan bata itu akan meretakkan muka satpam. Saya berteriak.
“Jangan!!!!!”
Sekarang saya menyesal.
“Mengapa Bapak teriak jangan? Maling apa pun alasannya, perlu mendapat pelajaran, biar kapok!”kata istri saya mencak-mencak, sesudah peristiwa itu berlalu.
Sebenarnya saya tidak bermaksud mencegah. Hanya sopir saya tidak mengerti, dengan berteriak “jangan” maksud saya “hajar”. Masak saya harus bilang pukul. Nanti saya disalahkan menzalimi orang lemah. Saya kan Ketua RT.


Jakarta, 4 September 09
(setelah berita tentang pulau Jemur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar