Senin, 08 Februari 2010

ORANG BESAR

Putu Wijaya
ORANG BESAR

Amat memilih makan malam yang sangat-sangat-sangat, bahkan menurut Bu Amat “terlalu amat sangat sederhana sekali”. Hanya nasi putih putih dan sayur bening.

“Ini baru namanya makanan sehat,”kata Amat.

Bu Amat mengangguk.

“Ayo cepat makan, nanti maag.”

Amat mulai menyantap. Satu suap, lama sekali. Bu Amat menatap.

“Enak?”

Amat mengangguk.

“Bukan hanya makanan yang perlu sehat, cara makan pun ada aturannya. Setiap suap harus dikunyah 32 kali baru ditelan, untuk mengurangi pekerjaan perut besar.”

“Ya silakan, kunyah saja. Tapi enak tidak?”

“Kalau perut lapar, semua makanan enak.”

“Hanya nasi dan sayur bening tok, sudah enak?”

“Makan itu untuk hidup, bukan hidup itu untuk makan. Makan bukan untuk kesenangan tapi kesehatan. Yang penting bukan enaknya, tapi makanannya sehat atau tidak?!”

“Jadi Bapak mau terus makan nasi dan sayur bening tiap hari?”

Amat berhenti mengunyah.

“Lho ini kan hanya latihan. Berlatih merasakan bagaimana tidak enaknya kalau makanan sudah dibatasi, akibat kena penyakit. Jadi kita akan selalu berusaha mengendalikan nafsu makan enak yang menimbun penyakit itu, agar tetap sehat. Kalau kita sehat, kita bisa makan apa saja, tidak terpaksa makan nasi putih dan sayur bening tok seperti ini!”

Bu Amat tersenyum

“Ya sudah, kalau begitu jangan ngobrol terus, cepat habiskan.”

Amat menurunkan sendoknya yang tadi sudah diangkat.

“Kalau tekanan darah dan gula naik, ya makanannya nanti akan terus begini, “kata Amat menunjuk ke piring. “ memang sehat, tapi dimakannya susah, karena tidak ada aromanya, rasanya tawar. Jadi susah makannya!”

“Katanya demi kesehatan.”

“Memang., tapi … .”

“Tapi pa?”

“Ternyata sehat saja tidak cukup. Orang hidup perlu kebahagiaan. Kebahagiaan itu ya kesenangan. Kalau tidak senang, tidak bahagia, untuk apa hidup?”

Bu Amat tertawa.

“Jadi?”

Amat meletakkan sendok, lalu menegak air putih banyak-banyak. Ia menyandarkan badannya ke sandaran kursi seperti habis melakukan sesuatu yang berat.

“Kok berhenti makannya?”

“Kan susah cukup.”

“Itu masih banyak.”

“Ya ini kan hanya latihan.”

“Jadi sudah selesai?”

“Sudah!”

Bu Amat tersenyum. Ia membereskan meja. Mengangkat semuanya ke dapur. Lalu bersiap-siap hendak nonton televisi. Amat cepat mengingatkan.

“Lho sop buntutnya mana?”

Bu Amat menghidupkan tv seakan-akan tidak mendengar. Amat menghampiri dan mencolek istrinya.

“Sop buntutnya mana?”

Bu Amat tercengang.

“Lho, kan sudah selesai makan?”

Amat ketawa.

“Latihan hidup sehat sudah cukup. Sekarang waktunya makan yang bener. Tumben perut rasanya lapar sekali.”

“Jadi yang tadi tidak makan bener?”

“Lho itu kan latihan!”

Bu Amat menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi ia bangkit juga dan pergi ke dapur. Menghidangkan sop buntut dan segala makanan yang enak-enak kegemaran Amat yang doyan makan itu.

“Nah ini baru makanan,”kata Amat tak sabar meraih piring untuk mengganyang semuanya.

“Ini bedanya orang besar dan orang kecil,”bisik Bu Amat sambil menuangkan sop buntut yang berminyak ke dalam mangkuk.

Amat terhenyak.

“Maksudnya?”

“Orang besar itu satu perbuatan dengan kata. Orang kecil, lain yang dikatakan lain yang diperbuat.”

Amat tertawa.

“Kalau begitu aku ini termasuk orang kecil.”

“Memang!”

Amat mengangkat sendok ke mulutnya sambil tertawa.

“Enakan jadi orang kecil. Bisa ngomong seenaknya dan berbuat seenaknya. Tidak usah satu perbuatan dengan kata. Orang besar sudah dibelengu oleh bandrol besar sehingga kelakuannya terbatas. Sedikit salah ngomong massa langsung demo!”

“Jadi Bapak memang dari dulu memang cita-citanya hanya mau jadi orang kecil?”

Amat tak jadi memasukkan sendok itu ke mulutnya.

“Tidak. Dulu aku aku ingin jadi orang besar.”

“Terus kenapa kemudian memilih jadi orang kecil?”

Amat termenung. Ketika kemudian bicara suaranya kedengaran sedih.

“Orang-orang besar itu sering lupa mereka beda dengan orang kecil.”

“Masak?”

“Ya. Mereka selalu bilang, sabar, tenang, tahan, prihatin, mawas diri, jangan emosional, tidak boleh keburu nafsu, jangan pendek pikiran, lihat ke depan ke arah tujuan yang lebih jauh, jangan egois, rasional, professional, tidak boleh iri hati, harus tetap menjaga keutuhan, kebersamaan dan sebagainya dan sebagainya”

“Itu bagus kan?”

“Memang bagus. Tapi itu kan pekerjaan berat yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang besar. Karena mereka memang besar, kuat. Mereka punya banyak kesempatan. Dagingnya lebih tebal. Tidak makan 3 hari juga masih tetap besar. Orang kecil hanya punya satu kesempatan. Itu pun kadang-kadang rebutan sama orang lain. Untung-untungan kalau dapat. Kalau tidak kebagian, memang sudah nasibnya. Jangankan berbuat besar, berbuat kecil saja, orang kecil belum tentu mampu. Bukan karena tidak mau, jangan salah. Akhirnya mereka orang-orang kecil itu, yang tidak berdaya itu, merekalah yang dituding bersalah. Maling besar bisa ongkang-ongkangan ke luar negeri, di penjara kamarnya pakai ac, maling kecil baru mau ngambil mangga yang menjurai lewat pagar, sudah dikepruk sampai mati. Orang kecil kalau membela diri dari tudingan bersalah bisa tambah salah.”

Amat meletakkan sendok. Di televisi nampak bentrokan massa dengan petugas dalam demo depan istana. Selera makan Amat hilang. Bu Amat menegur.

“Bapak tidak jadi makan?”

Amat menggeleng.

“Lihat, memang enakan juga jadi orang kecil, tidak perlu pusing menghadapi masalah-masalah besar!”

Bu Amat membereskan kembali meja sambil menggerutu.

“Tak ada masalah besar dan masalah kecil, Pak. Yang ada adalah masalah-masalah besar dan orang-orang yang berhati kecil. Itu yang sudah memicu terjadinya masalah. Sekarang kita perlu: orang berjiwa besar.”


Jakarta, 29 Juan 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar