Kamis, 03 September 2009

NASIONALISME DAN ETNIS CINA DALAM FILM GIE

NASIONALISME DAN ETNIS CINA DALAM FILM GIE
Pengarang: Akhmad Zakky
Indonesia adalah negara yang masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis dan agama. Dalam sejarah Indonesia, etnis China adalah kelompok masyarakat yang selalu terpinggirkan; sejak zaman penjajahan sampai dengan era reformasi mereka selalu dijadikan tumbal kekuasaan. Namun, tidak berarti mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme. Salah satunya tergambar dalam film Gie yang diangkat dari catatan harian seorang mahasiswa beretnis China bernama Soe Hok Gie. Melalui film ini kita bisa melihat nasionalisme seorang etnis China lewat tokoh utamanya, yaitu Gie. Tokoh Gie digambarkan sebagai mahasiswa yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah, dengan setting waktu pada tahun 1960-an. Film Gie berhasil memberikan perspektif baru dalam melihat nasionalisme etnis China di Indonesia, memberikan bukti bahwa etnis China sebagai bagian dari masyarakat Indonesia mempunyai rasa nasionalisme yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Dalam tulisan ini penulis berusaha menjawab pertanyaan: bagaimana nasionalisme etnis China tergambar dalam film Gie? Film—yang merupakan bagian dari sastra—mempunyai peluang besar untuk menyampaikan pesan mengenai nasionalisme kepada penikmatnya, karena film mempunyai penikmat yang tak mengenal usia.
Kata kunci: Etnis china, Nasionalisme, Soe Hok Gie.
Pendahuluan
Etnis Cina yang kedatangannya diperkirakan telah datang ke Indonesia berabad-abad yang lalu datang ke bumi Nusantara sebagai seorang pedagang; hal yang sangat lumrah, mengingat pada masa lalu berdagang adalah hal yang bisa membuat manusia dari berbagai penjuru dunia saling berhubungan. Setelah kolonialisasi Belanda atas Indonesia—atau juga disebut Hindia Belanda—dimulai, Belanda berusaha untuk membuat pemisahan dalam strata sosial masyarakat pada masa itu. Menurut Onghokham, Masyarakat Hindia belanda dibagi kedalam tiga golongan: pertama golongan Eropa atau Belanda, kedua golongan golongan Timur Asing: termasuk Cina, Arab, India dan seterusnya, ketiga golongan pribumi (Onghokham 2008: 3). Politik segregasi seperti ini mulai diterapkan mulai tahun 1854, dengan tujuan awal untuk membedakan kedudukan hukum masing-masing golongan. Ini mengingatkan kita pada politik apartheid di Afrika, yang juga sama-sama pernah menjadi koloni Belanda di masa lalu.
Pemisahan-pemisahan seperti ini juga sangat merugikan kalangan etnis Cina, karena Belanda sering menjadikan mereka sebagai tameng. Orang-orang Cina dimasa lalu sering dijadikan tuan-tuan tanah pemungut pajak oleh Belanda, sehingga apabila ada gejolak dalam masyarakat merekalah yang akhirnya dijadikan tumbal. Hal seperti inilah yang membuat hubungan etnis Cina dan pribumi selalu tidak harmonis. Sejarah juga mencatat benturan-benturan antara pribumi dengan etnis Cina di beberapa kota, diantaranya kerusuhan pernah terjadi di Kudus dan Tangerang. Ini semakin memperkuat stigma negatif terhadap etnis Cina di Indonesia. Dalam konteks kekinian, ada semacam redefinisi kelas di Indonesia; etnis Cina sekarang seolah-olah adalah warga kelas dua, dan sering dianggap tidak “Indonesia seratus persen.” Sehingga pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah mereka masih memiliki rasa nasionalisme terhadap Indonesia? Dalam bentuk apakah rasa nasionalisme itu? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dijawab dalam makalah ini melalui analisa film Gie.
Film Gie adalah alih wahana dari sebuah catatan harian seorang mahasiswa bernama Soe Hok Gie yang berasal dari kalangan etnis Cina. Film yang dibuat pada tahun 2005 ini disutradarai oleh sutradara muda, yaitu Riri Reza, dan diproduseri oleh Mira Lesmana. Dalam rangka pembuatan film ini, tim produksi juga melakukan riset sejarah mengenai tokoh Gie ini, bahkan John Maxwell yang pernah menulis khusus tentang Soe Hok Gie dijadikan konsultan sejarahnya. Ada semacam upaya serius untuk menghadirkan sosok Gie yang sesungguhnya dalam film ini. Konflik-konflik antar faksi yang ada pada saat itu ikut tergambar dalam film ini, dan kita bisa melihat respon Gie atas hal ini.
Kajian yang dilakukan seputar film ini telah cukup banyak dilakukan, beberapa hal yang dianalisa antara lain mengenai partsipasi politik Tionghoa dalam film Gie, identitas ke-Cina-an, dan analisa lirk-lirik dari lagu latar dalam fim ini. Dalam tulisannya, Ariel Heryanto menganggap tokoh Soe Hok Gie sebagai contoh dari orang Indonesia berperanakan Cina yang bisa dikatakan sebagai pahlawan aktivis 1960an. Selain itu, pembuat film ini mencoba untuk membangkitkan kembali optimisme masyarakat Indonesia setelah reformasi lewat bernostalgia dengan aktivisme pada tahun 1960an (Heryanto 2008, 84). Film ini banyak disorot sebagai karya yang lahir setelah reformasi, yang membicarakan sebuah gerakan politik anti golongan, dan cukup merepresentaikan perjuangan seorang muda yang berasal dari etnis Cina.
Gie—begitu ia biasa dipanggil—sendiri adalah mahasiswa jurusan sejarah di Universitas Indonesia yang termasuk aktivis mahasiswa angkatan 66, jadi ia termasuk orang yang ikut menggulingkan kekuasaan Soekarno pada saat itu. Bahkan John Maxwell yang berasal dari Australia khusus menulis buku tentang Gie dengan judul Soe Hok Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Ini menunjukkan ada daya tarik khusus dalam diri Soe Hok Gie. Melalui tokoh Gie yang ada dalam film ini juga kita bisa melihat bentuk nasionalisme yang hadir dalam diri tokoh Gie—baik Gie sebagai bangsa Indonesia maupun sebagai orang yang berasal dari etnis Cina. Jadi penulis menganggap film ini sangat menarik untuk dikaji, sehingga kita dapat menangkap pesan berharga yang ada di dalamnya.
Nasionalisme dan Etnis Cina
Nasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa dipusat masalahnya, dan berupaya mempertinggi keberadaannya (Smith 2003: 10). Dari pemahaman tersebut kita bisa melihat nasionalisme sebagai ideologi yang bertujuan untuk menjadikan sebuah bangsa bisa eksis dan meletakkan permasalahan bangsa di atas kelompok atau golongan. Tentu saja nasionalisme akan hadir pada diri seseorang yang mempunyai keterkaitan dengan bangsa tersebut, tanpa harus melihat asal-usul orang tersebut. Rasa cinta dan peka terhadap keadaan bangsa adalah kunci penting dalam nasionalisme. Dalam konteks Indonesia, sebagai negara yang terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa, nasionalisme bisa hadir dan tumbuh pada setiap orang, tidak terkecuali bagi orang yang berasal dari kalangan etnis Cina. Semua orang mempunyai potensi yang sama dalam menghayati nasionalisme.
Nasionalisme mempunyai banyak bentuk dalam perwujudannya. Setiap zaman dan setiap keadaan bisa memunculkan bentuk nasionalisme yang berbeda. Pada zaman perang kemerdekaan, dengan ikut berperang bisa dikatakan sebagai perwujudan dari rasa nasionalisme. Tetapi setelah zaman kemerdekaan, dengan menjadi wakil Indonesia di ajang olah raga internasional atau wakil Indonesia untuk olimpiade matematika bisa juga dikatakan sebagai perwujudan rasa nasionalisme. Jadi, perwujudan rasa nasionalisme tidak hanya berbentuk perjuangan politik semata. Ini semua juga berlaku pada kalangan etnis Cina. Sejarah juga mencatat keterlibatan mereka dalam proses kemerdekaan, walaupun tidak banyak orang yang berusaha mengingatnya.
Kesadaran politik etnis Cina sebenarnya telah lama tumbuh, setidaknya politik segregasi yang diterapkan oleh Belanda disinyalir sebagai salah satu faktor yang membangkitkan perlawanan secara politis. Walaupun mereka ditempatkan pada kelas kedua dalam strata sosial masyarakat Hindia Belanda pada saat itu, ternyata secara hukum mereka dirugikan (Benny G. Setiono 2004: 460-461). Ketidakadilan yang dialami oleh etnis Cina pada saat itu telah membangkitkan perlawanan yang bersifat politis, dengan tidak mengatasnamakan sebagai orang yang berasal dari rasa tau etnis tertentu, namun atas nama kelompok yang menjadi bagian dari penduduk Hindia Belanda. Nasionalisme yang mensyaratkan adanya rasa cinta terhadap negara mulai tumbuh dalam diri mereka. Dalam perkembangannya, orang-orang yang berasal dari etnis Cina ikut terlibat dalam proses awal kemerdekaan Indonesia, sehingga kita bisa menemukan beberapa nama dari kalangan etnis Cina yang menjadi mentri dimasa kepemimpinan Soekarno.
Dalam bidang politik, posisi etnis Cina sangat tidak diuntungkan. Seperti yang dikatakan oleh Charles. A Coppel, bahwa etnis Cina diibaratkan memakan buah simalakama. Jika mereka terlibat dalam politik kalangan oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dianggap oportunis. Bila mereka menjauh dari politik, mereka juga dianggap oportunis, sebab mereka akan dikatakan hanya mencari keuntungan belaka (Coppel 1994: 53). Disini etnis Cina benar-benar terlihat sangat tidak bebas menentukan pilihan secara politis. Imbas dari politik segregasi yang diterapkan oleh Belanda di masa lalu masih terinternalisasi dalam masyarakat Indonesia—ada kesan etnis Cina selalu dicurigai segala gerak-geriknya. Kebijakan-kebijakan penguasa turut membuat mereka hanya “terpojok” dalam satu dunia saja, yaitu dunia bisnis. Mereka tidak mempunyai kesempatan yang sama seperti etnis-etnis lain yang ada di Indonesia untuk ikut merasakan dunia lain selain bisnis—misalnya kita hampir tidak menemukan mereka dalam dunia militer. Sehingga ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998 mereka menjadi tumbal, karena dianggap menghancurkan ekonomi Indonesia.
Setelah reformasi bergulir, mereka mencoba untuk masuk kembali ke dalam dunia politik dengan ide mendirikan sebuah partai yang mengatas namakan etnis Cina atau Tionghoa. Ini adalah salah satu usaha untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Walaupun beberapa kalangan yang berasal dari etnis Cina sendiri menolak gagasan ini, namun ini bisa dianggap sebagai usaha mereka untuk ikut andil dalam membangun bangsa lewat jalur politis. Hal ini bisa juga dilihat sebagai usaha untuk merebut kembali hak politik mereka setelah sekian lama terabaikan.
Apabila kita cermati lebih dalam, sebenarnya etnis Cina telah banyak memberikan sumbangsih kepada Indonesia lewat jalur olah raga, khususnya pada cabang bulu tangkis. Nama-nama seperti Rudi Hartono, Liem Swi King, Alan Budi Kusuma, dan Susi Susanti yang telah mengahrumkan nama Indonesia di pentas dunia, sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai bukti dari rasa nasionalisme dalam bentuk yang lain—karena sebagai atlit yang mempunyai prestasi dnuia, bisa saja mereka membela negara lain dengan cara berganti status warga negara. Ini adalah bentuk lain dari perwujudan rasa nasionalisme kepada sebuah bangsa. Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus bisa mengakui dan mencatat ini sebagai bagian dari perwujudan rasa nasionalisme rakyat Indonesia.
Nasionalisme dalam Film Gie
Nasionalisme mengharuskan rasa cinta yang mendalam kepada negara yang dicintainya, dan rasa cinta ini tentu saja memiliki banyak bentuk. Dengan kritik-kritik yang tajam terhadap pemerintah pada saat itu, sebenarnya tokoh Gie telah menunjukkan rasa nasionalismenya terhadap Indonesia. Tokoh Gie digambarkan sebagai orang yang idealis dan tidak bisa berkompromi dengan hal yang menurutnya salah. Ia tidak menyukai perjuangan-perjuangan yang didasari atas semangat kelompok dan golongan. Menurutnya, perjuangan harus didasari oleh kebenaran dan keadilan.
Simbol-simbol perjuangan, kekuasaan, kemegahan direpresentasikan lewat adegan-adegan, simbol-simbol, dan setting yang terdapat dalam film ini. Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa saat menuntut turunnya Soekarno digambarkan dengan penuh semangat perjuangan: bendera merah putih yang dibawa oleh demonstran, spanduk-spanduk yang berisi berbagi tuntutan kepada pemerintah, long march yang dilakukan saat demonstrasi, dan ditambah dengan latar musik tentang revolusi. Kekuasaan digambarkan dengan kemewahan dan kemegahan istana presiden Soekarno, dengan pakaian yang gagah, Soekarno digambarkan sebagai seorang presiden yang sangat berkuasa saat itu.
Sebaliknya, film ini juga menggambarkan masyarakat yang semakin miskin karena keadaan yang kacau—seperti dalam adegan seorang laki-laki yang sedang memakan buah dari sebuah tempat sampah. Ini jelas sebuah ironi yang coba ditampilkan dalam film ini; sebuah kemewahan dan kemegahan istana dengan kondisi rakyat yang miskin. Dengan latar sosial seperti inilah Gie hidup dan bergulat dengan pemikiran-pemikirannya. Kondisi sosial di sekitarnya membuat ia semakin berfikir dan bertindak kritis kepada pemerintah pada saai itu.
Tokoh Gie dikenal sebagai orang yang tidak bisa berkompromi dengan hal yang ia anggap salah, bahkan ketika masih di sekolah ia berani untuk mendebat guru sastranya karena ia menganggap pendapatnya itu salah. Karena tindakannya itu ia tidak bisa naik kelas. Walaupun ibunya menyarankan untuk mengulangnya, ia tetap saja tidak bisa menerima dan meminta untuk pindah ke sekolah yang lain. Ia menolak untuk tinggal kelas, karena ia menganggap kritik yang ia sampaikan bukan merupakan sebuah kesalahan. Gie berkata pada ibunya:
“Ga bisa ma, saya yakin nilai-niai saya baik, saya jauh lebih pintar dari anak-anak yang lain. Ini pasti karena guru dendam pada saya.”
Lalu ibunya berkata:
“Sudah lah Gie, kamu mengulang saja, pa Can bilang masih bisa mengulang, belum rugi umur.”
Tapi langsung dipotong oleh Gie:
“Ga bisa ma. Sekarang begini, mama percaya sama saya ga? Saya bisa, saya pintar, saya banyak membaca, mama percaya ga?”
“Pokoknya saya ga mau mengulang! Carikan saya sekolah yang lain, saya buktikan nanti.”
Dalam hatinya Gie berkata:
“Kalau angkaku ditahan oleh model guru yang tak tahan kritik, aku akan mengadakan koreksi habis-habisan, aku tidak mau minta maaf!”
Pada sekuen yang lain terlihat juga pandangan Gie yang melihat demokrasi terpimpin sebagai hal yang otoriter, ini terlihat dalam adegan saat diskusi kelas:
“Jadi menurutmu demokrasi terpimpin sama sekali bukan demokrasi?”
Tanya sang guru. Lalu Gie menjawab:
“Jelas pak! Lihat apa yang terjadi dengan pers akhir-akhir ini, seperti Indonesia Raya atau Harian Rakyat. Saya bukan simpatisan komunis, tetapi apa yang terjadi terhadap Harian Rakyat adalah contoh pelanggaran terhadap demokrasi. Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat, yang merugikan pemerintah. Mereka yang berani menyerang koruptor-koruptor, mereka semua ditahan. Lihat apa yang terjadi dengan Mochtar Lubis, menurut saya itu adalah tanda-tanda kediktatoran.”
Dalam dialog-dialog diatas jelas terlihat karakter Gie yang tidak bisa berkompromi dengan sesuatu yang ia anggap salah. Ada keyakinan dalam diri Gie, bahwa semua orang, tanpa melihat status, harus bisa menerima kritik dari orang lain. Karakter seperti ini yang dikemudian hari membuat ia terus bersifat kritis terhadap pemerintah. Dengan bersifat kritis terhadap segala kebijakan pemerintah, bukan berarti ia tidak cinta kepada negaranya, namun sebaliknya, ini malah menunjukkan rasa cintanya kepada negara. Karena cinta kepada negara berarti mengaharapkan yang terbaik untuk negara, inilah perwujudan dari rasa nasionalisme.
Kondisi sosial masyarakat Indonesia yang kacau di awal 1960an dengan ditandai kekacauan politik dan kenaikan harga cukup meresahkan jiwa Gie. Ia menganggap seorang intelektual harus bisa berbuat sesuatu bagi negaranya. Ini terekam dalam dialog ketiaka ia sedang berdiskusi dengan teman-temannya:
“Bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas disegala arus-arus masyarakat yang kacau. Tetapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi-fungsi sosialnya, yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya apabila keadaan telah mendesak. Kaum intelegensia yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan sebuah kemanusiaan.”
Dialog ini juga menekankan sisi praxis dari kaum intelektual. Fungsi-fungsi sosial harus bisa dilaksanakan oleh mereka: masyarakat akan sangat membutuhkan bantuan seorang intelektual agar bisa keluar dari keterpurukan. Oleh karena itu, Gie sendiri akhirnya turun ke jalan untuk berdemonstrasi, sebagai bentuk dari fungsi sosial seorang intelektual.
Bagi Gie berjuang harus atas nama keadilan dan kemanusiaan, tidak atas dasar segelintir kelompok atau golongan. Ia pernah menolak ajakan kawannya, yaitu Jaka, yang mengajaknya bergabung ke dalam organisasi PMKRI (Persatauan Mahasiswa Katolik Republik Inonesia), karena Jaka tahu Gie adalah seorang Katolik. Penolakan ini tentu saja didasari oleh keyakinannya untuk berjuang atas nama kemanusiaan dan di atas semua golongan. Kelompok-kelompok seperti inilah yang dikemudian hari mendapat “jatah” di parlemen. Pada salah atau adegan setelah pemutaran film Jaka menghampiri Gie dan bertanya “lu tuh ‘kiri’ apa ‘kanan’ sih Gie?” Sontak saja Gie terkaget-kaget, seolah-olah perjuangan itu harus berpihak pada salah satu kelompok ‘kiri’ atau ‘kanan’.
Jaka pada awalnya adalah salah satu teman dekat Gie, tetapi setelah peristiwa penolakan Gie untuk bergabung dengan PMKRI mereka menjadi jauh. Dalam film ini juga digambarkan kebertolak belakangan jalan mereka dalam berjuang; dalam adegan demonstrasi tergambar Gie dan Jaka yang saling menatap namun berjalan ke arah yang berlawanan. Gie berdemonstrasi atas nama senat mahasiswa sastra UI, sebaliknya Jaka atas nama PMKRI.
Gie melihat politik partai dan golongan telah memasuki kampus, organisasi mahasiswa yang besar seperti GMNI, HMI, sampai yang terkecil PMKRI bergerak dan berteriak atas nama golongan. Ia benar-benar tidak simpati dengan semua ini, yang menjadi harapannya adalah mahasiswa tersebut mengambil keputusan atas dasar kebenaran, bukan atas dasar agama, ormas atau golongan apapun. Oleh karena itu, saat menjelang pemilihan senat mahasiswa sastra, ia berusaha untuk membujuk sahabatnya Herman Lantang untuk mengajukan diri sebagai calon ketua. Ia tahu bahwa Herman dianggap orang yang tidak punya keberpihakan politik, hal ini yang dianggap kelebihan dari diri seorang Herman, dan tidak dimiliki oleh calon-calon lain. Dengan tidak mempunyai keberpihakan politik, berarti bisa menjaga independensi perjuangan. Walaupun begitu, ia tetap mendorong sikap kritis terhadap pemerintah. Dalam salah satu dialog ia berkata kepada Herman:
“Kita isi aja kegiatan senat dengan kegiatan yang kita suka, musik, nonton film, naik gunung. Tapi, sekali-kali kita harus hantam pemerintah tentunya.”
Gie sendiri pernah berkata tentang manifesto politik pembaharuannya:
“Setelah kemerdekaan tercapai, kenyataan menunjukkan bahwa kita masih jauh dari tujuan. Kita melihat dengan penuh kecemasan bahwa pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan kini telah membawa bangsa Indonesia kepada keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Diktator perseorangan yang berkuasa bukan lagi merupakan bahaya diambang pintu, tetapi telah menjadi suatu kenyataan. Cara-cara kebijaksanaan negara dan pemerintahan bukan saja bertentangan dengan azas-azas kerakyatan dan musyawarah, bahkan menindas dan memperkosanya. Jelas sudah bagi kita bahwa istilah demokrasi terpimpin dipakai sebagai topeng belaka, justru tidak lain untuk menindas dan menumpas azas-azas demokrasi itu sendiri. Tiba saatnya bagi patriot Indonesia untuk bangkit menggalang kekuatan dan bertindak menyelamatkan bangsa dari jurang malapetaka.”
Dari manifesto politiknya ini, kita bisa melihat Gie dengan sadar telah melihat keadaan yang terus memburuk, dan jelas telah jauh dari cita-cita kemerdekaan. Pemimpin negara yang telah menjadi seorang diktator dianggap sebagai salah satu penyebab dari semua keterpurukan rakyat. Ia mengakui bahwa manifestonya ini tidak jauh berbeda dengan manifesto politik pak Mitro, seorang tokoh yang ia anggap sebagai seorang idealis yang harus terasing ke luar negeri. Ia terlihat sebagai orang yang lebih suka berdiri dibelakang menyusun strategi, dari pada menjadi pemimpin organisasi.
Pada salah satu adegan, saat mereka naik gunung, Herman pernah bertanya kepada Gie mengenai perjuangan dan perlawanannya:
“Gie, gua lama pengen tanya sama lu. Sebenarnya untuk apa sih perlawan ini semua?”
Lau Gie menjawab:
“Iya. Gua jadi ingat temen kecil gua Man, di Kebun Jeruk. Dulu dia juga nanya sama gua, kenapa gua selalu jadi tukang protes? Padahal hidup gua lebih baik dari dia. Sekarang gini Man, kita punya pemimpin, kita punya bapak yang kita akui sebagai founding father di negeri ini, tapi buat gua bukan berarti dia punya kekuasaan absolut untuk menentukan hidup kita, nasib kita. Apalagi kalau kita sadar ada penyelewengan, ketidak adilan. Kalau kita hanya menunggu, menerima nasib, kita tidak akan pernah tahu kesempatan apa yang sebenarnya kita miliki dalam hidup ini. Sederhanyanya, gua cuma ingin perubahan, supaya hidup kita lebih baik. Satu-satunya cara Soekarno harus jatuh!”
Dalam dialog ini Gie berusaha untuk mengatakan alasan tentang segala sikap kritisnya. Terlihat sekali keinginannya untuk bisa melihat Indonesia menjadi lebih baik, bukan sebuah sikap yang mengaharapkan pamrih, apalagi oportunis. Ia juga menekankan untuk segera merubah bangsa nasib dengan tangan kita sendiri, karena kesempatan belum tentu datang untuk kedua kalinya.
Setelah kejadian G30SPKI, kekerasan terhadap PKI terjadi dimana-mana. PKI sedemikian dibenci, seakan darah mereka halal untuk dibunuh. Entah kenapa etnis Cina ikut terbawa-bawa dalam peristiwa itu, seperti dalam salah satu adegan terdapat bacaan di dinding “PKI andjing! Tjina andjing!” Timbul kesan seolah-olah seorang PKI boleh dibunuh, apalagi ia berasal dari etnis Cina. Disini lagi-lagi etnis Cina dijadikan sebagai tumbal. Gie tidak setuju dengan pembantaian-pembantaian itu, ia menganggap kemanusiaan harus menjadi tolak ukur setiap perbuatan. Ia sendiri bukan simpatisan PKI, namun PKI yang dianggap sebagai musuh bersama pada saat itu tidak patut untuk diperlakukan secara biadab dan tidak berprikemanusiaan.
Jatuhnya Soekarno dan masuknya aktivis-aktivis mahasiswa untuk menjadi anggota parlemen cukup merisaukan Gie, karena ternyata para aktivis-aktivis itu dianggap telah berkhianat terhadap nilai-nilai perjuangan. Gie menyebutnya dengan istilah “penghianatan intelektual”. Mereka yang telah masuk dalam lingkaran kekuasaan kemudian berubah secara drastis. Pada tahun 1966 pemerintah melakukan perubahan parlemen, anggota-anggota yang yang pro komunis dan pro Soekarno diganti, dan saat itu terdapat tiga belas pemimpin mahasiswa dalam parlemen. Sebagai anggota, mereka punya hak yang sama dengan anggota-anggota lain. Beberapa tokoh mahasiswa yang sebelumnya melarat tiba-tiba punya mobil bagus, mondar-mandir ke luar negeri dan dijebak golongan pemilik modal. Seperti yang tergambar dalam dialog antara Jaka dan Gie ketika bertemu disuatu tempat, pada saat itu ia melihat Jaka dengan mobil barunya: Jaka menghampiri Gie dan berkata:
“Gua tau betul apa yang terlintas di kepala lu Gie, gua ga perlu dengan semua pendapat lu Gie, gua berhak memilih dimana gua harus berjuang.”
Lalu Gie memotong pembicaraannya, dan berkata:
“Gua ngerti cita-cita lu, mungkin sama juga dengan cita-cita gua, tapi semoga dengan apa yang lu perjuangkan ga luntur dengan diplomasi-diplomasi dan lobi-lobi untuk mempertahankan posisi lu disana.”
Ketakutan Gie akan hilangnya nilai perjuangan untuk membawa Indonesia kepada keadaan yang lebih baik sangat terlihat disini. Nilai-nilai idealisme kaum muda yang sebelumnya menjadi ruh perjuangan, lambat laun bisa hilang dengan masuknya mereka ke dalam lingkaran kekuasaan. Dengan menggadaikan idealisme perjuangan, Gie menyebut ini sebagai bagian dari penghianatan intelektual. Seperti yang ia katakana sebelumnya bahwa seorang intelektual mempunyai fungsi sosial, yang berarti harus bisa merasa peka terhadap keadaan rakyat.
Penutup
Nasionalisme yang menjunjung kepentingan bangsa diatas kepentingan golongan atau kelompok coba dihadirkan dalam sosok Soe Hok Gie dalam film Gie. Sebagai orang yang berasal dari kalangan etnis Cina, ia tidak pernah berjuang atas nama etnis Cina ataupun agama yang ia anut. Bagi tokoh Gie, rasa nasionalisme itu adalah perjuangan yang tidak berpijak atas dasar nama golongan, berjuang bisa tetap dilakukan dengan tanpa menjadi bagian dari kelompok tertentu saja. Ia pernah menolak ajakan temannya untuk bergabung bersama PMKRI yang merupakan wadah bagi mahasiswa Katolik seperti dirinya.
Film ini juga menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang yang menjadi bagian dari Indonesia mempunyai potensi yang sama untuk menunjukkan rasa cintanya kepada negara, terlepas dari asal-usul orang tersebut. Etnis Cina yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya sendiri, coba ditepis oleh film ini. Ini memberikan kesempatan pada kita untuk memberikan stereotype yang baru terhadap etnis Cina, dengan tidak lagi mengacu pada stereotype negatif. Lewat dialog-dialog dan adegan-adegan yang terdapat dalam film ini, kita bisa melihat sosok Gie yang kritis terhadap keadaan sekitarnya. Sering sekali tulisan-tulisannya mengandung kritik yang tajam, sehingga bagi beberapa pihak ini kurang menyenangkan, akibatnya ia sering tidak disukai. Sisi kemegahan penguasa dan kemelaratan rakyat pada saat itu ikut dihadirkan dalam film ini. Simbol kebangsaan dan perjuangan bisa kita temukan lewat bendera merah putih dan spanduk-spanduk yang dibawa oleh para demonstran.
Film Gie ini kembali mengingatkan kita akan pentingnya sebuah perjuangan. Cita-cita Soe Hok Gie untuk melihat Indonesia yang bersih dari korupsi dan kehidupan politik yang tidak berpihak pada golongan, rasa tau agama. Selain itu, film ini berusaha mengingatkan kita untuk selalu menjalankan fungsi sosial sebagai seorang intelektual, dan memberikan kita “warning” untuk tidak melakukan penghianatan intelektual. Menghidupkan kembali tokoh Soe Hok Gie berarti menyalakan kembali api perjuangan untuk melawan ketidak adilan.
Daftar Pustaka
Coppel, Charles A, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (terj.), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Heryanto, Ariel (Ed.), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, New York: Routledge, 2008.
Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, 2008.
Setiono, Benny G, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Elkasa, 2004.
Smith, Anthony. D, Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah (terj.), Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.
A. PENDAHULUAN
Cerita pendek, apalagi ditampilkan melalui surat kabar yang berskala nasional semacam Kompas, tentunya sedikit banyak akan mencerminkan permasalahan sosial yang cukup kaya yang melanda negeri ini. Bagaimanapun juga seorang pengarang dalam menuliskan ide-ide ke dalam sebuah cerita (pendek) sesungguhnya hanyalah menuangkan respon atau tanggapannya terhadap apa saja yang bergejolak di sekitarnya yang tentu saja menarik perhatiannya. Donald Hall mengatakan, “Whatever people do, they express the times they live in. When authors write, they reflect their own era by deploring it, by celebrating it, or even by writing to escape it” (2002:1275). Artinya, para penulis yang menuangkan pengalaman mereka dalam merespon fenomena hidup di sekitarnya dapat melakukannya dengan cara yang berbeda-beda: sebagian mengkritk dan mengecam, yang lain merayakan dan penuh harap, dan sebagian lagi bahkan mungkin menulis sebagai bentuk pelarian karena merasa jengah atau resah atas kondisi sosial kehidupan yang semakin payah. Apapun bentuk dan alasannya, sebuah karya baik secara gamblang maupun tersamar akan terlahir karenanya.
Harian Kompas adalah salah satu wadah yang konsisten dan efisien untuk menampung keluh-kesah dan harapan ini dengan memilih (tentunya dengan pertimbangan tersendiri!) dan menerbitkan cerita-cerita itu secara teratur setiap minggu disertai dengan ilustrasi gambar yang tentunya tidak dapat disamakan dengan cerpennya karena gambar itu adalah karya tersendiri yang tidak mudah untuk mewakili cerita. Sekitar 50 cerpen diterbitkan setiap tahun dan 15 diantaranya akan dipilih sebagai cerpen pilihan dengan satu cerpen terbaik yang akan dijadikan judul kumpulan cerpen tersebut, lalu diterbitkan kembali. Menurut Pemimpin Redaksi Harian Kompas (Pambudy, 2008:ix), tiga tahun terakhir (2006, 2007, 2008) mekanisme pemilihan cerpen ini diubah dan dikembangkan dengan tidak lagi melibatkan kalangan orang dalam (Redaksi Kompas) seperti telah bertahun-tahun dilakukan, melainkan dengan melibatkan orang-orang di luar redaksi yang dianggap memiliki kompetensi untuk itu. Tahun 2006, Nirwan Dewanto dan Bambang Sugiharto yang mendapat kehormatan untuk memilih dan menghasilkan antologi berjudul Ripin, di tahun 2007 dilakukan oleh Ayu Utami dan Sapardi Djoko Damono dengan judul Cinta di Atas Perahu Cadik dan yang terakhir untuk tahun 2008 dipilih oleh Rocky Gerung dan Linda Christanty serta diberi judul Smokol. Judul antologi diambilkan dari judul salah satu cerpen pilihan terbaik. Untuk tulisan ini, saya hanya akan mengangkat salah satunya yaitu Cerpen Kompas Pilihan 2007.
Kembali ke persoalan karya rekaan sebagai cermin yang memantulkan apa-apa yang bergejolak dalam masyarakat yang direspon oleh pengarang tertentu (bisa saja secara pribadi ia bergejolak sendiri!), saya akan membahas beberapa permasalahan sosial yang dominan dalam kumpulan cerpen ini, kritik sosial apa saja yang disampaikan, serta seberapa jauh harapan simbolik tetap terpancar meskipun situasinya cukup muram.
Beberapa dari cerpen pilihan ini secara unik memanfaatkan tokoh cerita dan mengekplorasi tema yang tidak biasa. Untuk itu diperlukan pendekatan yang mendukung dalam menganalisis cerita semacam itu agar pokok persoalan yang dikemukakan dapat terpahami. Secara singkat, pandangan yang dikemukan oleh Bertolt Brecht dengan konsep Defamiliarization Effect-nya dan Theodor Adorno dengan Negative Knowledge-nya akan diterapkan.
Bertolt Brecht dikenal dengan konsep alienasinya (dikembangkan dari konsep defamiliarisasi formaslis Rusia) yang lebih banyak diterapkan pada drama pertunjukan. Brecht melabeli teori realisme yang dikembangkannya sebagai “anti-Aristotelian”. Kalau konsep Aritotle lebih menekankan universalitas dan kepaduan unsur-unsur tragedi yang bermuara pada berhasilnya penonton (juga pembaca) mengalami katarsis emosi dengan berempati terhadap tokoh cerita dan terhanyut dalam alur cerita, sebaliknya Brecht menolak konsep ini. Ia mengatakan bahwa alur cerita yang terjalin sedemikian rupa yang membuat penonton terbuai haruslah dihindari. Alasannya sederhana, fakta ketidakadilan sosial harus dihadirkan sebagai sesuatu yang tidak alami dan sungguh-sungguh mengagetkan, bukan merupakan suatu bagian integral alami dirinya yang kadang kala tak lagi dapat disadari, “It is all too easy to regard ‘the price of bread, the lack of work, the declaration of war as if they were phenomena of nature: earthquakes or floods’, rather than as the results of exploitative human agency” (Selden, Widdowson and Brooker, 1997:97). Oleh karena itu untuk menghindari terbuainya penonton atau pembaca dalam bentuk penerimaan kenyataan sosial secara pasif, ilusi dari kenyataan itu harus digoncang sedemikian dahsyat melalui efek alienasi yang disuguhkan lewat tokoh-tokoh yang dapat dikenali dengan gampang namun sekaligus terkesan sangat asing. Menurutnya, hanya dengan cara demikianlah penilaian kritis baru dapat dilakukan oleh penikmat karya itu. Brecht selanjutnya menegaskan bahwa elemen dalam tokoh harus dapat dipahami dari luar, “The situation, emotions and dilemmas of characters must be understood from the outside and presented as strange and problematic” (98).
Dengan menerapkan teknik alienasi, Brecht sesungguhnya tidak lagi merupakan penganut setia realisme (walaupun ini masih dapat diperdebatkan), karena kalau efek alienasi ini diterapkan pada formula realisme, ia akan gagal: “Brecht would have been the first to admit that, if his own ‘alienation effect’ were to become a formula for realism, it would cease to be effective. If we copy other realists’ methods, we cease to be realists ourselves: ‘Methods wear out, stimuli fail. New problems loom up and demand new techniques. Reality alters; to represent it the means of representation must alter too’.” (99). Hal ini senada dengan tulisan prolog Ayu Utami ketika berargumen dalam memilih kelimabelas cerpen dalam antologi ini, yang mempertanyakan Mengapa Realisme Tak Cukup Lagi…bahwa realisme dengan cara yang dulu cukup itu kini tak cukup lagi. Apa gerangan yang membuatnya tak lagi memadai?”(Pambudy, 2008:xiii-xiv). Selanjutnya, Sapardi Djoko Damono menyebut cerita “non-realis” yang terasa asing ini sebagai “dongeng” (139). Bagi saya, untuk memahami dan mengkaji karya-karya pilihan ini pun diperlukan pendekatan yang berbeda, dan disinilah metode Brecht dirasa mengena.
Selain itu, pendekatan serupa yang dikembangkan oleh Thodor Adorno juga dianggap perlu untuk melengkapi pemahaman cerita pilihan ini. Bagi Adorno, sebuah karya seni, termasuk karya sastra, akan mempunyai kekuatan lebih dalam mengkritisi realita jika karya itu terpisah dari realita itu sendiri:
“For Adorno, art, including literature, is detached from reality and this is the very source of its strength. Popular art forms only confirm and conform to the norm of a society but true art takes up a critical stance, distanced from the world which engendered it: ’Art is the negative knowledge of the actual world.’ He saw the alienation evident in the writing of Proust and Beckett as proving such ‘negative knowledge’ of the modern world” (Carter, 2006:60);
Lebih jauh Selden dan kawan-kawan menambahkan bahwa dalam pandangan Adorno karya sastra tidak memiliki hubungan langsung dengan realita, bukan seperti pandangan Likacs tentang realisme:
“Adorno criticized Lukacs’ view of realism, arguing that literature does not have a direct contact with reality. In Adorno’s view, art is set apart from reality; its detachment gives it its special significance and power. Modernist writings are particularly distanced from the reality to which they allude, and this distance gives their work the power of criticizing reality” (Selden, Widdowson and Brooker, 1997: 100).
Oleh karena itu proses pemisahan atau pengambilan jarak antara karya sastra dan realita adalah proses yang diperlukan yang seyogyanya merupakan proses alienasi dimana para penikmat karya sastra disuguhi hal-hal asing yang tak wajar. Hanya dengan demikian mereka tidak akan terbuai dan pada akhirnya memahami target kritik yang mau disasar oleh karya itu.
Bagi Adorno, karya seni tidak dapat semata-mata mencerminkan sistem sosial suatu masyarakat, tetapi karya seni akan berperan dalam realita masyarakat itu sebagai suatu pengusik yang kadang menjengkelkan, yang menegasikan realita, yang pada akhirnya akan menghasilkan semacam pemahaman tak langsung yang dikenal dengan sebutan “Art is the negative knowledge of the actual world” (100) seperti telah disinggung di atas.
Berkenaan dengan cerita pilihan kompas yang akan dikaji dalam tulisan ini, saya memutuskan akan membahas 4 (empat) cerpen yang pada hemat saya sangat menarik dan kental dengan proses pengambilan jarak dengan realita negeri ini yang tampak mudah dikenali namun sekaligus terasa asing (pemakaian efek alienasi/defamiliarisasi), yaitu: Cinta di Atas Perahu Cadik (Seno Gumira Ajidarma), Lampu Ibu (Adek Alwi), Kisah Pilot Bejo (Budi Darma), dan Tukang Jahit (Agus Noor). Pembahasan akan dimulai dengan mengangkat permasalahan sosial yang disasar oleh cerpen-cerpen itu, lalu mendiskusikan sejauh mana cerita-cerita atau dongeng, meminjam istilah Pak Sapardi, itu mengambil jarak dengan pembaca lalu menyasar fenomena sosial yang dikritisinya, dan terakhir akan diperbincangkan pula sekadarnya mengenai harapan akan membaiknya keadaan, setidaknya secara simbolik, yang tetap memancar lewat cerita-cerita itu.
B. PEMBAHASAN
Ada beragam permasalahan sosial yang diangkat oleh cerita-cerita pilihan kompas ini. Sebut saja permasalahan perselingkuhan dan kemerosotan moral yang ternyata tidak hanya ramai di sinetron atau layar lebar (Cinta di Atas Perahu Cadik), permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan (Tukang Jahit, Cinta di Atas Perahu Cadik), korupsi dan sandiwara (Lampu Ibu), bobroknya pelayanan umum (Kisah Pilot Bejo), masalah narkoba (Lampu Ibu), invasi budaya modern (Lampu Ibu, Kisah Tukang Jahit) dan permasalahan sosial lain.
Bila diamati lebih mendalam, keempat cerita ini sebenarnya menampilkan pokok persoalan secara berbeda dan mengejutkan, yang terkadang diluar ekspektasi pembaca. Pembaca mau tak mau akan disentak oleh kenyataan bahwa meskipun persoalan yang diangkat biasa-biasa saja, namun ia disuguhkan melalui tokoh dan properti yang aneh dan tidak biasa (Tukang Jahit, Pilot Bejo, Lampu, Sukab-Hayati-Waleh-Dullah). Dengan demikian pembaca akan merasa teralienasi dan tidak terbuai dalam simpati terhadap tokoh atau peristiwa.
***
Ketika membaca Cinta di Atas Perahu Cadik, kita akan mendapati sesuatu yang janggal dan mencengangkan, misalnya bagaimana mungkin seorang suami (Dullah) merestui istrinya (Hayati) untuk berlayar-selingkuh dengan orang sekampung (Sukab) dan lebih memilih menonton TV daripada meributkan kepergian istrinya dengan lelaki lain yang menurut tokoh Nenek (yang juga berpengalaman diselingkuhi) seharusnya “sudah mencabut badik dan mengeluarkan usus Sukab jahanam itu!” (hal. 3). Atau sikap si istri Sukab (Waleh) yang semestinya telah teraniaya, miskin, beranak bisu dan sedang sakit-sakitan pula karena dikhianati oleh sang suami malah merestui dan mendoakan kebahagiaan suaminya yang serong: “Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak mau menjadi kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku pulang dengan selamat—dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui peerceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan” (hal. 6). Alangkah mencengangkannya, seorang istri teraniaya yang mungkin berhati malaikat yang sangat jarang ditemukan!
Yang lebih mencengangkan lagi adalah kenyataan bahwa perselingkuhan ini terbuka dan tidak ada rasa sungkan sama sekali dari pelaku selingkuh (Sukeb-Hayati), seperti sepasang kekasih lazimnya (ingat ini tak lazim!) dunia seperrti milik mereka berdua; orang tua, anak, tetangga, mertua, tidak usah diperdulikan, yang penting mereka berdua, “—tetapi mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang membara” (hal. 8), yang penting mereka suka meskipun itu zinah dan nista atas kesetiaan terhadap istri dan suami lain sebelumnya. Apalagi mereka paham betul apa yang nereka yakini dan lakukan seperti ditegaskan di akhir cerita, “Namun keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa pun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik ini” (hal. 9); who cares!
Demikianlah kita disentak oleh ketidaklaziman sikap yang ditunjukkan oleh para tokoh cerita. Meskipun tema perselingkuhan itu begitu banyak didapati di sekeliling kita, kita tetap merasa teralienasi oleh kenyataan ini. Dengan begitu, kita memang tidak dapat terhanyut (mengalami katarsis ala Aristotle) di dalam arus cerita, yang ada malah perasaan geram dan akhirnya kita sadar bahwa semua permasalahan tidak hitam-putih, bahwa kita tidak dapat serta-merta menyalahkan siapa-siapa, dan disinilah kritik yang mau disampaikan oleh karya sastra itu dapat lebih mengena.
Dalam cerita pendek berikutnya, Lampu Ibu, kita dihadapkan pada sandiwara dan metafora lampu, yang begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, namun ketika disandingkan dengan kata ibu ia menjadi aneh: lampu ibu? Apa gerangan lampu ibu itu? Cerita yang mengangkat tabiat para politisi korup yang korupsi secara berjamaah ini menggambarkan betapa seorang politisi, semacam anggota dewan, dapat berpura-pura sakit agar terlepas atau setidaknya menunda penangkapan oleh pihak kepolisian. Ada hal yang membuat kita jadi bimbang apakah si tertuduh Bang Palinggam ini sungguh-sungguh terlibat korupsi atau sungguh-sungguh bersih. Pengakuannya menegaskan, “Namun, hingga detik ini, Bunda, aku tetap bersih. Terkutuk aku bila mendustai Bunda,”(hal. 17). Pengakuan mulut sang politisi menegaskan kalau ia besih, ia bahkan bersumpah atau mengutuk diri kalau itu tidak benar, tapi di awal digambarkan bahwa, “Suara Bang Palinggam terdengar pelan, sayu, seperti minta dimaafkan” ( hal. 17). Untuk apa minta maaf kalau tidak salah. Bagian berikutnya seolah bertentangan dengan pengakuan dan pembelaan diri Bang Palinggam yang sesungguhnya menyimpulkan bahwa ia terlibat:
“Kalau begitu, mengapa kau mengelak diperiksa, Nak? Kenapa berpura sakit? Mengapa tidak kau beberkan saja semuanya?’
‘Tidak sesederhana itu, Bunda.’
‘Di mana rumitnya?’
Tidak terdengar suara. Aku muncul. Abangku melirik. Menarik napas, melihat Bunda lagi. Mukanya kuyu. Loyo.
‘Aku punya atasan, Bunda,’ ujarnya bak mengadu. Suaranya makin lunak, hampir menyerupai bisik. ‘Aku punya kawan. Aku juga kader partai....’ (hal. 17).
Jelas bahwa sedikit-banyak Bang Palinggam ini terlibat dalam tindak korupsi sehingga ia tergambar begitu lemah, dan akhirnya setelah diceramahi oleh Sang Bunda ia “terpana menatap Bunda. Matanya perlahan berkaca-kaca. Dia menunduk” (hal. 17).
Memang isi cerita banyak menyangkut keberpurapuraan dan ketidakterus- terangan. Misalnya, kita diajak terlibat dalam kerikuhan suasana si anak yang menjemput ibunya ke bandara karena ia berusaha menutup-nutupi apa yang sebenarnya terjadi (meskipun sebenarnya si ibu sudah tahu apa yang terjadi), atau suasana sandiwara atas ditahannya tokoh Herman oleh polisi karena terlibat narkoba yang disamarkan sebagai sedang pergi mendaki gunung. Isinya sungguh penuh dengan sandiwara. Namun, kembali ke persoalan lampu yang terasa aneh, cerita ini juga menyentak kita dengan menghadirkan tokoh ibu yang henti-hentinya menyalakan lampu kejujuran dan kebenaran. Apakah kita bersimpati pada tokoh ibu yang meski sudah berusia 80 tahun masih sibuk memantau anak cucu? Dari kerikuhan suasana yang tergambar, terasa bahwa kehadiran ibu ini sebagai duri yang menuntut keberpura-puraan. Sekali lagi, judul dengan kata “lampu” bagi saya adalah alat untuk membuat kita mengambil jarak antara realita korupsi yang begitu kental di sekitar kita, apalagi di dunia politik seperti yang digeluti Bang Palinggam, dan citra ibu yang begitu gigih menyalakan atau menyuarakan kejujuran, yang belum tentu berhasil.
Selanjutnya pada cerita ketiga, Kisah Pilot Bejo, efek alienasi yang diterapkan lebih kentara lagi. Hampir seluruh cerita ditampilkan dalam bentuk sindiran lewat tokoh yang komik, nama-nama yang menggelikan namun mengena semacam Bejo, Slamet, Untung, Sugeng, Waluyo, Wilujeng, Paman Bablas, dokter Gemblung, AA (Amburadul Airlines), SA (Sontholoyo Airlines). Kita dijauhkan dari realita dunia penerbangan yang semakin menjamur belakangan ini, termasuk seringnya kecelakaan pesawat yang terjadi—juga termasuk raibnya pesawat dengan ratusan manusia di dalamnya, dengan kehadiran cerita pilot Bejo yang super asal-asalan ini. Kita tahu bahwa realita pilot Bejo yang sedari sekolah menengah (bahkan sejak dalam kandungan, barangkali) sudah mengandalkan ke-bejo-annya ini adalah semata alat pengarang untuk menyentak pembaca--alat untuk menciptakan jarak antara realita dan karya--agar lebih menyadari betapa bobroknya sudah dunia nyata penerbangan kita. Perhatikan ekspresi yang dipakai pengarang seperti berikut ini:
”Dibanding dengan ayahnya, kedudukan pilot Bejo jauh lebih baik, meskipun pilot Bejo tidak lain hanyalah pilot sebuah maskapai penerbangan AA (Amburadul Airlines) yaitu perusahaan yang dalam banyak hal bekerja asal- asalan. Selama tiga tahun AA berdiri, tiga pesawat telah jatuh dan membunuh semua penumpangnya, dua pesawat telah meledak bannya pada waktu mendarat dan menimbulkan korban-korban luka, dan paling sedikit sudah lima kali pesawat terpaksa berputar-putar di atas untuk menghabiskan bensin sebelum berani mendarat, tidak lain karena rodanya menolak untuk keluar. Kalau masalah keterlambatan terbang, dan pembuatan jadwal terbang asal-asalan, ya, hampir setiap harilah” (hal. 20).
Setiap hari dilalui dengan penanganan industri penerbangan yang asal-asalan, yang penting dapat untung (sesuai dengan kehendak si bos kapitalis), sementara nasib penumpang atau pelanggan tidak menjadi pertimbangan. Bahkan sampai akhir cerita tidak ada perubahan, si Bejo tetap pada prinsip kerjanya:
”Semua penumpang menjerit-jerit, demikian pula semua awak pesawat termasuk kopilot, kecuali dia yang tidak menjerit, tetapi berteriak-teriak keras:’Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo penumpangku!’ Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan” (hal. 26).
Semua asal-asalan, dan ini berfungsi dalam pandangan Adorno sebagai alat pengusik (irritant) agar pembaca berada pada posisi yang berjarak dengan realita sehingga mampu mempunyai pandangan kritis atas kenyataan yang diangkat oleh karya sastra tersebut dan akhirnya mengkritisi kenyataan itu.
Terakhir, dalam cerpen Tukang Jahit, pemanfaatan tokoh dan jalan cerita yang eksperimentalis juga dilakukan oleh pengarang. Meskipun terkesan seperti dongeng seperti diungkapkan oleh Ayu Utami (Pambudy, 2008:xxii), namun bagi saya ini adalah cara pengarang yang sekali lagi memakai metafor ”tukang jahit” untuk mengkritik realita hidup bangsa Indonesia yang semakin sulit yang puncaknya ditandai dengan realita ”antri minyak tanah” (hal. 105). Kembali kepada pemakaian metafora, saya setuju dengan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan bahwa ”piranti bahasa ini jelas menjauhkan kita dari realitas karena ’bilang begini maksudnya begitu’ (hal. 145)” Justru inilah efek yang ingin dicapai oleh sang pengarang: menjauhkan pembaca dari realitas yang diangkat agar pembaca mendapat posisi yang strategis untuk melihat kritik yang sampaikan pengarang dan mampu pula mengkritik realitas yang ada, karena –jika mengutip kembali Brecht—fakta mengenai ketidakadilan sosial harus dihadirkan seolah-olah kenyataan itu sangat tidak alami dan mengejutkan, bukan sebagai fakta yang begitu dekat menyatu dengan pembaca atau penonton yang perlu ditangisi seperti dalam tayangan sinetron sehingga pembaca/penonton menjadi lupa diri dan tidak sanggup untuk mengkritik.
Jalan cerita Kisah tukang Jahit ini berisi hal-hal yang tidak mungkin dalam pengertian harafiah seperti ”menjahit hati orang yang lagi sedih” (hal. 102), ”menjahit luka hati Ibu” (hal. 103), ”...bisa melihatnya, tetapi tak bisa menyentuhnya. Benang yang tak akan habis bila dipakai untuk menjahit seluruh pakaian yang ada di dunia ini” (hal. 103), ”memintal benang kesabaran” (hal. 104), ”menjahitkan kekecewaan” (hal. 105), dan lain-lain. Semuanya tidak dapat dipahami secara gamblang, namun ia disandingkan dengan kenyataan yang begitu nyata dan sangat mudah dimengerti oleh siapa saja seperti ”Lebaran” (hal. 99, 100, 102, 103, 104, 105) ”toko fashion, factory outlet, butik dan pusat perbelanjaan di kota” (hal. 102), ”ngantre minyak tanah” (hal. 105), ”pulang kampung” (hal. 106), ”nganggur” (hal. 106), dan seterusnya. Ini semua menimbulkan efek defamiliarisasi, dekat namun asing, yang tidak akan membuat pembaca terhanyut dalam cerita namun memicu pikiran-pikiran kritis terhadap realitas yang sedang diperbincangkan.
***
Permasalahan sosial yang diangkat oleh keempat cerpen ini sungguh kental di negeri ini. Kalau boleh diringkas permasalahan itu adalah kemerosotan moral semacam perselingkuhan, korupsi, ketidakpedulian karena dominasi kapitalisme, dan kemiskinan. Pertanyaan selanjutnya, adakah harapan lepas dari permasalahan sosial itu tersirat dibalik empat cerita ini? Dari keempatnya, Kisah Pilot Bejo adalah yang paling sinis dan hopeless. Dengan nada mencibir, sarkastis dan menertawakan, si pengarang mengakhiri ceritanya dengan situasi paling amburadul dari dunia penerbangan. Tidak ada tokoh yang optimis bahwa kondisi bobrok ini akan dapat diperbaiki (mungkin si pengarang memang juga merasa demikian!) Yang ”optimis” hanyalah si Bejo dengan keterpurukannya dalam sistem yang super asal-asalan.
Namun di balik ketiga cerita yang lainnya, kalau dicermati secara mendalam, masih terbersit harapan akan membaiknya keadaan dibalik kelamnya kenyataan. Secara kebetulan masih dihadirkan tiga tokoh perempuan yang memiliki idealisme (apakah juga berarti perempuan lebih peka?) menghadapi situasi sulit ini. Dalam Cinta di Atas Perahu Cadik masih dihadirkan tokoh Nenek yang begitu gerah (baca peduli) atas perselingkuhan Sukab-Hayati. Dialah yang menjadi pengerak cerita karena ia kasak-kusuk kesana kemari tak bisa cuek atas apa yang terjadi. Selain itu, beliau mau menyampaikan pesan moral kepada para perempuan khususnya bahwa pengalaman buruk beliau diselingkuhi kalau boleh jangan terjadi pada penerusnya. Setidaknya, bila ada yang peduli seperti nenek tua ini, harapan berubah masih ada.
Selanjutnya, dalam Lampu Ibu jelas ada pula tokoh serupa, seorang Ibu (80 tahun = nenek juga) yang tak pernah lelah meyalakan lampu kejujuran dan kebaikan, seperti dikatakannya di akhir cerita: ”Kalian sekarang memang bukan lagi anakku yang dulu.’ Bunda mengedarkan senyum, juga kepadaku.’Apalagi kau, Palinggam, kini sudah bercucu pula. Namun takdir seorang ibu, Nak, selalu terdorong menyalakan lampu hingga akhir hayatnya.” (hal. 18). Terlihat jelas bahwa sang Ibu tidak putus asa, tetap dengan senyum, meskipun tahu anaknya sudah terlibat dalam tindakan yang memadamkan lampu sang Ibu, namun ia terus berusaha untuk menyalakannya karena ia adalah tokoh yang peduli.
Terakhir, dalam Tukang Jahit, sekali lagi tokoh ibu (yang akhirnya menjadi nenek juga karena di akhir cerita dimunculkan tokoh anak yang bertanya kepada sang ayah) dihadirkan sebagai sosok yang bijaksana dan tidak berputus asa atas kesusahan hidup. Ia adalah ibu yang memiliki pemahaman filosofi hidup yang tinggi terutama dalam menghadapi kemiskinan. Ini terbukti karena akhirnya sang Ibu berhasil menularkan pengertian itu kepada sang anak (yang nantinya diteruskan lagi ke anaknya sendiri) sehingga sang anak dapat memahami mengapa begitu banyak orang tidak bahagia di negeri ini karena mahalnya harga kebahagiaan itu, seperti dikatakannya sebagai berikut: ”Barangkali, sekarang ini kebahagiaan memang seperti minyak tanah. Tidak semua orang dengan gampang mendapatkannya. Bahkan untuk sekadar bisa menikmati kebahagiaan pada hari Lebaran pun kini orang mesti antre berdesak-desakan” (hal. 106). Demikianlah, meskipun situasi sangat susah, tokoh Ibu dan anak-cucunya dalam cerita ini digambarkan tidak putus asa, tapi mengerti keadaan. Harapan simbolik tetap mereka miliki karena bagaimanapun tetap ada penjahit yang dapat menjahit semua hati yang sedih, kecewa, dan beribu duka lara lainnya.
C. SIMPULAN
Setiap cerita dapat dibaca sebagai media yang mencerminkan apa-apa yang terjadi di dunia nyata. Namun tidak semua cerita menampilkan realitas kehidupan itu seperti apa adanya dengan jalan cerita yang menghanyutkan sehingga pembaca lupa atau tidak peka akan kritik sosial yang diemban oleh cerita itu. Ini sejalan dengan teori Bertolt Brecht dan Theodor Adorno yang dua-duanya menekankan pentingnya efek alienasi atau defamiliarisasi yang dihasilkan oleh cerita yang menciptakan jarak antara karya dan realitas, bahwa karya sastra itu berfungsi sebagai pengusik bagi pembaca agar dapat mengkritisi realitas.
Dari keempat cerita yang terpilih dalam kajian ini, terbukti bahwa para pengarang menampilkan jalan cerita dan tokoh cerita yang tidak lazim yang kadang mengagetkan yang dapat memberi ruang bagi pembaca untuk mengkritisi fenomena sosial yang diangkat. Dengan demikian para pembaca mendapat standing position yang lebih strategis dan objektif dalam menyimak kritik sosial yang disasar oleh pengarang, yang dengan sendirinya menjadi lebih kritis juga terhadap realitas.
Permasalahan sosial semacam perselingkuhan, korupsi, kebobrokan pelayanan umum serta kemiskinan yang telah mewarnai wajah negeri kita akhir-akhir ini telah ditampilkan oleh penulis cerita dengan cara yang khas dan dibalik semua permasalahan sosial itu ternyata secara tersirat masih ditemui harapan akan membaiknya situasi lewat penampilan tokoh-tokoh perempuan tua yang meskipun terkesan usil dan tak berdaya tapi sesungguhnya tetap peduli.
Daftar Pustaka
Carter, David. 2006. Literary Theory: The Pocket Essential. Herts: Pocket Essentials
Hall, Donald. 2002. To Read Literature: Fiction, Poetry, Drama. Boston: Heinle & Heinle Thomson Learning.
Pambudy, Ninuk M. (ed). 2008. Cinta di Atas Perahu Cadik: Cerpen Kompas
Pilihan 2007. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Selden, Raman, Widdowson, Peter and Brooker, Peter. 1997. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. London: Prentice Hall.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar