Jumat, 18 September 2009

Seni-Sastra, Mbah Surip-WS. Rendra

Oleh taufiqur rochman - 7 Augustus 2009
Seni dan Sastra, hanya 2 kata itu untuk mewakili 2 sahabat yang pergi hampir bersamaan, Mbah Surip dan WS. Rendra. Bahkan, hanya berselang 2 hari, keduanya pergi untuk selamanya dari hingar-bingar jagat raya ini. Seakan tidak ada satu pun yang merasa tidak kehilangan, kecuali orang yang tidak pernah tersentuh indahnya seni dan nikmatnya sastra. Seni tanpa nilai-nilai moral maupun spiritual yang dibungkus dalam kritik sastra, ia hanyalah jubah indah tak bermakna. Bahkan, tidak bermanfaat bagi sesama karena ia telah lepas dari sisi humanis. Demikian juga dengan sastra yang tidak dibalut secara artistik, lama-kelamaan ia akan ditinggalkan zaman.
Mbah Surip, seniman kawakan dan berkhidmat untuk seni tanpa peduli dengan usianya yang senja, adalah sosok yang mampu menampilkan seni secara bersahaja. Seniman harus tetap eksis dengan karaktek (Syakilah) yang telah diberikan Allah sebagaimana firman-Nya, “Qul, kullun ya’malu a’la syakilatih”. Artis, pekerja seni, tidak harus glamour, ribut dengan royalti, selalu risau dengan momok pembajakan, apalagi bikin sensasi dengan kasus kawin-cerai, tampil bugil, atau gosip lain yang sangat digemari reporter entertainment.

Kebanyakan mereka yang disebut selebritis telah terjebak hidup materialistis. Apalagi, artis karbitan yang muncul karena jual tampang, beli karya orang lain, ngetrend atas jasa manejer, atau faktor lain yang tidak muncul dari proses pengembaraan dan pencarian panjang seorang seniman sejati. Seharusnya, figur kesederhanaan dan kepolosan seniman semacam Mbah Surip menjadi pelajaran bagi artis dan seniman agar terus berkarya hingga akhir hayat, tapi tetap hidup bersahaja dan sederhana di tengah kesulitan hidup masyarakat yang ngefans kepadanya. Sosok Mbah Surip pun harus menjadi tamparan bagi media massa dan acara entertainment untuk tidak selalu mengorek-orek kehidupan seniman hanya demi uang, sekalipun beralasan bahwa selebritis adalah milik publik. Alasan ini tidak lantas harus menghalalkan ghibah, fitnah dan kasak-kusuk tanpa tabayyun.
WS. Rendra, untuk budayawan dan sastrawan satu ini, adalah sosok sastrawan independen dan ia tidak pernah ikut dalam keberpihakan sebuah kelompok yang sifatnya pragmatis. Baginya, sastra untuk semua. Si Burung Merak dengan puisinya yang kritis, selalu berani menyuarakan kebenaran dan menelanjangi kemungkaran tanpa takut. Keberanian seorang sastrawan adalah bukti jika jiwanya bebas, lepas dari kebobrokan dan tidak pernah ridho dari kemungkaran yang menzalimi manusia. Budaya seharusnya manusiawi dan sastra harus tetap humanis. Jika seorang praktisi dan akademisi sastra justru bersikap angkuh pada sesama dan tidak menebar kedamaian, berarti ia telah mencederai sastra itu sendiri. Sarjana, Magister, Doktor bahkan Guru Besar di bidang sastra maupun budaya selayaknya profesional di bidangnya. Selalu eksis, kritis, tidak prakmatis, bicara yang benar tanpa fanatik buta dengan komunitas dan kelompoknya sendiri.
Bahasa seni dan sastra harus membela kemanusiaan (humanisme), membumikan tradisi dan budaya, bertekad membangun peradaban masa depan tanpa kenal menyerah. Kekuatan bahasa seni dan sastra (baca: lisan) harus mampu melahirkan sebuah perubahan, dari gelap ke terang, dari kufur ke iman, dari lupa menjadi dzikir. Nabi bersabda: Jika kau melihat kemungkaran, segera adakan perubahan dengan tanganmu. Bila tak mampu, dengan lisanmu. Jika masih tak mampu, cukup dengan hatimu.
Dari sabda Nabi itu, paling tidak seniman dan sastrawan seperti Mbah Surip dan Rendra, telah berusaha menjadi agen perubahan melalui lisan (bahasa seni dan sastra), sebab jika dengan tangan, mereka takut terjebak pada friksi, fanatik buta dan konflik kepentingan, dan jika hanya dengan hati, mereka khawatir akan terkubur dalam sifat pengecut dan kemunafikan.
Kepergian Mbah Surip dan WS. Rendra tidak harus mengakibatkan seni dan sastra menjadi mati, tapi justru harus disikapi oleh pribadi lebah (baca: mukmin) dengan semangat perubahan dengan cara kritis tapi santun dan bersahaja bagaikan madu dan bunga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar