Senin, 08 Februari 2010

GUS DUR

GUS DUR

karya Putu Wijaya

Jalan menuju Ciganjur, petang itu bangkit. Warga berdiri di pinggir jalan menunggu jenazah almarhum Gus Dur diantarkan ke rumah oleh mobil duka. Wajah-wajah mereka nampak tegang dan sedih. Hatinya tercabut, bagai ayam yang kehilangan induk.

Seorang empu telah meninggal. Dan empu adalah raja tak bermahkota, yang bertahtah bukan di atas singasana, tetapi di dalam hati warga. Indonesia tidak hanya berkabung sepekan tapi bertahun-tahun, karena almarhum tak tergantikan.

Saya terhenyak di depan televisi. Terlalu banyak urusan dengan buaya dan cicak serta kasus Bank Century menyebabkan saya lupa mengikuti perkembangan kesehatan mantan presiden RI yang ke-4 yang memang mulai menurun belakangan ini. Pikiran saya kacau. Untung ada SMS mencegah pergi ke RSCM tempat almarhum dirawat, agar langsung ke kediamannya di Ciganjur. Tak banyak cing-cong lagi saya berangkat.

Tergopoh-gopoh saya menembus kemacatatan yang membuat lalu-lintas merayap. Saya temukan santri-santri mengenakan baju koko putih. Para polisi sibuk mengatur aliran lalu-lintas dengan muka ikhlas. Tak ada lagi kesan mau menjebak para pengendara kendaraan.

Di sekitar masjid, madrasah dan kediaman almarhum yang malam itu menjadi sempit, ada prajurit-prajurit bersenjata. Bersiap mengamankan dan menyiapkan upacara kenegaraan bagi putra bangsa mantan RI Satu. Jalanan bagai sungai musim hujan, penuh. Mobil-mobil pemancar televisi sudah menumpuk. Beberapa wartawati muda yang gesit menyelusup menyusun strategi.

Siapa bilang kita sudah kehilangan semangat kesatuan? Siapa bilang kita sudah kehilangan spontanitas dan kesigapan? Lihat, semuanya bergerak cepat, serentak dan tidak peduli lagi perbedaan, sebagaimana yang dipelopori oleh Bapak Pluralisme itu! Kita tetap memiliki semangat gotong-royong dengan tenggang rasa tinggi, asal tepat memijit knopnya. Rasa kebangsaan tidak pernah hilang. Itu hanya keselimpet dan hanya pemimpin yang mampu mengangkatnya kembali.
Jelas sekarang Gus Dur adalah pemimpin!

Orang-orang paling penting di negeri ini, dari Presiden SBY dan mentri-mentrinya, Ketua MPR, mantan Presiden RI, Megawati, para cedekiawan dan rakyat biasa yang ingin menunjukkan solidaritasnya, kumpul bersama-sama. Hanya untuk mengucapkan selamat jalan. Luar biasa.

Akhir riwayat, adalah catatan yang paling akurat tetang siapa sebenarnya seseorang. Tanpa dikomando atau digalak-galakkan, bila orang tumpah datang, berarti almarhum begitu dicintai. Dicintai adalah syarat utama untuk membuat orang menjadi pemimpin.

Jadi bukan semata kepintarannya, otaknya, kekuatannya, kegalakannya, apalagi akal-akalannya, bahkan juga bukan karena dukungan suara politik yang membuat orang menjadi pemimpin, tetapi budi dan karismanya! Itulah pemimpin sejati. Itulah yang selalu kita inginkan! Itulah yang sekarang meninggalkan kita.

Tak salah kalau almarhum diangkat sebagai Pahlawan Nasional! Dan pahlawan tak memerlukan sebuah taman, karena dia sendiri adalah taman itu. Tempat orang memandang, untuk berpegang. Tempat orang mencari kedamaian dan kenyamanan hati!

Tak cukup hanya mengibarkan bendera setengah tiang, saya juga mengenakan pakaian hitam-hitam, berpuasa makan daging. Mengekang emosi dan merenung selama masa berkabung. Saya berupaya selalu tenang, bijak dan menyenangkan lingkungan. Pantang mengeluh-ngeluh lagi. Tidak sambat tentang kesehatan dan keinginan-keinginan saya yang tak terkabul. Tidak merengut, sama sekali tidak melarang-larang. Saya mencoba menjadi seperti empu.

“Bapak berubah, setelah Gus Dur tak ada,”kata anak saya.

Istri saya setuju.

“Itu bagian dari kebesaran seorang pemimpin. Ia tidak hanya mempengaruhi kita ketika masih ada, ketika sudah berpulang pun ia terus membimbing, bahkan semakin memimpin kita. Seorang pemimpin, memang tidak boleh kurang dari seorang empu di balik keperkasaan dan kepintaranya. Ia tidak memerintah, tetapi ia membuat kita memerintah diri kita sendiri untuk berbuat kebajikan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh negara.”

“Itu yang aku tidak setujui!”

Istri saya terkejut.

“Tak setujui apa?”

“Mengapa pemimpin harus meninggal dulu, sebelum semua ajaran-ajarannya tentang kebersamaan, kesetaraan, kecintaan pada sesama. Mengapa ide tentang kesatuan, tentang demokrasi, pluralisme, keberagaman beragama dan sebagainya dan sebagainya, baru bangkit, berkobar dan diyakini oleh rakyat, setelah pemimpin meninggal?”

Istri saya mengurut dada.

“Sabar, Nak, sabar! Itu sama saja dengan ketika kamu menggugat, mengapa kita baru membagi rezeki kita kepada orang lain, baru sesudah ada tsunami, gempa Yogya, setelah ada lumpur Lapindo dan gempa Padang!”

“Persis!”

“Memang semuanya begitu, Nak! Itulah kehidupan!”

“Tidak! Siapa bilang harus begitu! Kenapa?! Kita tidak bisa menerima semuanya harus begitu, harus begitu melulu! Capek! Kita harus berani menerima bahwa itu berarti: ada yang kurang.!

Istri saya menatap anak saya dengan tajam.

“Apa yang kurang?”

Anak saya mengeluh dalam.

“Aku tak berani mengatakannya. Maksudku, aku tidak sampai hati mengatakan. Aku tidak boleh mengatakannya. Aku tidak berani mengatakannya.”

Ia menarik nafas lebih dalam lagi seperti menelan dirinya sendiri, tapi kemudian berbisik lirih.
“Bahwa pemimpin-pemimpin yang kita miliki, belum cukup kalibernya, sehingga kepemimpinannya baru terasa, baru benar-benar memimpin kita, setelah mereka tak ada.”
Tiba-tiba air mata anak saya menetes. Ia menutup mukanya dan menekan rasa haru.

Istri saya lalu menghampiri saya.

“Kecil-kecilan, kamu sebenarnya juga seorang pemimpin, Pak, meskipun hanya sebatas rumah. Coba bicara dengan anakmu itu. Cuci otaknya sedikit. Masak dia bilang pemimpin-pemimpin kita kurang kaliber? Kalau didengar orang kita bisa diadukan menghina!”

Saya langsung pasang omong dengan anak itu.

“Kamu keliru Taksu. Kenapa mesti menangis. Bapak senang kamu jadi berpikir mendalam setelah Gus Dur tak ada. Bukan hanya kamu, seluruh rakyat Indonesia, bahkan juga mungkin dunia, dunia jadi berpikir, karena begitulah biasanya bila seorang besar meninggal. Kepergian semua orang besar menyebabkan kita merenung. Itu bagian dari kebesarannya. Kalau pemimpin biasa meninggal, ya kita hanya ikut berbela sungkawa, tapi kita tidak ditariknya berpikir. Pemimpin biasa itu seperti makanan siap saji, disantap dan dibuang. Pemimpin sejati beda, beliau membuat kita terus berpikir. Setuju?”

“Setuju!”

“Tetapi berpikir dan berpikir itu berbeda. Pemimpin besar dan pemimpin besar itu juga berbeda. Ada yang membuat kita berpikir pendek dan ada yang membuat kita berpikir panjang. Pemimpin yang membuat kita berpikir pendek, hanya sampai pada mengobarkan emosi kita. Pemimpin yang membuat kita berpikir panjang, membuat bangsa dan negara menjadi dewasa. Setuju?”

“Setuju!”

“Oke. Kalau begitu, menurut kamu, Gus Dur ini pemimpin yang mana?”

“Yang mengajak kita berpikir panjang.”

Saya tercengang.

“Tapi kenapa kamu mengatakan kepada Ibu kamu, kalibernya kurang?”

“Karena kaliber seorang pemimpin, tidak hanya ditentukan oleh kalibernya, tapi kualitas orang yang dipimpinnya. Itulah sebabnya, baru sesudah beliau meninggal kita ngeh apa yang diamalkannya. Sesudah beliau tak ada, kita baru sadar kalibernya.”

Saya terhenyak..

“Itu yang membuat aku menangis. Kenapa kita selalu terlambat?”


Jakarta, 5 Januari 2010

(roadshow monolog GUS DUR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar