Jumat, 18 September 2009

KURIKULUM DRAMA YANG DILEMATIS oleh Rudolf Puspa Teater Keliling

Rasa syukur tiada putus putusnya atas terselenggaranya kegiatan drama di sekolah tingkat SMA yang sudah masuk kurikulum bahasa Indonesia. Ada sedikit teori, ada penulisan skrip, ada kegiatan nonton pertunjukkan drama, ada juga pentaskan drama. Tentu ini kurikulum yang ada penilaian resmi. Dan disamping itu masih ada kegiatan ekstra kurikuler bidang drama.
Guru bahasa Indonesia tentu kini mesti menambah pengetahuannya tentang drama. Bermacam cara ditempuh seperti mengajak seniman drama untuk membantu melatih siswa menulis skrip drama hingga memproduksi drama. Karena kegiatan ini ada dalam mata pelajaran bahasa Indonesia maka diharapkan siswa semakin terbuka mata hatinya serta terasah kepekaan rasa terhadap seni drama.
Pengalaman sejak 1999 memberikan pelatihan drama bagi siswa SMA di Jakarta yang waktu itu Pusat Bahasa Diknas yang memulai dalam acara bulan bahasa, saya merasa perlu menuliskan catatan untuk dapat kita lihat sejauh mana drama memiliki aspek pendidikan bagi siswa SMA.
Ketika memberikan pelatihan di Pusat bahasa selama 10 hari yang tiap tahun selanjutnya makin berkurang menjadi lima hari , saya merasakan adanya kendala yang cukup serius yakni terputusnya pembinaan setelah kegiatan tersebut. Kesenian tidka bisa seperti pertukangan yang setelah dilatih selama lima hari membuat kursi lalu bisa kerja sendiri. Kesenian memerlukan waktu yang panjang untuk mengasah rasa. Bahkan barangkali sepanjang hidup manusia. Memang bukan untuk tujuan melatih siswa untuk menjadi seniman teater. Pada mulanya hanya memperkenalkan. Namun setelah kenal kemudian ada yang ingin meneruskan dan belajar lebih mendalam; disitulah timbul permasalahan. Kemana mereka akan pergi? Sering aku pertanyakan hal ini ke pusat bahasa yang telah memulai kegiatan ini namun karena kesenian bukan pekerjaan utama pusat bahasa tentu saja hingga kini tak dapat aku menuai jawaban. Kebetulan aku punya gurp yang punya kegiatan memproduksi drama, maka kesanalah mereka aku bawa. Ada yang hingga kini masih setia terus menekuni berlatih tanpa melupakan kuliah. Jumlahnya memang tidak banyak. Sedih bila harus mengatakan bahwa teater masih belum “menjanjikan”.
Selanjutnya Teater Keliling mulai mencoba menjawab kebutuhan siswa menonton teater. Kami siapkan dan bekerjasama dengan Gedung Kesenian Jakarta yang tahun 2001 di bawah pimpinan Farida sangat terbuka untuk memberanikan diri tidak memikirkan keuntungan finansiil; walau tetap menyadari bahwa biaya produksi teater memang tinggi. Sementara nilai jual untuk tingkatan siswa SMA di Jakarta masih berkisar 20 ribu rupiah. Untuk menghemat biaya dan waktu maka pertunjukkan dalam sehari diadakan hingga 3 kali dan kadang 4 kali. Jumlah siswa yang mau menonton semakin banyak dan kemudian Teater Keliling pindah bekerjasama dnegaqn Taman ismail marzuki yang memiliki gedung dengan kapasitas penonton dua kali lipat GKJ. Kegiatan ini berlangsung hingga tahun ini yang beban kendalanya bukan semakin berkurang.
Biaya produksi teater semakin meningkat tajam. Dua tahun belakangan ini sudah tidak pentas di TIM maupun GKJ. Biaya operasional mereka semakin meninggi dan sukar jika masih menjual tiket dengan 20 ribu. Hitung punya hitung disarankan 50 ribu rupiah. Hal yang tentu saja tidak diterima karena sekolah rata rata masih menghendaki 20 ribu rupiah. Kendala ini menjadikan kami berpikir keras mencari gedung pementasan yang masih bisa diterima dan harga sewanya tidak tinggi, karena selain GKj dan TIM memang belum ada yang mau kerjasama. Namun mencari gedung yang tepat bagi teater ternyata tidak mudah dan ya memang tidak ada. Ada gedung bekas Miss Cicih yang menyerupai GKj namun kurang diterima pihak sekolah. Barangkali karena kurang pengenalan maka gedung yang bagus itu untuk teater kurang bisa dimanfaatkan.
Di luar problem pembiayaan masih ada permasalahan yang lebih kepada kebijakan birokrasi terutama yang menyangkut perijinan. Pada umumnya kini pihak sekolah memerlukan rekomendasi dinas pendidikan. Hal ini mengemuka karena pihak kepala sekolah tidak mau kena salah, sebab menyangkut penarikan uang dari siswa. Pernah ada kejadian kepsek tiba tiba umumkan bahwa siswa tidak ada paksaan nonton drama. Jadi yang tidak mau boleh kembalikan tiket. Lebih separo mengembalikan tiket. Guru bahasa pun malu atas kejadian ini.Ini menjadi dilema yang sangat kritis. Kurikulum memerlukan nonton drama. Namun untuk itu harus berhadapan dengan ketentuan tidak boleh menarik uang dari siswa. Jika mau nonton drama dari grup teater di luar sekolah maka harus ada rekomendasi dinas pendidikan. Kendala baru muncul lagi yakni tidak mudahnya mendapatkan rekomendasi tersebut, terlebih bila tidak kenal siapa siapa di kantor dinas pendidikan. Belum lagi urusan dengan kantor pajak yang untuk penjualan tiket cukup tinggi pajaknya dan harus bayar di muka untuk seluruh jumlah tiket.
Teater Keliling mencoba datangi perusahaan untuk menjadi sponsor. Dari 100 surat permohonan maka mendapat tiga saja yang bersedia adalah sudah luar biasa. Ini melemahkan hati, karena teater masih dipandang sebagai lahan yang kering. Semakin tersia rasanya menjalani kegiatan mengasah otak kanan siswa SMA. Sudah lebih dari 35 tahun Teater keliling berada di ranah teater yang membawa misi pendidikan bangsa. Namun tidak ada satupun penghargaan yang diterima dari pemerintah. Jika pun ada maka kebanyakan justru dari mancanegara. Tentu tidak mengada ada bila kami ingin mendapatkan sepotong surat penghargaan dari pemerintah entah siapapun presidennya, tapi hal itu terasa masih semakin sepi.
Ada kepala sekolah yang punya keberanian menjalankan kebijakan sesuai dengan diberikannya otonomi sekolah dalam menentukan langkah langkah pendidikan bagi siswanya. Namun tidak sedikit yang ketakutan jika menyangkut keuangan. Dengan begitu maka tidak kaget bila sebuah sekolah tahun ini selama dipimpin kepsek A maka kegiatan teater mencuat. Tapi ketika suatu saat ganti kepsek B yang ternyata tidak seberani A maka teater langsung menciut. Aku mengalami secara langsung hal ini. Ada yang menyediakan dana untuk pelatih kecil sekali namun ada yang layak dan juga ada yang lebih lagi. Aku tidak bisa memahami hal ini kenapa bisa terjadi. Oleh karenanya sikap kami menjadi pelatih ekskul teater adalah tidak komersiil. Lebih didasari idealisme pendidikan otak kanan.
Selama bekerja untuk pendidikan apapun bentuknya maka harus siap untuk tidak popular, Siap untuk berada di pinggiran. Siap untuk tidak diperhatikan apalagi mendapat penghargaan. Pendidikan harus dilakukan terus menerus. Mendidik manusia bukan sekali elus langsung jadi. Tekun dan mau bersusah payah datang ke sekolah, melatih yang hanya seminggu sekali dengan banyak kendala pula. Karena musim ulangan, maka ekskul ditiadakan. Karena musim remedial maka ekskul dikalahkan. Karena sudah kelas tiga maka tidak boleh ikut ekskul, ditakutkan mengganggu konsentrasi belajar menghadapi ujian akhir. Untuk mendapat tambahan sering diajak ikut produksi grup, dan juga ada kendalanya. Biaya transport untuk pergi pulang ke sanggar teater sukar minta orang tua. Ada yang orang tua tidak setuju anaknya ikut teater di luar sekolah. Apalagi bila latihan hingga malam karena jam sekolah pulang sudah pukul 4 sore lalu baru bisa mulai latihan setelah magrib dan dua jam kemudian sudah malam tentunya. Ini semua Kendala kendala non kesenian namun menyulitkan kegiatan kesenian.
Empat tahun lalu dengan 10 juta rupiah bisa jalan karena system kerjasama sehingga tak perlu ada sewa gedung. Kini hal itu sukar dilakukan sehingga biaya menjadi berlipat lipat yang mana minimal harus ada 100 juta baru bisa bernafas pas pasan. Dua hari dengan pentas enam kali dan siswa yang datang 3000 dan menyumbang 20 ribu berarti hanya terkumpul 60 juta. Kekurangannya harus benar benar pandai berakrobat bukan di atas panggung tapi dalam kenyataan yang pahit. Banyak biaya yang sebenarnya tidak ada namun akan muncul sehingga sering disebut biaya siluman yang masih belum hilang. Menyewa gedung bukan bayar resmi langsung beres. Banyak yang antri mulai tukang sapu , keamanan, tehnik seperti listrik, panggung, pengeras suara dan sebagainya yang bisa membuat bengkak anggaran. Kalau tidak dijalani maka akan ada saja kejadian2 yang diluar dugaan. Pernah tiba tiba di akhir pertunjukkan datang bagian kebersihan dan membawa kaca plastic yang ada ditangga yang katanya dirobohkan siswa. Bisa diperbaiki segera tapi ya ada biayanya. Ada meja rusak, ada kursi rusak yang sukar membuktikan kapan rusaknya namun perlu dana. Diberi cerita bahwa meninggalkan barang jangan di kamar rias karena tidak terjamin aman. Omong punya omong bisa dibantu untuk dijaga namun ada ongkosnya. Emang siluman itu setan dan sudah takdir setan memang tidak mati mati. Dia ada dan akan ada sepanjang hayat manusia bahkan abadi nantinya. Nah karena sudah dikatakan biaya siluman (setan) yang sifatnya abadi maka sedih juga bahwa kita maish akan menemukan hal ini selama bekerja memproduksi teater di republic tercinta Indonesia.
Ketika suatu hari anak tertuaku yang sudah sarjana dan kini bekerja menyatakan agar aku berhenti saja ngurus teater yang membuat susah saja; ya dia mengalami sepanjang hidupnya melihat betapa hebat perjuangan orang tuanya namun pada kenyataan tak ada yang memberikan penghargaan walau hanya dalam ujut kertas; kini ia ingin berbakti dan memberikan penghargaan yakni agar aku hidup enak ikut dia saja. Bangga namun betapa sedih mendengarnya. Cintaku pada dunia teater begitu mendalam dan atas dasar cinta itulah akau rela memberikan waktu dan tenaga untuk menjaganya. Harus ada yang bersedia untuk itu. Sementara ada sebagian lain yang menikmati kehidupan berteaternya dnegan sukses dan dikatakan sebagai pahlawan teater. Tak apa karena memang pionir harus siap untuk berada dalam kesepian hidup. Hasil kerja pionir sering yang menikmati justru orang lain.
Aku tercenung dan selalu ingat kata kata orang bijak di zaman pra sejarah bahwa TUHAN TIDAK TIDUR.

Wasalam.


Jakarta 18 September 2009.
081310678865.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar