Jumat, 18 September 2009

Minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidikan dan Media

Oleh vino warsono - 13 Juli 2009
Hari ini merupakan hari pertama bagi para pelajar kita memasuki tahun ajaran baru sekolah, yang mungkin sebelumnya sudah jauh-jauh hari dinanti-nanti oleh para calon siswa baru itu sendiri. Mereka yang sebelumnya belum berseragam akan mengenakan seragam baru SD yang putih merah, yang sebelumnya berseragam merah putih akan mengenakan seragam baru SMP putih biru, dan yang sebelumnya berseragam putih biru berganti dengan seragam SMA putih abu-abu. Inilah tahun ajaran baru sekolah yang penuh dengan pengharapan akan majunya intelegensi siswa sampai pada tingkat dan jenjang yang optimal yang dikemudian hari bisa menciptakan prestasi luar biasa dan tentunya membanggakan bumi pertiwi Indonesia

Menyoroti maraknya kehidupan di berbagai bidang pendidikan dan media yang terus-menerus saling bersaing, saling tindih-menindih, saling apit-mengapit dan apapun itu juga namanya, kita tidak hanya bisa diam terlongo pada tingkah laku berbagai komunitas itu, sehingga dengan aktif turut andil tentunya kita bisa melahirkan karya yang berdaya guna, intinya mari kita memperbaiki karya yang usang, dan yang berkadaluarsa.


Sekedar untuk menyimak arus karya-karya yang sudah terlahir dari dunia pendidakan dan yang ada di berbagai media, khususnya tentang perkembangan sastra, maka kembali sebisa mungkin kita merunut ke landasan awal, yaitu seberapa besar dunia pendidikan sudah memberikan konstribusi dan apresiasinya terhadap karya sastra.


Dari sekian banyak hal ikhwal kerancuan dan pergolakan dalam dunia sastra, media pembelajaran sastra merupakan sesuatu yang perlu dikaji dan ditilik keberadaannya. Karena bukan tidak mungkin dari permasalahan ini akan berimplikasi kepada hasil karya lainnya. Keterkucilan bidang sastra, sekaratnya pasar dan lesunya penjualan buku sastra, dan keengganan para siswa membaca buku-buku sastra, minimnya kuantitas dan kualitas koreksi terhadap hasil karya sastra, juga diperlengkap dengan sedikitnya media sastra, sebagai contoh, adalah gambaran di mana kurang suksesnya dan optimalnya pembelajaran pada bidang sastra, entah, mungkin di sekolah menengah (SMP atau SMU) atau mungkin justru di jurusan sastra (pendidikan maupun non pendidikan) di perguruan tinggi. Sebab jika pembelajaran sastra berhasil, maka kita boleh berharap banyak problematika-problematika itu akan larut, surut, sehingga akhirnya terkikis habis.


Dalam hal ini sebenarnya saya tidak bermaksud langsung mendikte dunia pendidikan atau menafsirkan suatu diagnosa, kemudian menghamparkan berbagai tips dan terapi perbaikan dalam menggarap sebuah pembelajaran sastra. Akan tetapi saya hanya akan mencoba memfokuskan pada permasalahannya saja guna menyoroti kondisi riil yang sedang berlangsung di sekolah atau di kampus yang menyelenggarakan program studi—pendidikan—bahasa dan sastra yang berada di berbagai kota besar Indonesia ini. Kita bisa dan perlu berasumsi bahwa berbagai perguruan tinggi yang mengadakan jurusan bahasa dan sastra Indonesia, merupakan lembaga yang sebagian besar adalah penghasil guru sastra Indonesia di kebanyakan di sekolah menengah (SMP atau SMU) baik yang berembel-embel negeri maupun milik “pengusaha”.


Dengan memandang konsep kehidupan sastra secara lebih luas, kita dapat menggelontorkan komentar sejauh mana peranan perguruan tinggi—dalam hal ini khusunya kampus yang menyediakan jurusan bahasa dan sastra—berapresiasi mengembangkan serta memasyarakatkan gaya sastra Indonesia kepada khalayak umum. Dari sini kita tentunya mampu menimbang lebih khusus lagi pertumbuhan karya sastra, minat, kajian juga kritik sastra terhadap hasil karya sastra itu sendiri.


Apabila kita tidak bisa mengimplementasikan gagasan sastra tersebutdengan tepat, untuk kemudian didiskusikan di forum yang paling kecil terlebih dahulu, mungkin salah satunya ialah sekolah, jadilah permasalahan sastra ini layaknya benang kusut, begitu benang yang satu teruraikan, benang yang lain menyelinap membelit lagi, dan sepertinya akan terus-menerus begitu, kecuali kita berkonsisten melakukan perbaikan secara menyeluruh yang melibatkan berbagia pihak. Tampaknya dunia pendidikan dewasa ini membutuhkan banyak keterlibatan para sastrawan yang sudah lebur ke dalam dunia kesusastraan Indonesia dan media-media—majalah—sastra.


Saya yakin kita akan bersepakat, ataupun kalau ada yang berselisih pendapat itu adalah suatu keniscayaan yang tetap harus dihargai keberadaannya, pemanfaatan sastra Indonesia bisa kita mulai dari dunia pendidikan, dengan menanamkan minat baca yang tinggi dan menciptakan kesan positif terhadap apresiasi sastra.


Salah satu yang lain yaitu memaksimalkan tatap muka pelajaran di sekolah atau mata kuliah sastra dalam perkuliahan, karena untuk menambah jam pertemuan mata pelajaran sastra di sekolah menengah dengan sistem kurikulum berbasis kompetisi (KBK) yang digulirkan diknas sekarang ini cukup sulit. Kenapa?…karena agaknya dalam kurikulum yang baru ini (KBK) sebagai pengganti suplemen GBPP 1994, porsi materi sastra belum beranjak jauh dari angka 19%, ekstremnya kurikulum di sekolah dan kampus menganaktirikan sastra.


Merujuk ke perguruan tinggi yang menyelenggarakan jurusan—pendidikan—bahasa dan sastra Indonesia, memang ada perubahan kurikulum. Mata kuliah sastra sekarang mencapai 22 sks, bahasa 41 sks, namun kurangnya guru dan dosen yang berwibawa di sekolah menengah dan di kampus yang memiliki jurusan bahasa dan sastra semakin nyata dengan minimnya tulisan-tulisan seperti kritik apresiasi, kritik jurnalistik, dan kritik yudisial yang ditulis sendiri oleh para lulusan sarjana sastra dan dimuat di Koran-koran, majalah-majalah sastra, jurnal-jurnal seni budaya dan media umum lainnya.


Hanya saja kita boleh menggumamkan secuil kebanggaan bagi dunia pendidikan sastra Indonesia, karena terapat dosen semisal Sapardi Djoko Damono dan Budi Darma, juga Moh. Wan Anwar yang pernah memimpin jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia pada Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Untirta) Banten—sekedar menyebutkan beberpa nama diantaranya.


Indonesia pasti akan kebanjiran karya-karya sastra yang berkualitas, dan ini bisa jadi daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya guna membangun dunia sastra yang berkompeten, melalui Koran-koran, majalah-majalah dan media lainnya yang mengedepankan karya sastra sebagai topik pembahasan utamanya. Tentu jika saja sekolah menengah dan perguruan tinggi yang memiliki jurusan bahasa dan sastra Indonesia, berkenan merekrut guru dan dosen bahasa dan sastra dari kalangan sastrawan yang sudah cebur-lebur di jalan raya—media atau dunia—sastra kita.


Jadi persoalannya kini mengerucut pada pertanyaan ; sekolah menengah umum—SMP atau SMU—dan perguruan tinggi yang menyelenggarakan jurusan—pendidikan—bahasa dan sastra Indonesia mana yang hendak menarik dan merekrut sastrawan sebagai guru atau dosen?…dan media apa yang mau berkibar dengan topik bahasan utama sastra?…ENTAH…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar